Sabtu, 25 Desember 2010

Diksa Pariksa PHDI: Apakah Berhak Tak Meluluskan Calon Pandita?

(Tulisan ini untuk urun rembug Pesamuan Agung MGPSSR 25 Desember 2010 yang dimuat Tabloid Suara Pasek)

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Pesamuan Agung Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) yang berlangsung 25-26 Desember 2010 ini membahas secara mendalam masalah diksa. Bagaimana pedoman diksa untuk kalangan warga Pasek, bagaimana persyaratan diksa, bagaimana menentukan Guru Nabe, semuanya akan dibahas secara mendalam. Sungguh materi yang sangat luas namun harus berhasil dirumuskan untuk menghadapi tantangan yang akan datang. Ketentuan yang penting ini harus ada dasar hukumnya dan kemudian menjadi acuan dalam pelaksanaannya.


Saya tak ingin mengomentari masalah itu, biarlah hal ini menjadi perdebatan di antara Guru Nabe atau Pandita Mpu lain yang lebih senior dan punya wawasan yang luas, baik wawasan yang didapat dari penjelajahan tatwa maupun wawasan karena pengalaman sebagai pelayan umat di masyarakat. Saya menaruh hormat pada gagasan menyusun pedoman padiksan tersebut agar kelak bisa dipakai acuan bersama.

Saya hanya menyoroti satu hal kecil saja, ibarat sebutir pasir di sebuah lautan pasir. Mungkin hal ini tak ada artinya. Yakni, masalah keterlibatan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota/Kabupaten yang melakukan Diksa Pariksa terhadap calon sulinggih, dalam hal ini ketika calon sulinggih itu berstatus Ida Bhawati. Praktek di lapangan selama ini, Diksa Pariksa PHDI Kota/Kabupaten itu dilakukan dengan sistem ujian. Calon sulinggih diuji oleh pengurus PHDI atau yang ditunjuk. Calon sulinggih mendapat pertanyaan yang harus dijawab dan kemudian diberi nilai. Setelah semua pertanyaan dijawab, PHDI kemudian mengumpulkan nilai itu, lalu keluar keputusan; “Lulus”. Atau “Tak Lulus”.

Saya tak tahu, bagaimana kalau misalnya calon sulinggih itu “tak lulus”, apakah pediksan dibatalkan atau ditunda? Saya pernah mendengar selentingan -- tapi tak jelas di mana itu -- bahwa PHDI Kabupaten pernah tak meluluskan calon sulinggih, tetapi upacara pediksan tetap saja berlangsung karena banten dan rentetan upacara sudah disiapkan. Pertanyaannya, apa artinya kata “tak lulus”, lalu bukankah wibawa PHDI jadi dilecehkan karena tak ada arti apa-apa dari konsekwensi Diksa Pariksa itu?

Ketika saya menjalani Diksa Pariksa, tim dari PHDI Kabupaten Tabanan yang kebetulan tak ada warga Pasek (unsur warga Pasek seperti Wayan Tontra berhalangan), dalam hati kecil saya muncul pertanyaan: bagaimana kalau saya “dipermainkan” lalu dinyatakan tak lulus? Saya cuek saja, lulus atau tidak saya akan tetap mediksa. Alasan saya, apa yang dilakukan PHDI itu melanggar Bhisama PHDI Pusat. Syukurlah saya dinyatakan lulus dan ternyata ketua tim penguji itu -- Ida Pedanda dari Taman Sari, Tabanan-- adalah teman sekelas di sekolah menengah pertama.

Yang menarik, dalam pedoman Pediksan Pandita Mpu yang dirumuskan oleh Sabha Pandita MGPSSR, ternyata wewenang PHDI Kota/Kabupaten untuk meluluskan atau tak meluluskan calon sulinggih dibenarkan. Dalam alur “Prosedur Menjadi Pandita Mpu” disebutkan, setelah calon sulinggih lulus Diksa Pariksa yang diadakan Sabha Pandita MGPSSR dikeluarkan rekomendasi ke PHDI Kota/Kab untuk melakukan Diksa Pariksa. PHDI Kota/Kab setelah mendapat rekomendasi kelulusan itu, melakukan Diksa Pariksa, hasilnya adalah bisa lulus atau ditunda.

Ini yang saya sebutkan melanggar Bhisama PHDI Pusat. Pertanyaan saya, apakah Sabha Pandita MGPSSR tak tahu ada bhisama itu, apakah PHDI Kota/Kab juga tak tahu adanya bhisama itu, atau kita semua cuek dan tak taat pada apa yang sudah diatur sebelumnya?

Hak Penuh Aguron-Guron
Bhisama yang saya maksudkan berjudul lengkap: “Bhisama Sabha Pandita PHDI Pusat No. 04/BHISAMA Sabha Pandita Pusat/V/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dviyati” dikeluarkan pada 7 Mei 2005. Bhisama ditandatangani oleh Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pedanda G.K. Sebali Tianyar Arimbawa dan Wakil Dharma Adhyaksa PHDI Pusat Ida Pandita Mpu Jaya Suta Reka.

Setiap bhisama di PHDI Pusat dibahas dan disiapkan oleh Sabha Walaka yang merupakan pemikir majelis umat Hindu itu. Kebetulan saat itu saya sudah duduk di Sabha Walaka PHDI Pusat, jadi saya tahu masalahnya.

Pada bagian “Menimbang” disebutkan, bhisama ini adalah penyempurnaan dari Ketetapan Sabha II PHDI Pusat tahun 1968 tentang tata keagamaan/pendeta dan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-aspek Agama Hindu ke XIV tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa. Kenapa disebut penyempurnaan? Karena dua ketetapan itu dianggap tak sesuai lagi dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Jadi kalau PHDI sudah menganggap ketetapan itu perlu disempurnakan, kenapa kita warga Pasek masih mengacu ke sana?

Inti dari Bhisama tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa Dwijati tahun 2005 ini adalah, diksa merupakan salah satu kewajiban umat Hindu yang sebaiknya dilaksanakan pada waktu kehidupan di dunia ini sebagai wujud tahapan hidup dan peningkatan kualitas sradha, bhakti dan yasa kerti. Jadi, tak ada diksa dilakukan pada saat orang itu sudah meninggal dunia.

Dalam lampiran bhisama ini dijelaskan dengan rinci tentang kedudukan dan fungsi diksa. Saya tak ingin memerinci masalah ini. Juga yang sangat penting diuraikan di sini adalah kedudukan Guru Nabe (acharya) dengan calon diksita atau murid atau sisya. Dikutip berbagai kitab suci, terutama Atharwa Weda yang menjelaskan hubungan spiritual antara Guru Nabe dan calon diksita.

Apa kesimpulannya? Saya kutip seutuhnya: “Dalam lembaga diksa dwijati, kedudukan Guru Nabe begitu sentralnya, yakni memiliki hak prerogatif terhadap sisya-nya agar tak terjadi pengingkaran terhadap sasana atau dharmaning kawikon”.

Hak prerogatif di sini mencakup kapan calon diksita itu akan didiksa. Kapan seorang Ida Bhawati -- kalau dalam sitem aguron-aguron warga pasek -- siap untuk diksa dwijati menjadi Pandita Mpu. Artinya, lulus dan tidaknya calon sulinggih itu tergantung Guru Nabe.

Nah, meski pun Guru Nabe punya hak prerogatif, dalam pelaksanaan diksa, PHDI Pusat menyerahkan sepenuhnya hak itu kepada sistem aguron-guron. Disebutkan dalam lampiran bhisama itu (lampiran ini merupakan penjelasan), segala persyaratan khusus dan mekanisme pelaksanaan diksa, atribut serta abhiseka kepanditaan sepenuhnya diserahkan kepada sistem aguron-guron yang diikuti oleh calon diksita.

Jadi, tak ada lembaga apapun yang bisa mencampuri pelaksanaan diksa ini, di luar aguron-guron itu. Jika seorang Guru Nabe merasa perlu seorang calon diksita diuji (diksa pariksa), maka yang berhak menguji dan meluluskan atau tidak adalah lembaga di dalam sistem aguron-guron itu. Di kalangan warga Pasek, Guru Nabe dengan rendah hati menyerahkan calon diksita untuk di-diksa pariksa, dan ini telah kita setujui bersama. Saya setuju hal ini dipertahankan, meski hak prerogatif itu ada pada Guru Nabe, sebagai lembaga aguron-guron MGPSSR melalui Sabha Pandita wajib melakukan seleksi atau menguji calon diksita. Bagaimana pun juga, seorang Guru Nabe adalah manusia biasa yang belum sempurna.

Lalu, apa peran PHDI? Saya kutip lengkap lampiran bhisama ini bagian peran PHDI itu. “Dalam proses pelaksanaan diksa dwijati, PHDI berkewajiban memberikan dukungan administrasi dalam rangka diksa pariksa dan rekomendasi setelah pelaksanaan diksa pariksa yang dipimpin oleh Guru Nabe atau yang ditunjuk, serta menerbitkan sertifikat setelah ada pernyataan dari Guru Nabe.”

Tidak ada disebutkan PHDI melakukan ujian atau test terhadap calon diksita. Diksa Pariksa yang dilakukan PHDI adalah dalam arti yang sebenarnya, “memeriksa kelengkapan diksa” dalam hal administrasi. Misalnya, apakah sudah ada keterangan dari kepolisian bahwa calon diksita tak pernah melakukan tindak pidana, apakah ada surat keterangan sehat, apakah pemberitahuan ke lembaga-lembaga adat dan agama sudah dilakukan. Jadi hanya sebatas administrasi dan kemudian jika itu sudah lengkap, PHDI memberikan rekomendasi bahwa pelaksanaan dwijati bisa dilakukan.

Jika perlu -- begitu ide awal bhisama ini -- kalau calon diksita kekurangan biaya untuk urusan pediksan, PHDI sebagai majelis dan pengayom umat akan mencarikan jalan keluar. Ini hal yang umum, karena PHDI satu-satunya majelis umat Hindu yang anggarannya bisa dimasukkan APBD dan APBN. Di luar Bali sudah umum dalam pelaksanaan diksa ini pemerintah kabupaten dan provinsi memberikan bantuan. Warga Pasek yang mau mediksa dwijati dan memenuhi syarat oleh Guru Nabe dan aguron-aguronnya, seharusnya jangan malu meminta bantuan biaya dari pemerintah melalui PHDI, karena tugas pemerintah dan PHDI adalah mengayomi umat. Cuma banyak yang rikuh. Ketika saya mediksa dwijati, saya pun juga rikuh dan saya tak pernah meminta bantuan kepada siapa pun, termasuk pemerintah. Tetapi, rupanya pemerintah (Bupati dan Gubernur) “tahu diri” juga, kalau saya adalah rakyat pembayar pajak, jadi saya tetap mendapat bantuan. Astungkara dan suksma -- ini hanya contoh selingan saja.

Demikianlah kedudukan bhisama PHDI Pusat yang digagas Sabha Walaka bersama Sabha Pandita PHDI di Denpasar pada tahun 2005 itu, yang sangat menghormati sekali sistem aguron-guron dan tak ingin mencampuri urusan diksa dwijati. Karena PHDI menyadari kalau urusan ini dicampuri akan menjadi masalah besar. Persoalannya, apakah bhisama ini sudah disosialisasikan di masyarakat? Kenapa PHDI Kota/Kab masih melakukan ujian (tes) dan kenapa Sabha Pandita MGPSSR juga mengakui keberadaan tes itu, sehingga masih dimasukkan dalam alur “Prosedutr Menjadi Pandita Mpu”? Kalau demikian, apa gunanya ada bhisama?

Mari kita hormati bhisama Parisada karena kita sebagai warga Pasek tak bisa lepas dari Parisada sebagai majelis umat. Apalagi bhisama itu juga ditandatangani oleh wakil Dharma Adhyaksa yang merupakan Pandita Mpu Nabe yang kita hormati di kalangan warga Pasek.

Tahun depan, PHDI Pusat menyelenggarakan Mahasabha, mari kita terlibat lebih jauh dalam Parisada. Kalau selama ini Pandita Mpu hanya “mampu sebatas’ Wakil Dharma Adyaksa, siapa tahu tahun 2011 kelak, kedudukan tertinggi di Parisada itu dipegang oleh Pandita Mpu. Kenapa tidak? Kita punya banyak Pandita Mpu yang cendekiawan sekaligus rohaniawan, ada profesor, ada doktor, kapan lagi tampil?