Selasa, 14 Juni 2011

Istri

(Diambil dari Koran Tempo Minggu, 12 Juni 2011. Renungan yang bisa diambil dari tulisan pendek ini adalah, perkawinan itu sangat sakral, bukan soal seks saja. Perkawinan adalah untuk mewujudkan penerus yang berakhlak karena suami istri dalam Hindu haruslah melahirkan anak-anak yang suputra, anak yang saleh berbakti pada orang tua, lingkungan, bangsa dan agama. Untuk itu "hubungan intim" harus dengan "permainan rasa dalam koridor kerohanian" karena itulah permulaan pertemuan "kama" yang nantinya menjadi benih kehidupan. Dan benih itu semasih dalam kandungan terus dipelihara, misalnya, ada upacara megedong-gedongan -- usia kehamilan 7 bulan. Jangan lecehkan hubungan suami istri, seolah-olah hanya permainan nafsu -- apalagi nafsu seorang pelacur.)

• Putu Setia

Apakah Anda seorang istri? Atau bersiap mengemban tugas sebagai seorang istri? Atau mungkin sudah nenek-nenek karena punya putri yang telah menjadi istri? Siapa pun Anda, asalkan masuk dalam kategori di atas, harap bersiap-siap bergabung--suka atau tidak--dalam Ikatan Istri Taat Suami. Ikatan ini akan dideklarasikan di Jakarta akhir pekan ini, kalau jadi.

Bergembiralah para suami seperti saya, perkumpulan ini sejatinya hanya untuk memuaskan kita. Kaum wanita, para perempuan, kaum ibu, para istri--maaf, saya tak tahu apakah termasuk para selir dan istri simpanan--sibuk merancang teknik hanya untuk memuaskan kita, para suami perkasa. Dan teknik yang diutamakan oleh ikatan ini adalah sesuatu yang kabarnya sering dilupakan para istri, bagaimana memuaskan suami di atas ranjang, apakah ranjang itu beralas kapuk, busa super, atau spring bed. Intinya, para istri akan diberi pelatihan lewat konsultasi bagaimana berlaku sebagai pelacur profesional tatkala melayani suami.

Hore...! Betapa nikmatnya para suami. Setiap malam--siang pun oke juga--dilayani "pelacur kelas tinggi" yang gratisan. Jika para istri tak mau memerankan diri mereka sebagai wanita tunasusila atau pekerja seks atau kupu-kupu malam atau sebutan lain yang lebih manis lagi (di kampung saya sebutannya menyakitkan agar mereka tobat: sundel), berarti istri itu tidak taat kepada suaminya. Ketaatan itu diukur dari bagaimana cumbu rayu di atas ranjang. Luar biasa.

Penggagas Ikatan Istri Taat Suami ini bukan orang sembarangan. Di Malaysia, yang jadi cikal-bakalnya, organisasi yang bernama Klub Istri Taat Suami alias Obedient Wives Club (OWC) diprakarsai oleh kalangan intelektual, salah satunya Dr Rohaya Mohammad, yang kini menjadi Wakil Presiden OWC.

Di Indonesia, penggagasnya Dr Gina Puspita, PhD. Wow, melihat gelar kesarjanaannya saja saya harus angkat topi--eh, maaf, saya tak boleh pakai topi sejak dua tahun lalu. Kekaguman saya pun bertambah setelah tahu Dr Gina adalah doktor aeronautika yang langka, dan menjadi salah satu istri dari seorang suami. Gina melayani suaminya bersama tiga madunya, Basiroh, Salwa, dan Fatimah. Saya merinding membayangkan jika sayalah suami itu: oalah, ada empat pelacur menemani saya di satu ranjang.

Apakah hubungan suami-istri dan hakikat perkawinan semata-mata soal seks? Apakah seks semata-mata soal nafsu? Apakah nafsu semata-mata karena teknik mencumbu dan dicumbui? Dr Gina mengutip ajaran Islam dalam menyebarkan idenya ini: ketaatan istri kepada suami adalah ibadah. Saya buta soal ini, apalagi memaknai kata "taat" jika dikaitkan dengan ibadah.

Yang saya tahu, dalam Hindu, teknik "bermain" di ranjang ada dalam kitab Kama Sutra. "Permainan" ini sejatinya lebih pada "permainan rasa", bukan "pertarungan nafsu". Hanya gara-gara film Hong Kong yang banyak menerjemahkan Kama Sutra dengan konyol sehingga jadilah Kama Sutra cabul, bahkan vulgar. Kama Sutra dipraktekkan oleh pasangan yang sah karena perkawinan adalah sakral. Bahkan dalam Hindu ada saatnya kapan boleh berhubungan suami-istri dan kapan tidak, karena "tujuan hubungan" melahirkan anak yang suputra (anak saleh).

Hubungan seks saat ini sepertinya tak lagi mengikuti pakem. Para istri harus taat kepada suami, melayani suami bak pelacur, dan suami pun hanya menyalurkan rasa lelah dan kesal oleh pekerjaan rutinnya menumpuk harta. Tak ada sentuhan rohani sedikit pun di atas ranjang dan kelak lahirlah bayi-bayi instan yang nantinya mungkin menjadi koruptor, penjarah, penyuap, atau pengemplang pajak.

Pancasila

(Diambil dari Koran Tempo Minggu 29 Mei 2011, untuk direnungkan bahwa prilaku kita saat ini sungguh menyimpang dari Pancasila)

• Putu Setia

Menjelang 1 Juni, orang sibuk bicara Pancasila sebagai dasar negara. Pekan lalu, Mahkamah Konstitusi menjadi tamu para petinggi negara yang membicarakan betapa pentingnya kelahiran Pancasila diperingati.

Apakah ini juga buah reformasi? Pada masa Orde Baru, Soeharto tak sudi merayakan kelahiran Pancasila karena lebih tertarik pada kesaktian Pancasila--padahal semua orang tahu tak ada yang sakti kalau tak pernah dilahirkan. Namun di era reformasi pula Pancasila mulai dilupakan, setidaknya pengamalannya luntur. Pancasila tak lagi diajarkan secara khusus, sehingga para rektor di Jawa Timur meminta agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diajarkan kembali.

Saya setuju Pancasila diajarkan, tapi kurang sreg P4 dihidupkan, meskipun saya alumnus penataran P4 tingkat nasional angkatan ke-145. P4 penafsirannya terlalu mutlak dan kurang menghargai dialog. Tapi itu urusan Ketua MPR, Ketua DPR, presiden, dan petinggi lainnya.

Yang hendak saya katakan, pengamalan Pancasila sudah jauh merosot. Sekarang ini perikehidupan--ini bahasa penataran--menyimpang dari Pancasila, baik di tingkat elite maupun lapisan bawah. Yang banyak diamalkan justru "Pancasala". Sala, seperti halnya sila, adalah bahasa Jawa kuno yang artinya salah. "Lima kesalahan" inilah yang kini banyak diamalkan.

Apakah itu? Sala pertama: keuangan yang mahakuasa. Uanglah yang membuat orang berkuasa dan mempertahankan kekuasaan. Untuk menjadi bupati, gubernur, presiden, dan wakil rakyat perlu uang. Menjadi Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia saja perlu miliaran uang untuk menyogok wakil rakyat. Menurut akal sehat, tak masuk akal, bagaimana mengembalikan uang itu dengan gaji yang diperoleh? Tapi itu yang terjadi, korupsi semakin marak. Memalukan luar biasa.

Sala kedua: kemanusiaan yang batil dan biadab. Menurut kamus, batil artinya tak benar. Banyak perilaku kita yang tak benar dan kebiadaban terjadi di mana-mana. Teroris menjadi ancaman, perampok seenaknya menembak tewas polisi, rumah ibadah dirusak dengan beringas. Antara Mahfud Md. dan Muhammad Nazaruddin, siapa yang batil? Meski secara "perasaan" gampang ditebak--yang kabur biasanya tak benar--secara hukum, perdebatannya panjang. Ini skandal moral.

Sala ketiga: perseteruan Indonesia. Orang gampang berseteru. Buaya berseteru dengan cicak, es lilin berseteru dengan es kopyor. Andi Mallarangeng berseteru dengan Nazaruddin, Muchdi Pr. berseteru dengan Suryadharma Ali. Padahal semuanya satu partai dan semuanya bicara partainya solid. Memilih Ketua Umum PSSI saja ributnya setengah modar, padahal siapa pun yang terpilih tak akan membuat Indonesia juara dunia. Ini memprihatinkan.

Sala keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah keraguan dalam permusyawaratan semu. Semua langkah yang diambil berdasarkan keraguan. Menaikkan harga Premium takut, tapi tetap mengimbau pemilik mobil membeli Pertamax. Petinggi partai semua ngomong: koalisi solid, tak ada perpecahan, nyatanya itu semu. Ini memuakkan.

Sala kelima: kesenjangan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini tak perlu diulas, capek. Wakil rakyat membuat gedung mewah, anak-anak rakyat--yang jadi ketua rakyat--gedung sekolahnya roboh. Gaji wakil rakyat Rp 54 juta--di luar komisi proyek, uang reses, sangu studi banding, dan penghasilan makelar anggaran--sementara gaji guru honorer, termasuk yang mengajarkan Pancasila, Rp 200 ribu.

Pertanyaan untuk elite kita: betulkah kalian mau kembali ke dasar negara Pancasila kalau kenyataan yang kalian amalkan "Pancasala"? Beri teladan dong, jangan omong doang!