Senin, 30 November 2009

Kasta di Bali: Kesalah-pahaman yang Sudah Sirna

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Ketika Mayor Jenderal Polisi I Made Mangku Pastika mencalonkan diri sebagai Gubernur Bali, ada elite politik di Jakarta yang tak yakin dengan kemenangannya. Alasannya ternyata sangat aneh. Dia mengatakan, pemimpin di Bali harus dari orang yang berkasta tinggi. Kalau kastanya rendah seperti Sudra tak akan bisa terpilih sebagai Gubernur Bali. Lantas dia menyebut nama gubernur-gubernur Bali sebelumnya, seperti Dewa Beratha, Ida Bagus Oka, Ida Bagus Mantra. Made Mangku Pastika dianggap berkasta Sudra.
Pernyataan ini membuktikan bahwa masalah kasta di Bali masih membingungkan banyak orang dan masalah kasta masih dikait-kaitkan dengan berbagai macam pekerjaan. Di Bali sendiri masalah kasta sudah tidak relevan lagi dibicarakan, dan boleh disebutkan sudah tidak lagi menjadi “kesalah-pahaman”. Mungkin hanya masih berlaku di pedesaan dan itu pun pada kalangan tua. Generasi muda Bali sudah lama meninggalkan kasta. Dengan demikian menjadi aneh terdengar justru di luar Bali orang masih membicarakan kasta dengan segala embel-embelnya seperti di masa lalu.

Kasta sebenarnya ada di mana-mana ketika peradaban belum begitu maju. Atau kelas-kelas sosial di masyarakat ini berusaha dilestarikan oleh golongan tertentu yang kebetulan “berkasta tinggi”. Dari sini muncul istilah-istilah yang sesungguhnya adalah versi lain dari kasta, seperti “berdarah biru”, “kaum bangsawan” dan sebagainya yang menandakan mereka tidak bisa dan tak mau disamakan dengan masyarakat biasa. Bagi mereka yang berada “di atas” entah dengan sebutan “darah biru” atau “bangsawan” umumnya mempunyai komplek pemukiman yang disebut keraton atau puri.
Di masa sekarang ini, kraton atau puri tentu tak punya kuasa apa-apa, namun penghuninya berusaha untuk tetap melestarikannya. Ada pun penerimaan masyarakat berbeda-beda, ada yang mau menghormati ada yang bersikap biasa saja.

Di India kasta itu jumlahnya banyak sekali. Hampir setiap komunitas dengan kehidupan yang sama menyebut dirinya dengan kasta tertentu. Para pembuat gerabah pun membuat kasta tersendiri.

Di Bali juga unik. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.

Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Catur Warna itu terdiri dari Brahmana, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan. Kesatria, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf-stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya. Wesya, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang dan sebagainya. Kemudian Sudra, yaitu seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga.

Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atai Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.
Yang jadi persoalan, ketika kasta diperkenalkan di Bali di masa penjajahan itu, nama-nama yang dipakai adalah nama Catur Warna: Brahmana, Kesatria, Wesya, Sudra. Jadi, pada saat itu semua fungsi Catur Warna diambil alih oleh kasta, termasuk gelarnya.
Celakanya kemudian, gelar-gelar itu diwariskan turun temurun, diberikan kepada anak-anaknya tak peduli apakah anak itu menjalankan fungsi sosial yang sesuai dengan ajaran Catur Warna atau tidak. Contohnya, kalau orang tuanya bergelar Cokorde, jabatan raja untuk di daerah tertentu, anaknya kemudian otomatis diberi gelar Cokorde pada saat lahir. Kalau orangtuanya Anak Agung, juga jabatan raja untuk daerah tertentu, anaknya yang baru lahir pun disebut Anak Agung. Demikianlah bertahun-tahun, bahkan berganti abad, sehingga antara kasta dan ajaran Catur Warna ini menjadi kacau.

Kekacauan ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Misalnya, ada anggapan bahwa yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi pendeta. Begitu pula kasta lainnya, yang berhak menjadi pemimpin hanya keturunan Kesatria. Orang seperti I Made Mangku Pastika yang tak punya “nama gelar” tak akan bisa menjadi pemimpin karena kastanya hanya Sudra. Kenyataan saat ini tentu sudah beda. Saya sendiri yang saat walaka (sebelum menjadi pendeta) bukan bernama awal Ida Bagus, toh nyatanya bisa menjadi pendeta atau Brahmana saat ini.

Demikianlah kesalah-pahaman itu, akhirnya dikoreksi terus menerus setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra. Kesulitan yang dihadapi dalam menghapus Kasta di Bali itu tentu karena masalah ini sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan berganti abad. Namun yang menyebabkan kesalah-pahaman itu bisa dijernihkan adalah adanya toleransi dan merupakan kesepakatan yang tak perlu ditulis, yakni masyarakat akhirnya memperlakukan nama-nama depan yang dulu merupakan gelar pemberian penjajah tetap bisa dipakai sebagai nama keturunan. Tetapi tidak ada kaitan dengan fungsi sosial, juga tak ada kaitan dengan ajaran Catur Warna. Artinya, siapa pun berhak menjadi Brahmana (rohaniawan atau pendeta), tidak harus dari keluarga Ida Bagus. Siapa pun berhak menjadi pemimpin (misalnya Bupati atau Gubernur), tak harus dari yang bergelar Kesatria versi kasta masa lalu.

Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “kasta” yang feodal itu.

I Made Mangku Pastika pun bisa menjadi Gubernur Bali, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Sudra. Wakil Gubernur adalah Anak Agung Puspayoga, yang kalau dikaitkan dengan kasta masa lalu, tergolong Kesatria. Staf di kantor gubernuran banyak yang bernama depan Ida Bagus, yang jika dikaitkan dengan kasta masa lalu adalah Brahmana. Kalau saja kasta versi masa lalu masih dianggap eksis, tentu aneh Gubernur Bali orang Sudra, wakil dan stafnya orang Kesatria bahkan Brahmana. Ini tentu tak masuk logika, karena itu logikanya memang sudah tak benar.
Terbuktilah kini, bahwa kasta masa lalu itu sudah terkubur. Yang tetap berlaku adalah ajaran Catur Warna, orang diberi kebebasan untuk menjadi Brahmana, Kesatria, Wesyaa maupun Sudra, asalkan mampu.


Tancep Kayon

Oleh Putu Setia

(Tulisan ini diambil dari Koran Tempo Minggu 29 November 2009)

Bagi yang gemar menonton pertunjukan wayang kulit, ada istilah tancep kayon. Arti sebenarnya adalah menancapkan kayon, yaitu wayang yang merupakan simbol gunungan. Makna simbolisnya adalah perpindahan adegan, misalnya, dari kisah para kesatria Pandawa menjadi kisah para Kurawa. Tapi, tancep kayon juga bisa bermakna pertunjukan selesai. Penonton pulang dengan kesannya masing-masing.

Karena wayang adalah gambaran “bhuwana alit” atau dunia yang kecil, maka dalam “bhuwana agung” atau kisah keseharian umat manusia, begitu banyak ada kisah yang silih berganti. Tapi intinya tetap perang antara kebenaran dan ketidak-benaran. Lakon KPK versus Polisi dan Kejaksaan, hanya satu contoh. Tokohnya banyak, yang mendompleng ingin jadi tokoh juga banyak. Di satu sisi ada Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Di seberangnya ada Kapolri, Kabareskim, Jaksa Agung. Lalu di antara dua sisi itu ada Buyung Nasution dengan Tim 8, ada Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahmud MD dan masih banyak pendekar lainnya, baik yang terang-terangan memihak salah satu maupun sembunyi-sembunyi.

Tiba-tiba, tancep kayon, setidaknya diniatkan begitu. Lalu, siapa yang benar dan salah? Tak ada. Selain ini kecanggihan Ki Dalang, tradisi pergelaran memang demikian. Penonton dibiarkan “pulang” dengan pikiran mengambang, tergantung bagaimana dia melihat pertunjukan itu. Bibit dan Chandra boleh merasa menang karena perkara sudah pasti tak ke pengadilan. Polisi juga merasa menang, karena berhasil menyusun berkas penyidikan dan diserahkan ke institusi penuntutan, tanpa ada yang kurang. Kejaksaan juga menang, karena berhasil mendapatkan berkas penuntutan yang bukti-buktinya lengkap. Bahwa prosesnya tak ke pengadilan, kejaksaan tentu bisa berkata dengan sombong: “Bukti cukup dan lengkap, tapi ada arahan agar kami tak meneruskan ke pengadilan. Bukan salah kami.”

Jadi, kasus KPK versus Polisi dan Jaksa – seperti pergelaran wayang kulit – berakhir di awang-awang. Penonton yang kritis – karena itu jarang ada orang kritis nonton wayang kulit – yang ingin ada kemenangan dan kekalahan mutlak, akan kecewa berat. Kayon sudah ditancapkan.

Tapi pertunjukan dengan kisah yang lain, pasti akan menyusul, karena begitulah dunia wayang. Sebentar lagi akan muncul lakon Bank Century. Jika lakon KPK versus Polisi dan Jaksa menguras energi penonton tiga bulan – kita hitung dari dipanggilnya pimpinan KPK oleh polisi– kasus Bank Century bisa lebih lama. Tokohnya orang terkenal, Boediono yang kini wakil presiden dan Sri Mulyani yang Menteri Keuangan. Di seberang ada Panitia Angket DPR, orang-orang yang sedang mencari panggung. Di tengah-tengah --memihak ataupun mengaku netral-- ada Badan Pemeriksa Keuangan, pengamat perbankan, pemilik dan nasabah bank, dan masih banyak lagi. Ini jadi pertunjukan menarik karena pasti penuh dengan dinamika – kata sederhananya: serang-menyerang. Tak mustahil, dengan alasan demi ketertiban masyarakat, kasusnya akan ditutup dengan gaya pergelaran wayang kulit, tancep kayon.

Orang yang tak suka wayang kulit, sulit sekali menerima kenyataan, kenapa tontonan itu harus dipelototi semalam suntuk, begitu lamban. Persis dengan lakon di dunia nyata, penyelesaiannya amat lamban. Kita kehilangan banyak waktu. Kalau satu kasus diselesaikan tiga bulan – dengan hasil tak jelas pula – dalam 60 bulan pemerintah hanya mengurusi 20 kasus.

Kemana kita harus berguru masalah ketegasan, kecepatan, dan kepastian? Kita punya banyak teater tradisional, tak cuma gaya pergelaran wayang kulit.

Kiamat

Oleh Putu Setia

(Catatan: Ini adalah tulisan awal untuk Cari Angin Koran Tempo yang dimuat Minggu 22 November 2009, sebelum diedit untuk disesuaikan dengan panjang kolom.)

Sembilan dari sepuluh orang yang saya wawancarai mengatakan bahwa kiamat itu pasti terjadi. Ini masalah keyakinan. Seorang tak mau menjawab dan menuduh saya mengalihkan perhatian dari isu Bibit dan Chandra, yang kini memasuki masa paling sulit bagi Presiden Yudhoyono.

Sembilan dari sepuluh orang itu pula yang menyebutkan, kiamat menjadi rahasia Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan terjadinya. “Bagaimana kalau terjadinya besok?” Tanya saya. Hampir serempak mereka menjawab: “Jangan, Senin besok, kita ingin lihat keputusan apa yang diambil Presiden pada kasus Bibit dan Candra.” Bagaimana kalau 2011? Seseorang menjawab: “Jangan, tahun depan saya ikut Pilkada, kalau saya jadi Bupati kan cuma setahun menjabat, tak balik modal kampanye saya.” Bagaimana kalau kiamat itu terjadi 21 Desember 2012? “Ah, itu takhyul,” kata mereka serempak. “Itu kan versi film yang sudah tak dipercayai oleh para ulama kita.”

Katanya yakin kiamat pasti datang. Katanya rahasia Tuhan yang bisa terjadi kapan saja. Tapi kok mau mengatur sendiri, kapan kiamat itu tidak boleh?

Saya tanya lagi: “Apa yang Anda lakukan seandainya kiamat itu sudah dekat?” Pertanyaan ini tentu konyol, itu berarti saya pun terjebak pada “ramalan”, padahal kan rahasia Tuhan. Tetapi, karena mereka mau menjawab, ya, kita dengarkan saja.

“Saya mau terbang ke berbagai tempat, ganti pesawat setiap turun di bandara, siapa tahu pas di atas awan kiamat datang, kan saya bisa lihat dari atas,” kata seseorang. “Saya mau beli hape yang bisa untuk facebook sebanyak-banyaknya, saya kasih teman-teman saya, agar ia segera membalas status saya kalau kiamat datang,” kata yang lain. Yang satu lagi, lelaki bertato, menjawab agak lama: “Rasanya ingin memperkosa penyanyi dangdut, kan tak masuk penjara, wong kiamat…”

“Stop,” teriak saya. Meski pun ini bukan mewakili 200 juta penduduk negeri, saya semakin yakin bangsa ini sudah tak lagi religius, tapi konsumtif. Para pemuka agama acapkali berseru, “Hai umat manusia, berbuatlah saleh dan kebajikan, seolah-olah esok adalah hari akhir, hari kiamat”. Kematian itu, kata pemuka agama, harus kita persiapkan. Matilah di jalan Tuhan, matilah pada saat kita sudah melaksanakan segala amal saleh dan melaksanakan semua perintah-Nya.

Dongeng tentang kiamat – termasuk film – semestinya menjadi cambuk buat kita agar berlaku saleh dan beramal baik. Imajinasi tentang “hari akhir” berkembang sesuai tingkat pengetahuan. Masyarakat pedesaan di masa lalu, melukiskan datangnya kiamat dengan pertunjukan seni yang memukau, misalnya, adegan gunung meletus, laharnya melanda umat manusia. Orang-orang saleh disambar bidadari diterbangkan ke atas sehingga tak merasakan pedihnya lahar panas seperti yang dialami orang-orang durjana. Mereka tak melahirkan imajinasi tentang meteor, karena tak pernah baca kisah itu.

Kini, di zaman modern, kiamat divisualkan dengan benturan berbagai benda planet yang menimbulkan gempa, tsunami, puting beliung dan sejenisnya. Bumi porak poranda, tak ada bidadari karena orang modern tak kenal Ken Subadra, Ken Sulasih dan bidadari lainnya.

Di masa lalu, ketika tempat ibadah sedikit tetapi umat religius, setiap orang seperti diajak berlomba dalam kebajikan begitu usai menonton “drama” tentang kiamat. Orang berseru; “Ya Tuhan, ampuni hamba, jauhkan hamba dari dosa sebelum hari itu tiba.” Kini, ketika rekaan datangnya kiamat difilmkan, orang berlomba bilang: jangan percaya. Tapi, filmnya laris dan yang menonton pun tetap mengunyah pop corn. Kiamat cuma jadi hiburan.