Minggu, 28 Februari 2010

"Lawar Century"

Putu Setia

(Ini Cari Angin versi awal sebelum saya perpendek untuk Koran Tempo Minggu 28 Februari 2010)

Ngobrol tentang kasus Bank Century dengan orang desa, asyik juga. Kepolosan mereka dalam berpikir dan mungkin wawasan serta pengetahuan mereka yang pas-pasan mengenai masalah perbankan, apalagi perekonomian – baik makro maupun mikro – membuat saya makin bernafsu mendengarkannya. Mula-mula ini selingan yang menarik setelah setiap saat dijejali ocehan para (yang mengaku) pakar ekonomi dan pengamat dalam tayangan televisi. Lama-lama bukan lagi selingan, karena saya mulai muak dengan ocehan di televise itu, apalagi dengan penyiar yang tidak melaksanakan fungsi sebagai “penggali berita” namun lebih sebagai “provokator”. Clik, televisi di off-kan.


Tentu orang desa yang saya maksudkan tidaklah ndeso amat, bukan orang yang buta huruf apalagi buta mata. Ada yang jadi saudagar sapi. Ada yang makelar mobil bekas, dan ada yang propfesinya – ini trend menarik dan bermunculan di pedesaan – menerima gadaian telepon seluler. Yang menarik, mereka berurusan dengan bank, minimal punya tabungan – jauh sebelum Presiden SBY mencanangkan gerakan “Mari Menabung”. Suara-suara mereka tak mungkin masuk televisi, karena suara mereka “sudah dianggap terwakili” oleh segelintir orang di kota yang teriak-teriak di jalanan. Ini klim yang sudah salah kaprah berkepanjangan. Jadinya, benar atau salah pendapat mereka, tentu tak sempat diuji, apalagi kebenaran saat ini sudah dimonopoli oleh beberapa orang politikus, yang ternyata juga mengatasnamakan rakyat.

Apa saja pendapat mereka tentang kemelut Bank Century ini? Misalnya tentang Sri Mulyani Indrawati – sungguh-sungguh mereka hafal nama lengkap Menteri Keuangan ini. Sebagai pejabat Negara yang bertanggungjawab mengenai kestabilan ekonomi nasional, Ibu Sri (saya singkat karena saya sendiri sering lupa nama panjangnya) dengan cepat memutuskan mem-bailout Bank Century agar tidak merembet ke bank lain dan mengakibatkan krisis lebih dalam. Pengalaman 1998 menjadi guru yang baik karena kekurang-cermatan penanganannya.

Salah atau benarkah Ibu Sri? “Gampang sekali, lihat saja setelah 2008 itu, ada krisis atau tidak? Tak ada krisis, jadi tindakannya benar, kok repot sekali,” kata juragan sapi. Bahwa ada aliran uang yang menetes ke sana atau ke sini, itu bukan urusan Ibu Sri, silakan diusut dan diproses sesuai hukum. Masak Ibu Sri harus nongkrongi kasir bank?

Tentang uang 6,7 trilyun itu apakah membuat negara rugi? Ini uang hasil iuran bank yang memang dipergunakan untuk saat krisis yang disimpan Lembaga Penjamin Simpanan. Memang sudah keluar uangnya, tapi kan bisa kembali kalau nanti Bank Muatiara yang jadi siluman Century sudah baik dan bisa dijual ke investor. “Nyatanya Bank Mutiara jalan bagus, saya baru menabung di sana, kantornya di Denpasar malah makin besar di daerah elite,” kata makelar mobil bekas. Tapi ia buru-buru menambahkan, aliran dana yang tak beres – kalau nyatanya ada – tetap diusut, dan tentu ada penanggung-jawabnya.

Yang menarik dalam obrolan ini adalah pendapat mereka tentang Pansus Angket Century. Kesimpulan Pansus – baik sementara maupun akhir – hanya membuang-buang duit 2,5 milyar, anggaran yang dipakai Pansus. Lo, kok begitu? “Semua fraksi bilang, hasil Pansus Century perlu ditindak-lanjuti ke jalur hukum. Kalau hasilnya begitu, ngapain pakai hak angket, dari dulu saja serahkan ke aparat hukum,” kata rentenir telepon seluler.

Jadi apa dong hasil kerja Pansus? Kata mereka, anggota Pansus hanya bermimpi menaikkan citra partai. Partai Golkar paling ge-er, seolah berhasil menjadikan “panas 32 tahun dihapuskan oleh hujan dua bulan”, padahal rakyat belum tentu mudah “lupa”. Partai lainnya – yang kalah Pemilu lalu – merasa sudah mengungkap “kebenaran yang sejati”, seolah partai lainnya “menutupi kebenaran”. Padahal kebenaran tak bisa dimonopoli dan kebenaran berkaitan dengan siapa pemberi informasi yang dianggap benar itu. Apakah kalangan perbankan dan pengusaha didengar oleh Pansus untuk menentukan kebenaran itu?

Ada pula partai yang menjadi Partai Konsisten Selalu, tak henti-hentinya berteriak konsisten dalam menyikapi hasil angket dengan menyebut berbagai penyimpangan, ada bukti kuat atau tidak, bukan masalah. Partai ini sejatinya hanya konsisten menempatkan menterinya di pemerintahan dan tak mau menariknya, sementara juga konsisten menyerang kebijaksanaan pemerintah padahal ia berkoalisi. Jadi bis a pula disebut Partai Koalisi Semu atau Partai Koalisi Semau gue.

Kalau begitu, kerja Pansus ini ibarat apa? “Membuat lawar capung,” kata mereka. Wah, ini kiasan khas Bali tulen, lawar itu masakan yang bumbunya banyak sekali, padahal bahan pokoknya hanya capung, serangga kecil. Masalah kecil yang bumbu riuhnya terlalu banyak, pakai nyanyi-nyanyi segala tatkala puluhan buruh teh di Jawa Barat tertimbun lumpur. Amit-amit.

27 Februari 2010


Jumat, 19 Februari 2010

Ogoh-Ogoh

Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Hari Raya Nyepi sudah datang. Hari yang ditunggu-tunggu. Tapi kebanyakan orang Bali, apalagi kaum mudanya, bukannya menunggu saat melangsungkan brata penyepian – amati geni, amati karya, amati lelungan, amati lelangunan – tetapi menunggu pawai ogoh-ogoh. Pesta ogoh-ogoh ini lebih penting ketimbang Nyepi itu sendiri. Jadi, yang ditunggu-tunggu sebenarnya bukan Nyepi tetapi pengerupukan alias sehari sebelum Nyepi. Itulah hari yang sering disebut sebagai Tawur Kesanga.


Tawur Kesanga ini adalah ritual untuk bhuta yadnya, kalau tingkatan rendah disebut caru, kalau tingkatan paling tinggi disebut tawur. Untuk gampang dihayati, inilah saatnya para bhuta diubah wujudnya menjadi dewa agar tidak mengganggu bumi sebelum umat Hindu melaksanakan brata penyepian. Mengubah wujud bhuta menjadi dewa ini dalam istilah agamanya: somya.

Agaknya istilah itu tak berarti bagi kaum remaja Hindu. Yang jelas, kawula muda di Bali merasakan hari ini hari yang tak bisa dilewatkan. Itu saatnya mereka menumpahkan kreasinya dalam acara mengarak ogoh-ogoh. Nyepi tanpa ogoh-ogoh sama dengan makan tanpa kerupuk, tak ada renyahnya meski kerupuk tidak membuat kenyang.

Namun di Bali, banyak yang salah kaprah memanfaatkan fungsi ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh dijadikan barang seni dan diarak sebagai sebuah bentuk kesenian dan menjadi dunia tontonan. Di luar Bali, khususnya di Jakarta dan kota-kota besar, anak-anak muda membuat ogoh-ogoh untuk kepentingan ritual. Ogoh-ogoh tak diarak, hanya untuk natab caru saja. Ketika tawur kesanga sudah selesai, bhuta sudah somya menjadi dewa, kenapa simbol bhuta diusung-usung lagi? Kenapa harus diarak ke jalanan? Ini kan sama saja dengan menghidupkan bhuta kembali, bagaimana bisa melaksanakan brata penyepian. Karena itu umat Hindu di luar Bali sering mengejek umat Hindu di Bali dengan menyebutkan: “Pantas saja selama ini bayak umat Hindu di Bali yang Nyepi sambil meceki dan main domino, karena bhuta masih gentayangan.”

Para remaja Hindu di luar Bali mengikuti upacara tawur dengan khikmad. Ketika Sulinggih muput tawur, mereka membunyikan musik keras dengan berbagai kreasi. Bisa gamelan baleganjur, bisa musik kentongan dari bambu (mirip tektekan di Tabanan) atau berbagai variasi lainnya. Saat itulah ogoh-ogoh sebagai symbol bhuta disuruh “makan caru”, selanjutnya dianggap sudah somya menjadi dewa. Jadi, ogoh-ogoh sudah dianggap tak ada lagi, lalu dipreteli di tempat.

Fenomena belakangan ini berkembang lagi ogoh-ogoh yang semakin jauh dari dunia ritual. Yakni, ogoh-ogoh kemasukan dunia bisnis dan membawa pesan sponsor. Kalau pun tidak ikut dimasuki virus bisnis, ogoh-ogoh jadi symbol untuk mengungkapkan perasaan. Bisa perasaan perorangan, bisa pula perasaan kelompok, maklum ogoh-ogoh dibuat oleh kelompok.

Misalnya, ada ogoh-ogoh yang menggambarkan perempuan berbadan sintal lagi merangkak dengan rok mini. Apa kaitannya dengan bhuta yadnya? Tapi, kalau kita tanya kaitannya, tentu saja ada jawabannya. Misalnya disebutkan, dunia ini sudah dikuasai oleh wanita-wanita binal yang merusak moral masyarakat khususnya anak-anak muda. Ini adalah bentuk bhuta yang baru, yang harus pula dibasmi atau disomya.

Ada ogoh-ogoh yang melambangkan pemuda bertubuh kurus sedang memegang botol minuman. Mudah ditebak, apa yang mau disampaikan oleh ogoh-ogoh itu. Yakni, mengajak masyarakat untuk waspada terhadap dampak minuman keras yang menyebabkan mabuk. Jadi, pemuda kurus pemabuk itu pun menjadi bhuta versi baru. Ada pula ogoh-ogoh \Anoman yang menunggang sepeda motor, ini jelas ada iklan sponsornya. Tapi orang bisa berdalih: sepeda motor yang terus bertambah di Bali dan memacetkan jalan adalah juga bentuk bhuta versi baru. Pertanyaannya adalah, apakah pesan “bhuta versi modern” itu sampai dicerna dan tak tenggelam dalam bentuk phisiknya?

Salahkah jika masyarakat Bali mengarak ogoh-ogoh dengan berbagai simbol untuk mengungkapkan perasaan atau fenomena yang ada dalam masyarakat? Ada yang salah dan ada yang tidak. Tidak salah karena uneg-uneg masyarakat bisa dicetuskan bersama dalam suasana pesta. Itu yang menjelaskan kenapa membuat ogoh-ogoh dengan biaya mahal mudah mendapatkan dana.

Yang salah adalah simbul bhuta dalam ogoh-ogoh itu harus jelas sesuai dengan sastra Hindu. Parisada pernah memberikan rincian tentang ini, apa saja ciri-ciri symbol bhuta. Salah satunya adalah symbol yang mempunyai sifat keraksasaan. Kalau ogoh-ogoh berbentuk Arjuna atau Krisna atau Anoman tentu tak dianjurkan, karena jauh dari sifat keraksasaan.

Kesalahan utama tentu saja karena ogoh-ogoh tidak dilibatkan dalam pecaruan atau tawur. Semestinya, ogoh-ogoh yang melambangkan bhutakala ini bagian inti dari ritual karena fungsinya untuk natab caru. Yang kita lihat di Bali, ogoh-ogohnya di arak di tempat lain, pelaksanaan tawur di tempat lain lagi. Jika pun berdekatan, ogoh-ogoh tidak diusung ke tempat banten tawur digelar.

Apa yang bisa dipetik dari kesalahan dalam menyikapi ogoh-ogoh Nyepi ini? Perlu dikembangkan adanya ogoh-ogoh nonritual atau ogoh-ogoh profan sebagai bentuk kesenian yang seratus persen tontonan. Hal ini sudah pernah dirintis oleh pemerintah kota Denpasar dengan menyelenggarakan pesta ogoh-ogoh non-ritual. Pesta ini diselenggarakan untuk menyambut HUT Kota Denpasar. Namun, pesta yang berlangsung di bulan Februari itu tetap saja tak mengurangi salah kaprah ogoh-ogoh ritual di saat Nyepi. Mungkin perlu waktu untuk “mengajarkan” umat Hindu di Bali, yang mana sakral yang mana profan.

Ide Walikota Denpasar untuk membuat karnaval ogoh-ogoh nonritual pada HUT Kota Denpasar sebenarnya patut disambut gembira. Banyak kota di dunia yang terkenal karena karnavalnya yang unik. Brasil, Lima, Meksiko, Paris, Napoli, Lisabon adalah contoh kota yang selalu kebanjiran wisatawan saat karnaval berlangsung. Kalau karnaval ogoh-ogoh profan ini dikelola dengan baik, ia bisa jadi obyek wisata baru di Bali, dan pada akhirnya masyarakat yang membuat ogoh-ogoh mendapatkan subsidi.

Namun, jika tidak dikelola dengan baik, beban masyarakat bertambah. Apalagi kalau ogoh-ogoh ritual tetap tak bisa dikontrol, maka penduduk Denpasar akan dua kali membuat ogoh-ogoh dalam setahun. Bayangkan, berapa juta uang yang habis untuk hura-hura seperti ini, padahal umat Hindu, menurut sensus BPS, adalah umat yang paling terbelakang dalam SDM. Bukankah lebih baik membangun sekolah, pasraman, atau membeli buku agama dibandingkan membuat ogoh-ogoh?


Minggu, 07 Februari 2010

Gerakan Perubahan

Putu Setia

(Ini adalah Cari Angin versi panjang -- sebelum diperpendek untuk konsumsi Koran Tempo Minggu)

Saya bergegas menemui Romo Imam, guru spiritual saya, yang kebetulan sedang berada di padepokannya di lereng Gunung Lawu, di atas bukit teh Desa Kemoning. Saya mau minta restu – bukan minta izin – karena ingin bergabung dengan organisasi kemasyarakatan Nasional Demokrat. Sudah terang benderang saya jelaskan organisasi yang dideklarasikan oleh Surya Paloh dan Sultan HB X itu, namun Romo masih juga termangu.

“Tak ada tokoh lain yang diikuti, yang lebih segar, misalnya? Ini masih stock lama,” komentar Romo, biasalah, sedikit sinis tetapi sebenarnya beliau orang yang tulus.
“Belum muncul tokoh baru Romo, semua masih stock lama. Ada sih calon-calonnya, tapi masih belajar di Taman Kanak-Kanak Senayan, masih cengengesan dan genit. Entah kalau tamat dari sana mereka mau berubah,” jawab saya. “Pak Surya dan Pak Sultan kan jaminan Romo.”

“Tapi nama ormasnya kok ya pakai demokrat, seperti sengaja mau membingungkan masyarakat. Kalau berani kenapa tak sekalian saja memakai nama Golkar Perjuangan atau Golkar Sejahtra atau Golkar Pembaruan. Kedua tokoh itu kan lantaran tersingkir dari Golkar, ini dampak sistemik dari kongres partai kan?”

“Ah, Romo jangan sinis dong,” saya menyela. “Romo kan pernah bilang, semua organisasi politik yang menyempal dari induknya pasti tak laku, karena pendirinya hanya punya target kekuasaan, bukan target pengabdian. Mungkin Tuhan tak meridhoi. Kalau banteng perjuangan itu lain, dia bukan menyempal, tetapi induknya yang menyempal ke penguasa saat itu. Please Romo, beri restu saya, siapa tahu niat Pak Surya kali ini bagus.”

Romo kelihatan mulai lunak dengan sikap saya yang memelas. “Apa yang kau suka dari ormas itu, namanya atau tokohnya?”

“Bukan keduanya. Yang saya suka adalah slogan yang diusungnya: gerakan perubahan. Ini penting sekali Romo, negeri ini membutuhkan perubahan yang mendasar, perubahan yang fundamental sebelum menjadi negeri yang amburadul. Boleh saya sedikit merinci apa perubahan yang dilakukan?” Karena Romo mengangguk, saya pun bersemangat.

Dasar negara saja sudah diselewengkan. Sila pertama Pancasila itu berbunyi: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekarang yang dijalankan “kekuasaan yang maha esa” kemudian “keuangan yang maha kuasa”. Orientasi tokoh hanya satu, merebut kekuasaan. Untuk melanggengkan kekuasaan dipakailah uang. Apa pun bisa dibeli. Mau demontran dua puluh ribu, bisa dibayar. Mau mendatangkan kerbau, bisa. Mereka tak sabar mengikuti konstitusi, karena memang jika pakai aturan konstitusi, tokoh-tokoh itu sudah nyata kalah. Mereka mengembangkan opini lewat klim-mengklim, seolah-olah gerakan yang sepuluh dua puluh ribu itu mewakili ratusan juta masyarakat. Padahal, harga kursi untuk wakil rakyat yang paling rendah saja di kabupaten sampai tiga puluh ribu. Harus ada gerakan untuk mengubah jalan pikiran orang-orang ini.

Sila kedua Pancasila diselewengkan menjadi “Kemanusiaan yang batil dan biadab”. Kekerasan yang terorganisir menjadi mode di berbagai kota. Mahasiswa membakar dan merusak fasilitas umum hanya atas nama menyalurkan ide. Kalau mahasiswa sudah begini, bagaimana mau menyalahkan bonek Persebaya yang merampas pedagang kecil, karena mereka sekolah menengah pun tak tamat. Anak sekolah dasar di Makasar tawuran di jalan, jelas mereka meniru kakaknya yang mahasiswa.

Sila ketiga Pancasila yaitu Persatuan Indonesia diselewengkan menjadi “perseteruan Indonesia”. Dimana-mana diajarkan perseteruan. Debat yang ada bukan perdebatan ide, tetapi perdebatan otot dan caci maki. Anggota DPR saling caci maki dengan kata-kata kotor – tapi ruang kerjanya semakin sejuk dan ditambah komputer baru yang harganya perlu diaudit . Ini ditonton jutaan orang, bagaimana orang desa mau menghormati politikusnya?

Siapa yang mengingatkan hal ini? Tak ada. Padahal harus ada yang mengatakan bahwa kebiadaban ini segera diubah menjadi lebih beradab. Itu pentingnya gerakan perubahan yang menyeluruh dari elemen bangsa. Sekarang jangankan ada yang mengatakan itu biadab, yang melarang dan memberi sanksi saja tak ada, padahal jika pelaku anarkis itu mahasiswa kan ada dosen dan aparat kampus. Jika itu bonek, kan ada kordinatornya atau wakil klub sepakbolanya. Sekarang yang ada “gerakan pembiaran” padahal ini sudah nyata-nyata merusak akhlak bangsa. Aneh, pemuka agama juga diam.

“Romo, waktu saya habis, nanti saya lanjutkan. Kalau sampai di sini, apakah restu Romo bisa saya dapatkan agar saya ikut dalam gerakan perubahan itu?”

Romo berpikir sejenak: “Saya belum dapat diyakinkan. Ada yang sudah membuat Pondok Perubahan di kawasan Jakarta Selatan dan banyak sekali slogan perubahan lainnya. Tapi target mereka tetap hanya menggulingkan kekuasaan, siapa pun yang sedang berkuasa. Hanya sesempit itu yang dia maksudkan perubahan, bukan perubahan sikap, mental, perilaku, budaya ….”

“Jadi, bagaimana Romo?” saya tak sabar.

Romo menjawab sambil berjalan: “Tunggu beberapa saat, apa Pak Surya dan Kanjeng Sultan betul-betul berubah atau tidak. Jangan-jangan keduanya mengulang lagu lama tokoh lain, maklum mereka dalam satu generasi.”

(Cari Angin versi pendek dimuat Koran Tempo Minggu 7 Februari 2010)