Selasa, 01 November 2011

Komodo dan Manusia Bali

Oleh Mpu Jaya Prema Ananda

(Catatan: artikel ini dalam versi pendek – 3500 karakter—dimuat di Koran Tempo 30 Oktober 2011 dengan judul: Komodo. Versi panjang ini hanya untuk blog, silakan mengutip dengan menyebut sumbernya).

Mari dukung Pulau Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia kategori alam. Ambil telepon selular, ketik KOMODO, kirim ke 9818. Gampang sekali. Lagi pula biayanya sangat murah, hanya Rp 1 per SMS, malah belakangan disebut gratis. Jangan takut, ini bukan SMS jebakan yang akan menguras pulsa Anda. Komodo tak akan memakan pulsa.
Ingat kirim sebanyak-banyaknya. Saya sudah tak bisa menghitung, entah berapa puluh sms yang dikirim dari telepon selular saya. Yang mengirim cucu saya, usia enam tahun, yang senang melihat binatang Komodo. Kalau hanya kurang 30-an juta sms lagi untuk menjadikan Pulau Komodo salah satu dari tujuh keajaiban dunia, bukankah ini pekerjaan mahagampang di negeri ini? Tak perlu mengerahkan anak-anak sekolah untuk mengirim SMS, seperti yang dilakukan di Bandung. Pinjam saja telepon selular para wakil rakyat, suruh petugas kebersihan atau siapapun di Senayan untuk memencet-mencet sampai tangannya lecet. Jika 500 wakil rakyat menyerahkan teleponnya, lalu ada yang memencetnya siang malam, masing-masing wakil rakyat hanya “membuang” pulsa Rp 60 ribu. Itu tak ada artinya, hanya 0,1 % dari pendapatan resmi wakil rakyat. Ini tak akan membuat wakil rakyat kita jatuh miskin, toh masih ada pendapatan tidak resmi.

Lalu, apa setelah semua sms itu dikirim? Apa yang terjadi setelah Pulau Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban alam? Saya hanya memperkirakan semua orang senang, apalagi Bapak Jusuf Kalla, yang kini menjadi Duta Komodo. JK pernah mengatakan, jika predikat itu didapat oleh Pulau Komodo, maka Provinsi Nusa Tenggara Timur akan menjadi “Bali kedua” dalam hal menggaet wisatawan. Komodo akan menjadi ikon pariwisata di NTT dan rakyat di kawasan ini akan segera menikmati kesejahtraannya. Luar biasa, hanya dengan SMS seharga Rp 1, Anda sudah mengentaskan kemiskinan di kepulauan yang gersang ini.

Namun, dalam pikiran saya yang sederhana, wisatawan membanjiri NTT tentu karena Pulau Komodo. Saya belum melihat ada kawasan wisata yang siap jual di sana, meski pun potensi alamnya banyak yang bagus. Artinya, dalam satu dasa warsa ke depan, Pulau Komodo-lah yang akan dituju wisatawan. Apa yang dicari di Pulau Komodo itu? Ya, tentu saja komodo, binatang purba yang masih bisa bertahan. Tak ada orang membeli batik atau lukisan di Pulau Komodo.

Celakanya, binatang yang bernama komodo ini masih primitif, setidak-tidaknya tak mau diajak modern, tak mau diajak berpatungan menggaet wisatawan. Sudah ada penelitian dari pakar komodo, jika habitat mereka dirusak, populasi mereka tak akan berkembang. Bahkan, semakin banyak komodo berinteraksi dengan manusia, semakin stress dia, sampai-sampai “bunuh diri”. Komodo yang ada di Kebun Binatang Surabaya saja mati, padahal sudah dipelihara dengan bagus dan dimanja betul. Aneh betul komodo ini, mbok ya mau diajak menguras kantong wisatawan, mau hidup di lantai yang bersih, apalagi kalau mau makan pizza atau spaghety, pasti dipenuhi oleh manusia. Sayang, komodo itu “binatang bodoh”, tak mau materialistis.

Lantas bagaimana mungkin mengembangkan wisata komodo kalau ikon yang dijual itu tak bisa diajak bermusyawarah? Pelancong membutuhkan hotel, restoran, jalan aspal, mobil, motor, air bersih, listrik dan banyak lagi. Komodo membutuhkan hutan, rawa, air kotor, bangkai hewan untuk makanannya. Kalau tak ada kompromi dan tidak terjadi koalisi antara komodo dan manusia, lalu manusia gagal memecahkan masalah ini, wisata komodo tak akan berumur panjang karena obyek dari wisata itu adalah alam.

Manusia Bali yang Bukan Komodo

Nah, sekarang mari kita lihat dunia wisata di Bali, yang dijadikan impian dalam menggaet jumlah wisatawan. Dunia wisata di Bali masih bertahan – meskipun saya kira tak terlalu lama lagi—karena ada dua ikon yang dimilikinya: budaya dan alam. Alam ciptaan Tuhan, budaya ciptaan manusia. Pantai yang indah, danau yang memukau, gunung yang menakjubkan di Bali adalah ciptaan Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan aktifitas budaya masyarakat Bali adalah ciptaan leluhur manusia Bali yang telah diwarisi ratusan tahun lalu.

Manusia Bali tentu saja bukan sejenis komodo, mereka punya akal, pikiran, otak yang bisa dibuat modern. Dalam filsafat orang Bali beragama Hindu, manusia diberi tri pramana – tiga sifat—yaitu hidup, makan, dan pikiran. Binatang hanya punya dua: hidup dan makan. Tumbuh-tumbuhan hanya satu: hidup. Manusia Bali sejak dulu kala menjadi manusia yang polos dan senang dipuji: teruskan mandi di sungai bercampur laki perempuan, teruskan bertani di sawah yang teraseringnya memukau itu, teruskan melakukan ritual yang penuh kesenian dan hura-hura itu. Wisatawan terpukau oleh aktifitas orang Bali dalam melakukan ritualnya, pengelola wisata kaya raya memanfaatkan turis asing menonton ritual ini.

Tetapi karena manusia Bali bukan binatang, apalagi komodo, manusia Bali kini bertanya dengan mengandalkan otaknya: “Kenapa sawah saya yang indah itu harus saya pertahankan, memangnya ada yang mengurusi irigasinya, pajak buminya saja naik terus?” Masuk akal pertanyaan ini, pemerintah Bali mengabaikan sektor pertanian, karena itu banyak sekali sawah yang sudah berubah fungsi menjadi kebun karena irigasi yang tak memadai. Anehnya, sawah yang bertahan dengan irigasi seadanya, dan karena berada di pinggir jalan raya, pajak bumi dan bangunannya naik terus. Padahal sawah inilah yang menjadi daya tarik wisatawan.

Manusia Bali bertanya: “Kenapa saya harus melaksanakan ritual yang besar dan jelimet, membuat sengsara saja, apalagi pendeta Hindu sudah memperkenalkan ritual sederhana yang murah, memangnya ritual itu tontonan?” Ini gugatan yang sudah lama terdengar, tetapi tak didengar oleh pengelola pariwisata. Orang Bali kini sudah merasakan betapa menjadi beban untuk menyelenggrakan ritual yang besar. Ngaben dilakukan dengan besar sampai menjual sawah ladang. Padahal untuk apa ritual besar itu karena tingkat ritual dalam Hindu diperbolehkan sampai 9 peringkat? Belakangan ini sudah dikenal adanya ritual gotong-royong, misalnya, apa yang disebut “ngaben masal”. Upacara sederhana, biaya pun murah. Bahkan ada yang lebih murah lagi dengan membawa jenazah ke krematorium, dibakar apa adanya di sana. Para pendeta Hindu menganjurkan dan memuji upacara jenis ini, dan dengan senang hati memimpinnya. Karena ritual yang sejatinya di saat ini adalah “ritual duniawi”, yakni menolong kehidupan sesama manusia, membantu kaum fakir miskin dan orang yang terlantar.

Manusia Bali pun menggugat: “Kenapa pura saya harus dikunjungi wisatawan, memangnya saya tak terganggu kalau bersembahyang?” Gugatan ini sudah melahirkan bhisama (fatwa) dari para pendeta Hindu dengan mengatur wilayah kesucian pura, minimum 2 km dan maksimum 5 km dari letak pura. Di areal kesucian itu tak boleh ada kegiatan yang bukan bertujuan agama, tak boleh ada hotel, restoran, apalagi kafe remang-remang. Kini, bhisama itu sudah diadopsi oleh Pemda Bali dengan Perda Tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah.

Meski pun begitu, para pengelola wisata terus berkoar-koar: lestarikan budaya Bali, ajegkan budaya Bali. Dengan berbalut kata indah “melestarikan budaya” mereka ingin orang Bali tidak mengubah bentuk ritualnya. Namun, orang Bali bersama pendetanya sudah menemukan format yang pas untuk melaksanakan ritual yang murah dan “tanpa enak ditonton”. Sementara orang Bali yang punya kaitan dengan dunia wisata, sengaja membuat ritual yang megah namun dengan sponsor dari jaringan televisi dan entah dari mana lagi. Secara agama ini tidak dibenarkan, disebut rajasika yadnya, artinya punya motif tertentu (menarik keuntungan materi) dari ritual yang dilakukan.

Dengan kecendrungan perubahan manusia Bali dalam menyikapi ritual dan adatnya sekarang ini, maka yang masih dinikmati oleh wisatawan nantinya hanya budaya dalam bentuk kesenian dan itu tak harus dilakukan oleh orang Bali dan terjadi di Bali, bisa berkembang di mana saja di Nusantara ini. Tari Bali yang dinikmati wisatawan itu bisa saja tidak ditarikan orang Bali, bahkan bisa saja dilakukan di luar Bali. Kesenian Bali sudah menjadi milik nasional, bahkan milik dunia. Lihat saja berapa banyak mahasiswi Jepang yang belajar di Institut Seni Indonesia Denpasar.

Kalau begitu, jika kepariwisataan di NTT tak akan bernapas panjang karena ikonnya adalah komodo – yang tak bisa diajak modern – maka kepariwisataan di Bali mungkin juga tak panjang karena ikonnya adalah manusia – yang ternyata bisa modern dan bisa melihat ketidak-adilan. Sayangnya, tak ada satu pun Menteri Pariwisata di negeri ini yang memikirkan bagaimana mengelola “pariwisata budaya dan alam” secara benar. Tak ada yang bisa berpikir – hanya berpikir lalu berwacana—misalnya bagaimana membebaskan pemilik sawah di Bali yang indah itu dari pajak PBB, apalagi memberinya subsidi dalam bertani. Tak ada yang punya ide, bagaimana jika pemerintah menyisihkan sebagian uangnya – katakan saja uang dari turis—untuk disumbangkan kepada manusia Bali agar puranya terawat dengan baik.

Orang Bali tetap disuruh melaksanakan tradisi mewahnya di masa lalu, yang memanfaatkan adalah orang-orang luar Bali yang membangun hotel dan biro kepariwisataan. Jika komodo saja emoh diperalat dan memilih mati, orang Bali tentu emoh diperalat karena tetap memilih hidup.