Oleh Putu Setia
(Tulisan diambil dari Acri Angin Koran Tempo Minggu 6 Desember 2009)
Mendadak saya dipanggil Romo Imam ke pedepokannya. Pasti penting. “Saya akan membentuk tim pemantau dan pengawas tim-tim yang memantau dan mengawasi kasus Bank Century. Nanak harus ikut,” kata Romo Imam, yang memanggil saya dengan sebutan Nanak. Itu artinya putra spiritual.
“Maaf, Romo bicaranya belepotan, ini tim apa,” tanya saya. Romo tertawa: “Nama tim itu tak salah. Sekarang kan dibentuk bermacam-macam tim, ada yang menyebut dirinya Tim Pengawas Angket Century, ada Koalisi Pengawal Angket Century, ada Tim Penelusuran Talangan Century, dan banyak lagi. Juga ada Tim 9 yang bertepuk dada sebagai inisiator angket Century. Nah, tim yang dibentuk Romo itu, memantau dan mengawasi tim-tim ini. Kalau namanya seperti belepotan, ya, sebut saja tim sebelas.”
“Kenapa tim sebelas?” Tanya saya lagi. Romo menjawab: “Supaya lebih tinggi, kan sudah pernah ada Tim 8, lalu Tim 9. Tim 10 untuk cadangan, nah, Tim 11 tugasnya memantau semua tim yang nomornya lebih kecil.”
Dalam hati saya tertawa. “Romo, boleh tahu, kok kita ikut-ikutan ribut soal ini?” Romo menjelaskan dengan serius: “Ini untuk pembelajaran demokrasi dan mencerdaskan rakyat. Yang bikin runyam mengusut Bank Century itu adalah banyaknya pemantau partikelir yang punya agenda terselubung. Ada yang agendanya menjadikan panggung ini sebagai proyek mendongkrak peringkat kepolitisiannya. Mereka anak-anak muda yang tak mau dikatakan menjadi politisi mendompleng ketenaran ayahnya, dan kini membuktikan mereka bisa berkiprah. Ini bagus dan wajar. Lalu ada anak muda di luar parlemen yang kerjanya memang begitu melulu, apa-apa dipermasalahkan dengan aksi, siapa pun yang memimpin negeri ini. Mereka ini tak mau masuk jalur formal, misalnya, bergabung ke partai politik dengan alasan macam-macam, seperti partai itu tak sehat, nepotisme dan sebagainya. Sejatinya, mereka ini memang tak akan mampu meraup konstituen untuk bisa lolos jadi wakil rakyat. Jadi, bemimpilah tentang jalan pintas. Mereka mengira dengan mengerahkan massa sepuluh ribu sudah merasa mewakili aspirasi seluruh rakyat. Padahal untuk menjadi wakil rakyat di kabupaten saja sudah harus mendapat suara 30 ribuan.”
Saya diam, takut mengganggu Romo. “Yang unik, tokoh sepuh dan tokoh yang sudah jelas tak dikehendaki oleh rakyat untuk memimpin negeri ini, buktinya kalah pada pemilihan umum, masih juga bermimpi untuk tampil di panggung kekuasaan dengan cara-cara pintas. Dalam kasus Bank Century ini mereka mendesak supaya kasus itu diusut tuntas seolah-olah memberi kesan ada orang yang tak mau kasus ini diusut tuntas. Ini kan tak mendidik, wong presiden sudah lebih dulu bilang, usut secara terbuka dan tuntas.”
Saya terpaksa menyela, supaya Romo agak turun tensinya: “Maaf beribu maaf, Romo. Nampaknya Romo kurang setuju angket Century atau kasus ini dibuka atau….”
“Stop,” Romo berteriak. “Nanak selalu curiga, itulah bahayanya menonton acara debat ala televisi. Romo seribu persen setuju kasus Century dibuka. Tapi, jangan dengan gemuruh seperti ini, suaranya keras padahal belum bekerja. Parlemen silakan buat angket. Kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi, silakan bekerja. Jika ditemukan ada yang salah, proses secara hukum. Sekarang ini belum bekerja sudah memvonis, ini pembodohan untuk rakyat. Hentikan memanipulasi suara rakyat. Katakan ada sejuta orang ke jalan, itu kan baru nol koma lima persen penduduk Indonesia. Yang 99,5 persen itu ingin tenang bekerja, tapi korupsi tetap diberantas supaya mereka lebih sejahtra.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar