Oleh Putu Setia
Geger tari Pendet, yang diklaim Malaysia sebagai tari tradisionalnya, sudah menyurut. Penyelesaiannya pun khas Melayu. Pemerintah Malaysia mengaku tak tahu urusan itu, karena promosi pariwisata di kerajaan tersebut dikerjakan swasta. Adapun pihak swasta yang membuat tayangan promosi itu sudah meminta maaf karena mereka mendapatkan gambarnya dari pihak ketiga. Sedangkan pihak ketiga, yang entah siapa, diduga mendapatkan bahan dari sekeping VCD yang dibelinya di Bali--bisa jadi pula VCD bajakan, yang memang mudah sekali diperoleh di kaki lima.
Ya, urusan selesai, mau diapakan lagi? Tari Pendet adalah klaim yang kesekian kali oleh Malaysia terhadap budaya Indonesia. Sebelumnya ada reog Ponorogo, kain batik, wayang kulit, angklung, keris, beberapa lagu. Urusan non-budaya juga ada, misalnya klaim terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan. Hebatnya, Malaysia selalu menang. Artinya, mereka berhasil mendapatkan publikasi tanpa menerima hukuman apa pun, sedangkan di Indonesia, orang hanya teriak-teriak di jalanan sambil mengacungkan tangan: ganyang Malaysia.
Ketika sejumlah seniman Bali bersedih atas klaim tari Pendet ini, saya sempat tertawa dalam hati. Sebab, begitu bodohnya Malaysia mengklaim sesuatu. Begitu banyak jenis tari di Bali, baik yang tradisional maupun setengah tradisional, kenapa memilih tari Pendet? Hanya orang idiot yang bisa diyakinkan bahwa tari Pendet milik orang non-Bali. Jika promosi pariwisata itu dilakukan dengan cara-cara orang idiot, memangnya ada yang percaya? Apa turis yang mau disasar Malaysia adalah turis yang bloon? Jadi memprotes kerjaan orang bodoh, ya, sama juga bodoh.
Tari Pendet awalnya tari sakral, persembahan untuk Hyang Widhi, Tuhan dalam sebutan orang Bali. Meskipun diprofankan oleh seniman tari angkatan Nyoman Reneng, tetap saja bau sakralnya ada. Dan terus terang, irama dan busana tari itu tak cocok--atau bahkan bisa disebutkan bertentangan--dengan akidah Islam, agama mayoritas di Malaysia. Karena itu, saya tak habis pikir, bagaimana mungkin sebuah "negara kerajaan" yang berbasis ajaran Islam berani mengklaim kesenian dari khazanah budaya Hindu yang wanita penarinya menonjolkan aurat.
Saya menduga, Malaysia telah kehilangan jati diri, setidaknya kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bangsanya sendiri, terutama dalam hal budaya. Karena tak percaya akan modal bangsanya, negara itu lantas mengklaim berbagai kekayaan budaya negeri jirannya, Indonesia. Nah, kenapa kita justru ribut? Mestinya kita kasihan dan membantu Malaysia dengan menyodorkan lebih banyak lagi budaya kita untuk mereka klaim. Setelah batik, reog, wayang, angklung, Pendet, ya, jika perlu, nanti kita sodorkan jaipong, tayub, bedoyo, dan banyak lagi. Lalu, kita tawari mereka mengklaim Pancasila sebagai dasar negara, kemudian merah putih sebagai bendera bangsanya, dan siapa tahu nanti terus mengklaim Presiden SBY sebagai kepala negaranya.
Nah, setelah itu, kita tinggal mengundang para sultan di Semenanjung Malaysia ke Senayan dan Ketua MPR RI membacakan maklumat: "Dengan rahmat Tuhan Yang Mahakuasa, Semenanjung Malaysia resmi sebagai Daerah Istimewa Khusus Malaysia bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sarawak resmi menjadi Provinsi Kalimantan Utara."
Inilah sejatinya yang diniatkan Mahapatih Gajah Mada ketika mengucapkan Sumpah Palapa. Kini kita mewujudkan sumpah itu tanpa bau mesiu, karena dibukakan jalan damai: mulai dari klaim-mengklaim budaya. Selamat datang, Malaysiaku, Indonesia yang sebenarnya.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu 30 Agustus 2009)
Untuk kedamaian dari Rumah Budaya Pasraman Manikgeni, Pujungan, Tabanan, Bali
Minggu, 30 Agustus 2009
Kamis, 27 Agustus 2009
Dua Dunia Putu Setia
Oleh Toriq Hadad
MUMPUNG ada peristiwa istimewa, perkenankan saya menulis tentang Putu Setia, pencipta dan penulis rubrik Cari Angin ini. Ya, peristiwa itu luar biasa untuk wartawan senior Tempo yang kini 58 tahun itu serta Ni Made Sukarnithi, istrinya, tentu juga untuk umat Hindu di Bali.
Jumat dinihari lalu, di Pasraman Dharmasastra Manikgeni di Banjar Taman Sari, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, setelah menjalani prosesi Rsi Yadnya Mediksa atau wisuda pandita, lengkaplah pasangan itu menjadi brahmana sejati. Mereka menjalani dwi jati atau upacara kelahiran kedua. Ia mencapai tahap bhiksuka, di mana orang melepas segala hal duniawiah.
Maka, Putu Setia praktis ”dimatikan”, menjelma menjadi Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Konon kata ”Prema” – yang berarti kasih sayang – datang langsung dari Tuhan lepas tengah malam itu. Sementara lima kata yang lain sudah menjadi standar resmi pendeta Bali. ”Bisa saja yang datang dari Tuhan nanti kata Tempo,” ujar Putu Setia sambil bercanda melalui telepon, beberapa jam sebelum wisuda.
Ia -- yang pada tahun 1978 sudah menjadi kepala biro Tempo untuk Yogya dan Jawa Tengah -- memang menyebut Tempo sebagai salah satu gurunya. Ketika guru nabe-nya menjelaskan bahwa ia harus memilih orang dan bukan organisasi, ia memilih salah satu nama, tapi tetap mencantumkan Tempo sebagai guru baginya.
Saya -- yang berbilang tahun tinggal satu kompleks dengannya di Pamulang Permai -- gembira untuk pencapaian besarnya ini. Saya tahu ia berjuang untuk umatnya, misalnya dalam hal kasta. Semua orang konon lahir sebagai sudra. ”Di Bali tak ada kasta, yang ada warna, ajaran Hindu yang memberi kesempatan setiap orang menjadi apa saja. Kalau mau jadi brahmana, belajarlah ritual agama. Kalau mau jadi Wesya, belajarlah menjadi pedagang,” katanya suatu kali. Dan ia memutuskan tak menjadi petani (sudra) tapi menjadi brahmana dengan belajar ritual agama, selepas pensiun sebagai karyawan tiga tahun lalu. Ia memprakarsai penerbitan buku ”Kasta: Kesalahpahaman Berabad-Abad”. Ia ikut mendirikan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia.
Maka, bila berkunjung ke Bali, saya tak bisa lagi seenaknya memanggil dia Mas, Pak, atau Bos seperti biasa. Saya akan panggil dia Pandita – atau Pak Pandita, kalau boleh. Saya harus mulai menahan diri tidak tertawa geli melihat kerucut (kuncir bundar) rambut di bagian atas kepalanya. Saya mesti mulai terbiasa dengan busana wiku putih-kuning yang dikenakannya ke mana saja. Saya tahu sekarang ia mesti sering melayani umat dan sembahyang dengan membunyikan bajra (genta kecil), merapal bacaan seloka dari Catur Weda, sembari jari tangannya memperagakan mudra.
Saya tadinya merasa kehilangan Putu Setia. Kehilangan sahabat dengan rasa humor yang ”gila-gilaan”. Ketika Tempo berkantor di Kuningan, dan bertetangga dengan kedutaan Australia -- di mana kami bisa menyaksikan para bule berenang di kolam renang -- Putu mengaku sudah lama membangun kolam renang di rumahnya. Untuk itu rumahnya dijaga khusus oleh seorang satpam. Begitu meyakinkan ia bercerita, sampai suatu kali direktur keuangan sengaja datang ke rumahnya. Tentu saja yang ada hanyalah kolam ikan kecil di rumah 200 meter persegi itu. Satpam memang kebetulan lewat, tapi itu satpam RT yang menjaga seratus rumah yang lain.
Humor itu selalu mewarnai tulisan-tulisannya. Bagi kami di Tempo, hanya dia yang bisa menulis dengan jenaka. Dia juga penulis yang sangat produktif. Tiga seri ”Menggugat Bali” merupakan sebagian dari banyak karyanya. Maka, dalam tugas pelayanan rohani nanti, semogalah dia diijinkan berdakwah lewat tulisan. Saya tahu menulis adalah hidupnya. Dan tulisannya lebih menggugah ketimbang bila ia diminta berpidato – bicaranya terlalu cepat atau pasti cenderung mengajak bergurau.
Rasa kehilangan saya terobati. Sebuah pesan pendeknya mampir di hand-phone saya: nama Putu Setia tetap dipatenkan di dunia kewartawanan. Alhamdulillah. Kelebihannya dalam menyampaikan ”dakwah” melalui tulisan rupanya diakui para guru spiritualnya. Artinya pekan depan ia sudah mulai menulis Cari Angin lagi – semoga tetap dengan ”kenakalan” seorang Putu Setia.***
(Cari Angin Koran Tempo, 23 Agustus 2009)
MUMPUNG ada peristiwa istimewa, perkenankan saya menulis tentang Putu Setia, pencipta dan penulis rubrik Cari Angin ini. Ya, peristiwa itu luar biasa untuk wartawan senior Tempo yang kini 58 tahun itu serta Ni Made Sukarnithi, istrinya, tentu juga untuk umat Hindu di Bali.
Jumat dinihari lalu, di Pasraman Dharmasastra Manikgeni di Banjar Taman Sari, Desa Pujungan, Kabupaten Tabanan, setelah menjalani prosesi Rsi Yadnya Mediksa atau wisuda pandita, lengkaplah pasangan itu menjadi brahmana sejati. Mereka menjalani dwi jati atau upacara kelahiran kedua. Ia mencapai tahap bhiksuka, di mana orang melepas segala hal duniawiah.
Maka, Putu Setia praktis ”dimatikan”, menjelma menjadi Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Konon kata ”Prema” – yang berarti kasih sayang – datang langsung dari Tuhan lepas tengah malam itu. Sementara lima kata yang lain sudah menjadi standar resmi pendeta Bali. ”Bisa saja yang datang dari Tuhan nanti kata Tempo,” ujar Putu Setia sambil bercanda melalui telepon, beberapa jam sebelum wisuda.
Ia -- yang pada tahun 1978 sudah menjadi kepala biro Tempo untuk Yogya dan Jawa Tengah -- memang menyebut Tempo sebagai salah satu gurunya. Ketika guru nabe-nya menjelaskan bahwa ia harus memilih orang dan bukan organisasi, ia memilih salah satu nama, tapi tetap mencantumkan Tempo sebagai guru baginya.
Saya -- yang berbilang tahun tinggal satu kompleks dengannya di Pamulang Permai -- gembira untuk pencapaian besarnya ini. Saya tahu ia berjuang untuk umatnya, misalnya dalam hal kasta. Semua orang konon lahir sebagai sudra. ”Di Bali tak ada kasta, yang ada warna, ajaran Hindu yang memberi kesempatan setiap orang menjadi apa saja. Kalau mau jadi brahmana, belajarlah ritual agama. Kalau mau jadi Wesya, belajarlah menjadi pedagang,” katanya suatu kali. Dan ia memutuskan tak menjadi petani (sudra) tapi menjadi brahmana dengan belajar ritual agama, selepas pensiun sebagai karyawan tiga tahun lalu. Ia memprakarsai penerbitan buku ”Kasta: Kesalahpahaman Berabad-Abad”. Ia ikut mendirikan Forum Cendekiawan Hindu Indonesia.
Maka, bila berkunjung ke Bali, saya tak bisa lagi seenaknya memanggil dia Mas, Pak, atau Bos seperti biasa. Saya akan panggil dia Pandita – atau Pak Pandita, kalau boleh. Saya harus mulai menahan diri tidak tertawa geli melihat kerucut (kuncir bundar) rambut di bagian atas kepalanya. Saya mesti mulai terbiasa dengan busana wiku putih-kuning yang dikenakannya ke mana saja. Saya tahu sekarang ia mesti sering melayani umat dan sembahyang dengan membunyikan bajra (genta kecil), merapal bacaan seloka dari Catur Weda, sembari jari tangannya memperagakan mudra.
Saya tadinya merasa kehilangan Putu Setia. Kehilangan sahabat dengan rasa humor yang ”gila-gilaan”. Ketika Tempo berkantor di Kuningan, dan bertetangga dengan kedutaan Australia -- di mana kami bisa menyaksikan para bule berenang di kolam renang -- Putu mengaku sudah lama membangun kolam renang di rumahnya. Untuk itu rumahnya dijaga khusus oleh seorang satpam. Begitu meyakinkan ia bercerita, sampai suatu kali direktur keuangan sengaja datang ke rumahnya. Tentu saja yang ada hanyalah kolam ikan kecil di rumah 200 meter persegi itu. Satpam memang kebetulan lewat, tapi itu satpam RT yang menjaga seratus rumah yang lain.
Humor itu selalu mewarnai tulisan-tulisannya. Bagi kami di Tempo, hanya dia yang bisa menulis dengan jenaka. Dia juga penulis yang sangat produktif. Tiga seri ”Menggugat Bali” merupakan sebagian dari banyak karyanya. Maka, dalam tugas pelayanan rohani nanti, semogalah dia diijinkan berdakwah lewat tulisan. Saya tahu menulis adalah hidupnya. Dan tulisannya lebih menggugah ketimbang bila ia diminta berpidato – bicaranya terlalu cepat atau pasti cenderung mengajak bergurau.
Rasa kehilangan saya terobati. Sebuah pesan pendeknya mampir di hand-phone saya: nama Putu Setia tetap dipatenkan di dunia kewartawanan. Alhamdulillah. Kelebihannya dalam menyampaikan ”dakwah” melalui tulisan rupanya diakui para guru spiritualnya. Artinya pekan depan ia sudah mulai menulis Cari Angin lagi – semoga tetap dengan ”kenakalan” seorang Putu Setia.***
(Cari Angin Koran Tempo, 23 Agustus 2009)
Putu Setia jadi Ida Pandita Mpu
Oleh Made Mustika
Malam itu langit di atas Desa Pujungan, Tabanan, gelap gulita. Maklum, Kamis 20 Agustus 2009 adalah Tilem (bulan mati). Malam itu dipilih oleh tuan rumah untuk menuntaskan niatnya menjadi sulinggih, tahapan tertinggi perjalanan manusia menurut Hindu. Malam itu Putu Setia resmi memperoleh gelar Ida Pandita Mpu. Lengkapnya adalah Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Menanggalkan gelar sebelumnya: Ida Bhawati. Ibarat dunia pendidikan, dulu Putu Setia baru bergelar sarjana muda, kini sudah sarjana strata satu. Istrinya, Ni Made Sukarnithi, tentu saja bergelar Ida Pandita Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda.
Tilem dipilih karena setelah itu bulan di langit akan nampak semakin membesar dari hari ke hari. Fenomena alam itu dimaknai semoga jalan spiritualnya dari hari ke hari semakin memuncak. Semakin memuncak? Bukankah posisi yang dicapai sekarang sudah merupakan “karir” puncak? Benar memang. Tapi ibarat sarjana, apalah artinya kalau hanya gelar saja sarjana, namun perilaku dan intelektual tidak mendukungnya? Ida Pandita berkomitmen akan terus berjuang menaklukkan “diri” serta memperdalam keilmuannya, baik dalam bidang agama maupun bidang-bidang lainnya. “Saya juga akan tetap menulis (di berbagai media),” ujarnya setelah upacara diksa selesai dijalani.
Semasih walaka, Putu Setia adalah seorang wartawan. Dia dikenal sebagai wartawan senior di Majalah dan Koran Tempo. “Beliau adalah seorang yang kritis. Kalau saja ada 30 sulinggih seperti beliau, maka akan sangat besar dampaknya dalam rangka pencerahan kepada umat Hindu,” komentar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana menjelang pelaksanaan diksa malam itu. Selain Sudiana, sambutan juga diberikan oleh Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Prof. Dr. Made Titib.
Titib malam itu menguraikan makna diksa, yang antara lain di dalamnya ada prosesi sedaraga atau proses “meninggal” sebelum akan “dilahirkan” kembali. Prosesi sedaraga dimaksudkan agar indria-indria dan nafsu-nafsu buruk dikubur atau ditinggalkan. Dicontohkan, seorang sulinggih tak boleh mengkhayal yang bukan-bukan bila melihat gadis muda nan cantik. Demikian juga soal makanan, lidah dan perut hendaknya jangan dimanja, apalagi sampai memanjakan berlebihan. Di dalam ajaran Buddha, seorang biksu bahkan diharapkan hanya makan sekali sehari dengan menu sederhana hasil pemberian umat. Makanan itu hanya untuk mempertahankan badan. Jika lewat dari itu, maka hal itu dimaksud sebagai berlebihan. Kalau sudah berlebihan, jelas indria yang menikmatinya. Itulah antara lain perjuangan yang terus mesti ditaklukkan oleh Ida Pandita. Tegasnya, tidak boleh cepat marah dan emosi. Demikian antara lain standar moral seorang sulinggih. Berat memang, tapi sungguh mulia.
Ritual sedaraga berlangsung antara pukul 23.35 hingga 01.10 dini hari. Dalam prosesi tersebut, Putu Setia dan istri diupacarai layaknya sudah meninggal. Keduanya dibungkus dengan kain putih. Upacara dilakukan di balai pawedan dipimpin oleh tiga sulinggih. Mereka itu adalah Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Kayumas Kelod, Denpasar, sebagai guru nabe; Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Prateka Tanaya dari Padangan, Pupuan, sebagai guru waktra, dan Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya dari Basangbe, Baturiti, sebagai guru saksi. Menurut pandangan Titib, saat-saat sedaraga merupakan masa kritis sekaligus akan memberikan pengalaman batin yang sifatnya ekslusif.
Setelah dibalut kain layaknya orang meninggal, mereka kemudian digotong ke balai gede, sekitar 12 meter dari balai pawedan. Di situ “mayat-mayat” itu diletakkan/ditidurkan kurang lebih 1,5 jam. Benar juga, saat itu Putu Setia tidak merasakan apa-apa. Yang didengar hanya orang mekidung (nyanyi). Sedangkan suara gamelan yang tentu jauh lebih keras tidak didengarnya. “Badan mulai dada ke bawah sampai ujung kaki tak sadar sama sekali. Bahkan saya sempat berpikir apa saya sudah mati beneran?” katanya. Selama sedaraga, atman Putu Setia seperti mengelana ke masa ribuan tahun silam. Dia mengaku tidak tahu ke mana ia “mengembara”. Yang jelas suasananya primitif sekali. Orang-orang yang ditemui tidak menggunakan pakaian seperti kita sekarang. Mereka tidak menggunakan alas kaki. Ukuran tubuh yang dilihatnya juga relatif lebih kecil dibanding manusia sekarang. Mereka ada yang mandi di sungai. Air-air sungai masih sangat jernih. Demikian juga hutannya masih sangat perawan. Putu Setia mengaku amat menikmati perjalanan itu. Namun tiba-tiba mukanya terasa kecipratan air. Hendak protes, tapi kata yang disiapkan sama sekali tidak bisa keluar. Lidahnya kelu, mulutnya tak bisa digerakkan. Seperti yang sering dialami orang ketika bermimpi. Tapi Putu Setia tidaklah bermimpi saat itu. Tapi sebuah pengalaman eksklusif yang tidak bisa dirasakan orang lain kalau tidak pernah menjalani.
Ketika waktu 1,5 jam dilampui, guru nabe memang meminta beberapa orang untuk memberikan tirta (air suci). Kecipratan air suci membuat “perjalanannya” atman Putu Setia tiba-tiba mandeg. Ia tak bisa melanjutkan perjalanannya batinnya. Padahal saat dia lagi senang-senangnya menikmati pengalaman itu. Saat kesadarannya mulai terjaga, bagian bawah badan masih tetap belum bisa digerakkan, walaupun beberapa orang telah memijat tangan dan kakinya. Baru ketika dibawa ke tempat permandian, Putu Setia sadar sepenuhnya. “Lebih-lebih setelah disiram dengan air hangat, kesadaran saya pulih sepenuhnya,” ujarnya. Pengalaman batin saat melakukan sedaraga tak sama pada setiap sulinggih.
Pemimpin Redaksi Majalah Raditya itu kemudian menjalani sejumlah ritual tambahan hingga pukul 03.30 Wita. Puncaknya dilakukan persembahyangan bersama di Pura Manikgeni. Subuh itu langit masih gelap, dan puncak dingin datang menyergap. Butuh perjuangan keras untuk melewatkan malam dalam kondisi seperti itu. Serangkaian ritual itu pastilah amat melelahkan. Apalagi, Jumat (21/8), pukul 09.00 dilanjutkan dengan acara resepsi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika tidak bisa hadir langsung, dan mengutus Asisten II Ketut Wija untuk membacakan sambutan tertulisnya. Sementara Ketua Pusat Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MPSSR) Prof. dr. Wita, Ketua PHDI Tabanan Wayan Tontra, tokoh Hindu Ketut Wiana hadir langsung dalam resepsi tersebut. Mereka, selain memberikan ucapan selamat atas suksesnya upacara diksa tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa tantangan menjadi sulinggih sangat besar. Mereka berharap Ida Pandita Mpu tidak hanya mampu menampilkan diri sebagai sulinggih ritual semata. Tapi diharapakan pula menjadi sulinggih yang mampu menerangi kegelapan umat. Harapan lain yang tak kalah pentingnya adalah agar Ida Pandita Mpu tidak mengemas ritual sebagai kegiatan bisnis atau sumber nafkah keluarga.
Nama di belakang gelar yang disandangnya itu bermakna sangat dalam. Jaya Prema Ananda berarti bila kasih sayang berhasil dijalankan, maka kebahagiaan hidup pasti tercapai. Jaya artinya kemenangan, prema artinya kasih sayang, dan ananda artinya kebahagiaan. Sabtu (22/8) sore, di Griya Dharmasastra Manikgni Pujungan dilanjutkan dengan upacara agni hotra oleh sejumlah dokter dari Denpasar. Upacara tersebut sebagai penuntas serangkaian upacara diksa. Cita-citnya menjadi sulinggih yang terpendam sejak 2004 tercapai sudah. “Saya bercita-cita menjadi sulinggih ketika Tempo dibredel oleh penguasa Orde Baru tahun 2004,” jelasnya. Ketika niat itu diutarakan, beberapa temannya di Tempo tak memercayainya. Sebab, bagaimana mungkin seorang dari “kasta” biasa bisa menjadi pandita. Keraguan teman-temannya itu kini terjawab sudah. Dalam Hindu siapapun boleh menjadi pandita, asalkan bisa memersiapkan diri untuk mengambil tanggungjawab dan kedudukan itu. Selamat!
(Diambil dari Majalah Raditya)
Malam itu langit di atas Desa Pujungan, Tabanan, gelap gulita. Maklum, Kamis 20 Agustus 2009 adalah Tilem (bulan mati). Malam itu dipilih oleh tuan rumah untuk menuntaskan niatnya menjadi sulinggih, tahapan tertinggi perjalanan manusia menurut Hindu. Malam itu Putu Setia resmi memperoleh gelar Ida Pandita Mpu. Lengkapnya adalah Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Menanggalkan gelar sebelumnya: Ida Bhawati. Ibarat dunia pendidikan, dulu Putu Setia baru bergelar sarjana muda, kini sudah sarjana strata satu. Istrinya, Ni Made Sukarnithi, tentu saja bergelar Ida Pandita Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda.
Tilem dipilih karena setelah itu bulan di langit akan nampak semakin membesar dari hari ke hari. Fenomena alam itu dimaknai semoga jalan spiritualnya dari hari ke hari semakin memuncak. Semakin memuncak? Bukankah posisi yang dicapai sekarang sudah merupakan “karir” puncak? Benar memang. Tapi ibarat sarjana, apalah artinya kalau hanya gelar saja sarjana, namun perilaku dan intelektual tidak mendukungnya? Ida Pandita berkomitmen akan terus berjuang menaklukkan “diri” serta memperdalam keilmuannya, baik dalam bidang agama maupun bidang-bidang lainnya. “Saya juga akan tetap menulis (di berbagai media),” ujarnya setelah upacara diksa selesai dijalani.
Semasih walaka, Putu Setia adalah seorang wartawan. Dia dikenal sebagai wartawan senior di Majalah dan Koran Tempo. “Beliau adalah seorang yang kritis. Kalau saja ada 30 sulinggih seperti beliau, maka akan sangat besar dampaknya dalam rangka pencerahan kepada umat Hindu,” komentar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana menjelang pelaksanaan diksa malam itu. Selain Sudiana, sambutan juga diberikan oleh Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Prof. Dr. Made Titib.
Titib malam itu menguraikan makna diksa, yang antara lain di dalamnya ada prosesi sedaraga atau proses “meninggal” sebelum akan “dilahirkan” kembali. Prosesi sedaraga dimaksudkan agar indria-indria dan nafsu-nafsu buruk dikubur atau ditinggalkan. Dicontohkan, seorang sulinggih tak boleh mengkhayal yang bukan-bukan bila melihat gadis muda nan cantik. Demikian juga soal makanan, lidah dan perut hendaknya jangan dimanja, apalagi sampai memanjakan berlebihan. Di dalam ajaran Buddha, seorang biksu bahkan diharapkan hanya makan sekali sehari dengan menu sederhana hasil pemberian umat. Makanan itu hanya untuk mempertahankan badan. Jika lewat dari itu, maka hal itu dimaksud sebagai berlebihan. Kalau sudah berlebihan, jelas indria yang menikmatinya. Itulah antara lain perjuangan yang terus mesti ditaklukkan oleh Ida Pandita. Tegasnya, tidak boleh cepat marah dan emosi. Demikian antara lain standar moral seorang sulinggih. Berat memang, tapi sungguh mulia.
Ritual sedaraga berlangsung antara pukul 23.35 hingga 01.10 dini hari. Dalam prosesi tersebut, Putu Setia dan istri diupacarai layaknya sudah meninggal. Keduanya dibungkus dengan kain putih. Upacara dilakukan di balai pawedan dipimpin oleh tiga sulinggih. Mereka itu adalah Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Kayumas Kelod, Denpasar, sebagai guru nabe; Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Prateka Tanaya dari Padangan, Pupuan, sebagai guru waktra, dan Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya dari Basangbe, Baturiti, sebagai guru saksi. Menurut pandangan Titib, saat-saat sedaraga merupakan masa kritis sekaligus akan memberikan pengalaman batin yang sifatnya ekslusif.
Setelah dibalut kain layaknya orang meninggal, mereka kemudian digotong ke balai gede, sekitar 12 meter dari balai pawedan. Di situ “mayat-mayat” itu diletakkan/ditidurkan kurang lebih 1,5 jam. Benar juga, saat itu Putu Setia tidak merasakan apa-apa. Yang didengar hanya orang mekidung (nyanyi). Sedangkan suara gamelan yang tentu jauh lebih keras tidak didengarnya. “Badan mulai dada ke bawah sampai ujung kaki tak sadar sama sekali. Bahkan saya sempat berpikir apa saya sudah mati beneran?” katanya. Selama sedaraga, atman Putu Setia seperti mengelana ke masa ribuan tahun silam. Dia mengaku tidak tahu ke mana ia “mengembara”. Yang jelas suasananya primitif sekali. Orang-orang yang ditemui tidak menggunakan pakaian seperti kita sekarang. Mereka tidak menggunakan alas kaki. Ukuran tubuh yang dilihatnya juga relatif lebih kecil dibanding manusia sekarang. Mereka ada yang mandi di sungai. Air-air sungai masih sangat jernih. Demikian juga hutannya masih sangat perawan. Putu Setia mengaku amat menikmati perjalanan itu. Namun tiba-tiba mukanya terasa kecipratan air. Hendak protes, tapi kata yang disiapkan sama sekali tidak bisa keluar. Lidahnya kelu, mulutnya tak bisa digerakkan. Seperti yang sering dialami orang ketika bermimpi. Tapi Putu Setia tidaklah bermimpi saat itu. Tapi sebuah pengalaman eksklusif yang tidak bisa dirasakan orang lain kalau tidak pernah menjalani.
Ketika waktu 1,5 jam dilampui, guru nabe memang meminta beberapa orang untuk memberikan tirta (air suci). Kecipratan air suci membuat “perjalanannya” atman Putu Setia tiba-tiba mandeg. Ia tak bisa melanjutkan perjalanannya batinnya. Padahal saat dia lagi senang-senangnya menikmati pengalaman itu. Saat kesadarannya mulai terjaga, bagian bawah badan masih tetap belum bisa digerakkan, walaupun beberapa orang telah memijat tangan dan kakinya. Baru ketika dibawa ke tempat permandian, Putu Setia sadar sepenuhnya. “Lebih-lebih setelah disiram dengan air hangat, kesadaran saya pulih sepenuhnya,” ujarnya. Pengalaman batin saat melakukan sedaraga tak sama pada setiap sulinggih.
Pemimpin Redaksi Majalah Raditya itu kemudian menjalani sejumlah ritual tambahan hingga pukul 03.30 Wita. Puncaknya dilakukan persembahyangan bersama di Pura Manikgeni. Subuh itu langit masih gelap, dan puncak dingin datang menyergap. Butuh perjuangan keras untuk melewatkan malam dalam kondisi seperti itu. Serangkaian ritual itu pastilah amat melelahkan. Apalagi, Jumat (21/8), pukul 09.00 dilanjutkan dengan acara resepsi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika tidak bisa hadir langsung, dan mengutus Asisten II Ketut Wija untuk membacakan sambutan tertulisnya. Sementara Ketua Pusat Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MPSSR) Prof. dr. Wita, Ketua PHDI Tabanan Wayan Tontra, tokoh Hindu Ketut Wiana hadir langsung dalam resepsi tersebut. Mereka, selain memberikan ucapan selamat atas suksesnya upacara diksa tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa tantangan menjadi sulinggih sangat besar. Mereka berharap Ida Pandita Mpu tidak hanya mampu menampilkan diri sebagai sulinggih ritual semata. Tapi diharapakan pula menjadi sulinggih yang mampu menerangi kegelapan umat. Harapan lain yang tak kalah pentingnya adalah agar Ida Pandita Mpu tidak mengemas ritual sebagai kegiatan bisnis atau sumber nafkah keluarga.
Nama di belakang gelar yang disandangnya itu bermakna sangat dalam. Jaya Prema Ananda berarti bila kasih sayang berhasil dijalankan, maka kebahagiaan hidup pasti tercapai. Jaya artinya kemenangan, prema artinya kasih sayang, dan ananda artinya kebahagiaan. Sabtu (22/8) sore, di Griya Dharmasastra Manikgni Pujungan dilanjutkan dengan upacara agni hotra oleh sejumlah dokter dari Denpasar. Upacara tersebut sebagai penuntas serangkaian upacara diksa. Cita-citnya menjadi sulinggih yang terpendam sejak 2004 tercapai sudah. “Saya bercita-cita menjadi sulinggih ketika Tempo dibredel oleh penguasa Orde Baru tahun 2004,” jelasnya. Ketika niat itu diutarakan, beberapa temannya di Tempo tak memercayainya. Sebab, bagaimana mungkin seorang dari “kasta” biasa bisa menjadi pandita. Keraguan teman-temannya itu kini terjawab sudah. Dalam Hindu siapapun boleh menjadi pandita, asalkan bisa memersiapkan diri untuk mengambil tanggungjawab dan kedudukan itu. Selamat!
(Diambil dari Majalah Raditya)
Cicak dan Buaya
Oleh Putu Setia
Cicak muncul sebagai lagu anak-anak. Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hup, lalu ditangkapnya… Dalam menangkap mangsanya, cicak lebih kalem. Bahasa manusianya, tidak emosional.
Lain dengan buaya, baik buaya sungai, apalagi buaya darat. Ia menangkap mangsanya dengan kejam, tak mengenal prikebinatangan. Yang menyanyikan buaya darat pun orang dewasa sambil menghujat, misalnya, Duo Ratu: Buaya darat, bussyet…
Di internet, kini lagu tentang cicak disandingkan dengan buaya: Cicak-cicak di dinding, diam-diam menyadap, datang seekor buaya, hup, cicak ditangkapnya
Kenapa cicak mau ditangkap? Dalam keyakinan Hindu, cicak binatang yang dimuliakan. Sabtu kemarin, umat Hindu merayakan Dewi Ilmu Pengetahuan (Saraswati), salah satu ornamen dalam sesaji ada kue berwujud cicak. Kalau umat Hindu bersembahyang, lalu terdengar suara cicak, konon pertanda doa sampai di “atas”. Kata “atas” saya apit tanda petik, bisa berarti banyak, atau memang cicak ada di atas dinding. Saya belum mendengar apakah buaya pernah dikaitkan dengan ritual Hindu.
Rupanya binatang banyak dipuja, betapa pun seringnya manusia menyebut dirinya lebih mulia dari binatang. Binatang sering dihina (nafsu binatang, misalnya), tapi dijadikan lambang mempersatukan sekelompok manusia. Ada banyak partai yang memakai lambang banteng: banteng di lingkaran, banteng segi tiga, banteng segi empat. Dan lebih dari satu partai yang memakai lambang burung garuda.
Belum ada partai berlambang cicak – entah nanti, karena nafsu membuat partai tak pernah surut. Tiba-tiba, kini muncul CICAK (sering ditulis dalam huruf capital), akronim dari “Cinta Indonesia, Cintai KPK”. Baju kaos pun beredar dengan teks: “saya cicak, berani melawan buaya”. Kalau cicak dimaksudkan sebagai simbol mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi, lalu buaya itu simbol siapa? Kenapa harus dilawan? Kenapa pula buaya mau menangkap cicak? Meski saya tak paham duduk soalnya, saya ikut mendukung CICAK, saya suka negeri ini tanpa koruptor.
Komisi Pemberantasan Korupsi memang tugasnya menangkap koruptor, seperti cicak menangkap nyamuk. Untuk mencegah seseorang menjadi “nyamuk koruptor”, itu tugas instansi atau profesi lain. Misalnya, guru yang mengajarkan anak didiknya berperilaku baik, ulama yang mengajarkan umatnya untuk tidak serakah, dan banyak lagi. Termasuk buaya, eh, polisi, yang mengajak masyarakat untuk tak melanggar aturan hukum. Ibaratnya, seseorang yang ingin menyeberang sungai untuk menjarah uang di tepian sana, ada buaya yang mencegah hingga orang itu tak menyeberang. Uang pun selamat karena nyamuk yang menggerogoti uang itu sudah ditangkapi oleh cicak. Jadi, cicak dan buaya tak harus bermusuhan, habitatnya saja sudah beda.
Jadi buaya diperlukan, cicak juga dibutuhkan. Tak sepatutnya buaya ingin menangkap cicak. Tak sepatutnya pula instansi seperti KPK terus dimandulkan atau ditebarkan rumor yang membuat anggota KPK gerah. Apalagi menangkap anggota Komisi dengan kesalahan yang dicari-cari: “kalau terbukti tak salah, kan pengadilan membebaskan.” Ya, betul, tapi selama tuduhan itu diproses bagaimana Komisi menangkapi para koruptor?
Mari kita biarkan cicak tetap sehat untuk menangkap nyamuk yang bisa menyebabkan malaria dan demam berdarah. Lewat Dewi Saraswati kita memuliakan cicak merayap di dinding dengan suara yang memberi sinyal tentang kedamaian. Lewat CICAK kita memberi semangat anggota Komisi untuk terus menangkapi koruptor demi kesejahtraan. Mari kita dukung CICAK.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu)
Cicak muncul sebagai lagu anak-anak. Cicak-cicak di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk, hup, lalu ditangkapnya… Dalam menangkap mangsanya, cicak lebih kalem. Bahasa manusianya, tidak emosional.
Lain dengan buaya, baik buaya sungai, apalagi buaya darat. Ia menangkap mangsanya dengan kejam, tak mengenal prikebinatangan. Yang menyanyikan buaya darat pun orang dewasa sambil menghujat, misalnya, Duo Ratu: Buaya darat, bussyet…
Di internet, kini lagu tentang cicak disandingkan dengan buaya: Cicak-cicak di dinding, diam-diam menyadap, datang seekor buaya, hup, cicak ditangkapnya
Kenapa cicak mau ditangkap? Dalam keyakinan Hindu, cicak binatang yang dimuliakan. Sabtu kemarin, umat Hindu merayakan Dewi Ilmu Pengetahuan (Saraswati), salah satu ornamen dalam sesaji ada kue berwujud cicak. Kalau umat Hindu bersembahyang, lalu terdengar suara cicak, konon pertanda doa sampai di “atas”. Kata “atas” saya apit tanda petik, bisa berarti banyak, atau memang cicak ada di atas dinding. Saya belum mendengar apakah buaya pernah dikaitkan dengan ritual Hindu.
Rupanya binatang banyak dipuja, betapa pun seringnya manusia menyebut dirinya lebih mulia dari binatang. Binatang sering dihina (nafsu binatang, misalnya), tapi dijadikan lambang mempersatukan sekelompok manusia. Ada banyak partai yang memakai lambang banteng: banteng di lingkaran, banteng segi tiga, banteng segi empat. Dan lebih dari satu partai yang memakai lambang burung garuda.
Belum ada partai berlambang cicak – entah nanti, karena nafsu membuat partai tak pernah surut. Tiba-tiba, kini muncul CICAK (sering ditulis dalam huruf capital), akronim dari “Cinta Indonesia, Cintai KPK”. Baju kaos pun beredar dengan teks: “saya cicak, berani melawan buaya”. Kalau cicak dimaksudkan sebagai simbol mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi, lalu buaya itu simbol siapa? Kenapa harus dilawan? Kenapa pula buaya mau menangkap cicak? Meski saya tak paham duduk soalnya, saya ikut mendukung CICAK, saya suka negeri ini tanpa koruptor.
Komisi Pemberantasan Korupsi memang tugasnya menangkap koruptor, seperti cicak menangkap nyamuk. Untuk mencegah seseorang menjadi “nyamuk koruptor”, itu tugas instansi atau profesi lain. Misalnya, guru yang mengajarkan anak didiknya berperilaku baik, ulama yang mengajarkan umatnya untuk tidak serakah, dan banyak lagi. Termasuk buaya, eh, polisi, yang mengajak masyarakat untuk tak melanggar aturan hukum. Ibaratnya, seseorang yang ingin menyeberang sungai untuk menjarah uang di tepian sana, ada buaya yang mencegah hingga orang itu tak menyeberang. Uang pun selamat karena nyamuk yang menggerogoti uang itu sudah ditangkapi oleh cicak. Jadi, cicak dan buaya tak harus bermusuhan, habitatnya saja sudah beda.
Jadi buaya diperlukan, cicak juga dibutuhkan. Tak sepatutnya buaya ingin menangkap cicak. Tak sepatutnya pula instansi seperti KPK terus dimandulkan atau ditebarkan rumor yang membuat anggota KPK gerah. Apalagi menangkap anggota Komisi dengan kesalahan yang dicari-cari: “kalau terbukti tak salah, kan pengadilan membebaskan.” Ya, betul, tapi selama tuduhan itu diproses bagaimana Komisi menangkapi para koruptor?
Mari kita biarkan cicak tetap sehat untuk menangkap nyamuk yang bisa menyebabkan malaria dan demam berdarah. Lewat Dewi Saraswati kita memuliakan cicak merayap di dinding dengan suara yang memberi sinyal tentang kedamaian. Lewat CICAK kita memberi semangat anggota Komisi untuk terus menangkapi koruptor demi kesejahtraan. Mari kita dukung CICAK.
(Diambil dari Koran Tempo Minggu)