Oleh Made Mustika
Malam itu langit di atas Desa Pujungan, Tabanan, gelap gulita. Maklum, Kamis 20 Agustus 2009 adalah Tilem (bulan mati). Malam itu dipilih oleh tuan rumah untuk menuntaskan niatnya menjadi sulinggih, tahapan tertinggi perjalanan manusia menurut Hindu. Malam itu Putu Setia resmi memperoleh gelar Ida Pandita Mpu. Lengkapnya adalah Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda. Menanggalkan gelar sebelumnya: Ida Bhawati. Ibarat dunia pendidikan, dulu Putu Setia baru bergelar sarjana muda, kini sudah sarjana strata satu. Istrinya, Ni Made Sukarnithi, tentu saja bergelar Ida Pandita Mpu Rai Istri Jaya Prema Ananda.
Tilem dipilih karena setelah itu bulan di langit akan nampak semakin membesar dari hari ke hari. Fenomena alam itu dimaknai semoga jalan spiritualnya dari hari ke hari semakin memuncak. Semakin memuncak? Bukankah posisi yang dicapai sekarang sudah merupakan “karir” puncak? Benar memang. Tapi ibarat sarjana, apalah artinya kalau hanya gelar saja sarjana, namun perilaku dan intelektual tidak mendukungnya? Ida Pandita berkomitmen akan terus berjuang menaklukkan “diri” serta memperdalam keilmuannya, baik dalam bidang agama maupun bidang-bidang lainnya. “Saya juga akan tetap menulis (di berbagai media),” ujarnya setelah upacara diksa selesai dijalani.
Semasih walaka, Putu Setia adalah seorang wartawan. Dia dikenal sebagai wartawan senior di Majalah dan Koran Tempo. “Beliau adalah seorang yang kritis. Kalau saja ada 30 sulinggih seperti beliau, maka akan sangat besar dampaknya dalam rangka pencerahan kepada umat Hindu,” komentar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr. I Gusti Ngurah Sudiana menjelang pelaksanaan diksa malam itu. Selain Sudiana, sambutan juga diberikan oleh Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar Prof. Dr. Made Titib.
Titib malam itu menguraikan makna diksa, yang antara lain di dalamnya ada prosesi sedaraga atau proses “meninggal” sebelum akan “dilahirkan” kembali. Prosesi sedaraga dimaksudkan agar indria-indria dan nafsu-nafsu buruk dikubur atau ditinggalkan. Dicontohkan, seorang sulinggih tak boleh mengkhayal yang bukan-bukan bila melihat gadis muda nan cantik. Demikian juga soal makanan, lidah dan perut hendaknya jangan dimanja, apalagi sampai memanjakan berlebihan. Di dalam ajaran Buddha, seorang biksu bahkan diharapkan hanya makan sekali sehari dengan menu sederhana hasil pemberian umat. Makanan itu hanya untuk mempertahankan badan. Jika lewat dari itu, maka hal itu dimaksud sebagai berlebihan. Kalau sudah berlebihan, jelas indria yang menikmatinya. Itulah antara lain perjuangan yang terus mesti ditaklukkan oleh Ida Pandita. Tegasnya, tidak boleh cepat marah dan emosi. Demikian antara lain standar moral seorang sulinggih. Berat memang, tapi sungguh mulia.
Ritual sedaraga berlangsung antara pukul 23.35 hingga 01.10 dini hari. Dalam prosesi tersebut, Putu Setia dan istri diupacarai layaknya sudah meninggal. Keduanya dibungkus dengan kain putih. Upacara dilakukan di balai pawedan dipimpin oleh tiga sulinggih. Mereka itu adalah Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Rekananda dari Kayumas Kelod, Denpasar, sebagai guru nabe; Ida Pandita Mpu Nabe Jaya Prateka Tanaya dari Padangan, Pupuan, sebagai guru waktra, dan Ida Pandita Mpu Nabe Dharmika Tanaya dari Basangbe, Baturiti, sebagai guru saksi. Menurut pandangan Titib, saat-saat sedaraga merupakan masa kritis sekaligus akan memberikan pengalaman batin yang sifatnya ekslusif.
Setelah dibalut kain layaknya orang meninggal, mereka kemudian digotong ke balai gede, sekitar 12 meter dari balai pawedan. Di situ “mayat-mayat” itu diletakkan/ditidurkan kurang lebih 1,5 jam. Benar juga, saat itu Putu Setia tidak merasakan apa-apa. Yang didengar hanya orang mekidung (nyanyi). Sedangkan suara gamelan yang tentu jauh lebih keras tidak didengarnya. “Badan mulai dada ke bawah sampai ujung kaki tak sadar sama sekali. Bahkan saya sempat berpikir apa saya sudah mati beneran?” katanya. Selama sedaraga, atman Putu Setia seperti mengelana ke masa ribuan tahun silam. Dia mengaku tidak tahu ke mana ia “mengembara”. Yang jelas suasananya primitif sekali. Orang-orang yang ditemui tidak menggunakan pakaian seperti kita sekarang. Mereka tidak menggunakan alas kaki. Ukuran tubuh yang dilihatnya juga relatif lebih kecil dibanding manusia sekarang. Mereka ada yang mandi di sungai. Air-air sungai masih sangat jernih. Demikian juga hutannya masih sangat perawan. Putu Setia mengaku amat menikmati perjalanan itu. Namun tiba-tiba mukanya terasa kecipratan air. Hendak protes, tapi kata yang disiapkan sama sekali tidak bisa keluar. Lidahnya kelu, mulutnya tak bisa digerakkan. Seperti yang sering dialami orang ketika bermimpi. Tapi Putu Setia tidaklah bermimpi saat itu. Tapi sebuah pengalaman eksklusif yang tidak bisa dirasakan orang lain kalau tidak pernah menjalani.
Ketika waktu 1,5 jam dilampui, guru nabe memang meminta beberapa orang untuk memberikan tirta (air suci). Kecipratan air suci membuat “perjalanannya” atman Putu Setia tiba-tiba mandeg. Ia tak bisa melanjutkan perjalanannya batinnya. Padahal saat dia lagi senang-senangnya menikmati pengalaman itu. Saat kesadarannya mulai terjaga, bagian bawah badan masih tetap belum bisa digerakkan, walaupun beberapa orang telah memijat tangan dan kakinya. Baru ketika dibawa ke tempat permandian, Putu Setia sadar sepenuhnya. “Lebih-lebih setelah disiram dengan air hangat, kesadaran saya pulih sepenuhnya,” ujarnya. Pengalaman batin saat melakukan sedaraga tak sama pada setiap sulinggih.
Pemimpin Redaksi Majalah Raditya itu kemudian menjalani sejumlah ritual tambahan hingga pukul 03.30 Wita. Puncaknya dilakukan persembahyangan bersama di Pura Manikgeni. Subuh itu langit masih gelap, dan puncak dingin datang menyergap. Butuh perjuangan keras untuk melewatkan malam dalam kondisi seperti itu. Serangkaian ritual itu pastilah amat melelahkan. Apalagi, Jumat (21/8), pukul 09.00 dilanjutkan dengan acara resepsi. Gubernur Bali Made Mangku Pastika tidak bisa hadir langsung, dan mengutus Asisten II Ketut Wija untuk membacakan sambutan tertulisnya. Sementara Ketua Pusat Mahagotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MPSSR) Prof. dr. Wita, Ketua PHDI Tabanan Wayan Tontra, tokoh Hindu Ketut Wiana hadir langsung dalam resepsi tersebut. Mereka, selain memberikan ucapan selamat atas suksesnya upacara diksa tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa tantangan menjadi sulinggih sangat besar. Mereka berharap Ida Pandita Mpu tidak hanya mampu menampilkan diri sebagai sulinggih ritual semata. Tapi diharapakan pula menjadi sulinggih yang mampu menerangi kegelapan umat. Harapan lain yang tak kalah pentingnya adalah agar Ida Pandita Mpu tidak mengemas ritual sebagai kegiatan bisnis atau sumber nafkah keluarga.
Nama di belakang gelar yang disandangnya itu bermakna sangat dalam. Jaya Prema Ananda berarti bila kasih sayang berhasil dijalankan, maka kebahagiaan hidup pasti tercapai. Jaya artinya kemenangan, prema artinya kasih sayang, dan ananda artinya kebahagiaan. Sabtu (22/8) sore, di Griya Dharmasastra Manikgni Pujungan dilanjutkan dengan upacara agni hotra oleh sejumlah dokter dari Denpasar. Upacara tersebut sebagai penuntas serangkaian upacara diksa. Cita-citnya menjadi sulinggih yang terpendam sejak 2004 tercapai sudah. “Saya bercita-cita menjadi sulinggih ketika Tempo dibredel oleh penguasa Orde Baru tahun 2004,” jelasnya. Ketika niat itu diutarakan, beberapa temannya di Tempo tak memercayainya. Sebab, bagaimana mungkin seorang dari “kasta” biasa bisa menjadi pandita. Keraguan teman-temannya itu kini terjawab sudah. Dalam Hindu siapapun boleh menjadi pandita, asalkan bisa memersiapkan diri untuk mengambil tanggungjawab dan kedudukan itu. Selamat!
(Diambil dari Majalah Raditya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar