Senin, 15 Maret 2010

Nyepi: Pengendalian Diri dari Dalam

Oleh: Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Esok, umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Nyepi, tahun baru Saka 1932. Pemerintah sudah menetapkan Nyepi sebagai libur nasional. Namun, karena Nyepi jatuh di hari Selasa, maka sangat besar kemungkinannya hari ini pun sudah menjadi hari libur, entah dengan istilah “cuti bersama” atau istilah “harpitnas” alias “hari kejepit nasional”. Untuk itu, saya mengucapkan selamat bagi Anda yang tidak merayakan Nyepi, karena menikmati libur panjang sejak akhir pekan lalu, tanpa ada beban.


Bagi umat Hindu yang merayakan Nyepi, apakah perlu ucapan Selamat Hari Raya Nyepi? Saya cenderung menyetujui pendapat yang pernah dikatakan Bapak Kebek Sukarsa yang kini sudah tiada. Penyusun kalender yang berpikir modern ini merasa tak ada gunanya mengucapkan selamat hari raya Nyepi. Karena Nyepi melaksanakan empat pantangan (disebut catur brata penyepian) yang sungguh amat sulit dilaksanakan. Pantangan ini harus dilewati dengan perjuangan yang sangat berat, karena musuh yang dihadapi adalah nafsu yang ada di dalam diri. Yang perlu diucapkan selamat adalah mulainya kita memasuki tahun baru Saka. Jadi, kira-kira berbunyi: “Mari laksanakan brata penyepian dan Selamat Tahun Baru Saka 1932 bagi umat Hindu yang merayakannya”.

Yang menjadi masalah sekarang adalah Nyepi identik dengan Tahun Baru Saka, pada hari yang bersamaan. Di masa lalu, katakanlah sebelum era 1960-an, Nyepi dan Tahun Baru Saka berbeda. Nyepi diselenggarakan pada Tilem Kesanga, sedangkan Tahun Baru dimulai esoknya pada penanggal apisan (tanggal satu) sasih Kedasa. Adapun Tawur Kesanga (istilah itu sekarang lebih populer disebut pengerupukan) dilangsungkan pada pengelong 14 (sehari sebelum Tilem). Kenapa begitu? Pangelong 14 adalah hari tergelap selama sebulan, dan di sanalah Dewa Siwa melangsungkan semadinya. Ini disebut Siwa Ratri alias Malam Siwa. Adapun pengelong 14 pada Sasih Kepitu yang merupakan malam tergelap sepanjang tahun disebut Maha Siwa Ratri. Umat Hindu di Bali sering salah kaprah, Maha Siwa Ratri disebut Siwa Ratri, sedangkan Siwa Ratri itu sendiri (diluar Sasih Kepitu) dilewati begitu saja.

Baiklah, kita tinggalkan masalah yang rumit ini. Para penyusun kalender Bali kini sedang berupaya mendudukkan Hari Raya Nyepi pada porsinya yang pas. Apalagi pada tahun depan (2011) terjadi perbedaan yang mendasar soal penentuan Nyepi ini, apakah dalam tahun ini akan ada “nampi sasih” atau tidak. Umat akan dibuat bingung kalau tidak ada kesepakatan dalam masalah ini.

Kembali kepada pantangan Nyepi yang berat itu, apa permasalahannya? Pantangan itu (brata penyepian) terdiri dari amati karya (tidak bekerja), amati geni (tidak menyalakan api), amati lelungan (tidak bepergian) dan amati lelanguan (tidak menikmati hiburan). Ini gampang-gampang susah untuk dilaksanakan. Disebut gampang, tinggal mematikan lampu, mengurung diri di dalam rumah, tidak menyetel televisi atau radio, sudah dianggap cukup untuk melaksanakan pantangan ini. Bahkan, bagi mereka yang suka berjudi, saat Nyepi dijadikan ajang untuk main judi domino atau kartu ceki. Yang suka makan, menikmati makanan mewah atau yang spesial, yang disiapkan sehari sebelumnya. Di beberapa desa, masih ada tradisi untuk datang ke kebun memasak makanan yang enak-enak, karena kebun bebas dari pantangan Nyepi, seolah-olah Nyepi hanya berlaku di wilayah pemukiman saja. Lagi pula ada alasan untuk menggampangkan hal ini, yakni: bukankah tidak ada pantangan makan?

Tentu hakekat brata penyepian bukan sampai di situ. Inti utama dari keempat pantangan itu adalah pengendalian diri. Mematikan api adalah mematikan nafsu buruk. Tidak bekerja adalah membiarkan pikiran hening agar kita bisa melakukan perenungan yang dalam, apa yang telah kita lakukan selama setahun, di mana yang salah, sehingga bisa kita jadikan pedoman untuk tahun yang akan datang. Semua kemewahan dan kegemaran yang biasa dilakukan sehari-hari harus dihilangkan dari pikiran, itulah hakekat tidak bepergian dan tidak mencari hiburan.

Bagaimana bisa melaksanakan pantangan Nyepi di saat kita dimanja oleh teknologi canggih ini? Itulah seninya. Beberapa tahun yang lalu, saat Nyepi di Bali, listrik dimatikan dari gardu induk. Orang pun protes, karena listrik bukan hanya alat penerangan, tetapi banyak peralatan elektronik yang perlu listrik, misalnya, kulkas, mesin air dan sebagainya. Akhirnya listrik tetap hidup dan pengendalian diri diserahkan ke masing-masing orang. Ya, televisi dinyalakan sembunyi-sembunyi, bukankah televisi nasional tetap siaran?

Hiburan yang tak mungkin bisa “disensor” oleh pacalang yang menjaga wilayah desa adat adalah telepon selular. Entah itu bermain pesan pendek antar teman, atau bermain games. Betapa pun angkernya pecalang di jalanan, orang masih leluasa menikmati hiburan ini.

Orang yang menjalankan pantangan Nyepi dan merayakan tahun baru Saka dengan baik adalah mereka yang bisa melakukan brata penyepian tanpa ada paksaan dari pihak luar, juga tanpa ada pengawasan dari orang lain. Pengendalian diri harus muncul dari dalam diri sendiri, bukan karena adanya pecalang, bukan karena takut didenda, bukan pula karena keadaan memaksa. Jika sudah sampai dalam tahap seperti itu, hingar bingar di luar tidak lagi menjadi masalah. Itu sebabnya, beberapa anak muda yang menekuni spiritual, lebih senang merayakan Nyepi di luar Bali, karena jika tantangan makin besar dan lulus menghadapi tantangan itu, rasa nikmat lebih dalam diperoleh.

Namun, apa sesungguhnya yang dicari dengan pengendalian diri yang kuat itu? Tak lain adalah perenungan tentang perjalanan hidup di tahun yang lewat untuk melakukan perbaikan di tahun baru. Nyepi membawa kita ke titik nol kembali, atau inilah saatnya jeda dalam siklus kehidupan. Saat ini kita melakukan introspeksi. Jika tahun lalu kita suka curang, emosional, selalu berjanji tanpa bukti, korupsi besar atau kecil, berbuat baiklah di tahun depan. Jika kita tak pernah melakukan perbaikan, tak ada gunanya hari raya Nyepi. Mari kendalikan diri, renungi kehidupan yang lalu, untuk hari esok yang lebih baik. Selamat Tahun Baru Saka 1932.