Oleh Putu Setia
(Artikel ini diambil dari Koran Tempo Minggu 3 Januari 2010)
Ada lilin dinyalakan. Berpuluh-puluh jumlahnya, untuk mendoakan kepulangan Gus Dur – sapaan akrab Abdurrahman Wahid – ke alam maya yang sejati. Di sekitar lilin ada berbagai manusia dengan keyakinan yang berbeda, namun tak ada bisik-bisik di antara mereka: “Kamu beragama apa ya?”
Di pemakaman keluarga di komplek Pesantren Tebuireng Jombang, masih mengalir orang-orang yang datang berziarah, ayat-ayat Quran berkumandang. Mereka kebanyakan orang-orang yang tak bisa melayat langsung pada saat Gus Dur wafat, atau juga tak bisa menghadiri pemakaman Gus Dur, karena pejabat dan tentara begitu banyaknya atas nama penghormatan negara kepada tokoh yang wafat.
Di wihara, foto Gus Dur dipajang dan orang-orang memegang segepok dupa menyala, di ketinggian patung Buddha menjadi saksi. Sementara umat Hindu di Bali – untuk menghindari kesan ritual identik dengan sesajen -- menggunakan upacara Agni Hotra untuk mendoakan Gus Dur.
Gus Dur adalah sebuah keajaiban, begitu sebuah kalimat yang muncul di “dunia maya kiasan” alias internet. Ajaib karena ia tak takut untuk melawan setiap usaha yang menindas kaum minoritas. Ia Bapak Pluralisme. Istilah ini tak hanya diucapkan para sahabat Gus Dus –baik yang bersaksi di televisi maupun tidak – tetapi juga diucapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menjadi inspektur upacara pemakaman.
Bapak pluralisme telah tiada. “Tak ada tokoh yang bisa menggantikannya,” kata Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta. “Raja Yogya” ini tak sendirian berpandangan begitu. Kalau pernyataan ini dimaksudkan sebagai sebuah sanjungan buat Gus Dur, memang enak didengar, karena sudah semestinya Gus Dur memperoleh hak itu. Tetapi, jika pesimisme itu menyiratkan akan punahnya orang-orang yang berpaham pluralis, sungguh hal ini memprihatinkan..Kami, orang Bali, warga Tionghoa, umat Budha, Khong Hu Cu, Hindu dan entah siapa lagi, akan merasa was-was sebagai penghuni Nusantara yang berlandaskan Pancasila dan punya sesanti Bhineka Tunggal Ika ini.
Saya tahu banyak sekali tokoh – ulama, pengusaha, pejabat, budayawan – yang memiliki paham pluralis tinggi di negeri ini. Mereka sama sekali tak punya masalah dalam sekat-sekat primordial, baik agama, suku dan sebagainya. Di akhir dasawarsa 1970-an, ketika saya belum mengenal Gus Dur, saya menemukan Kiai Hamam Jafar di Pesantren Pabelan, Muntilan, sebagai ulama rakyat yang sederhana dan sangat toleran. Sambil berbincang soal lele jumbo di pesantrennya, saya pun sempat “berkenalan” dengan Islam beberapa hari di sana.
Di awal dasawarsa 1980-an, ketika saya bertemu dengan Gus Dur – saya orang yang kerap sibuk mencarikan mesin tik dan kertas begitu Gus Dur akan menulis kolom untuk Majalah Tempo – secara perlahan saya pun tahu orang-orang di sekitar Gus Dur yang sebagian besar berpaham pluralis.
Memang, Kiai Hamam Jafar sudah lama tiada. Gus Dur baru saja wafat. Apakah kita harus kehilangan “Bapak Pluralis”? Bukankah negeri ini masih punya Mustofa Bisri, Djohan Effendi, Komarudin Hidayat, Ulil – maaf, nama ini mendadak melintas, kalau sempat mengingat tentu masih banyak. Atau sejumlah orang yang tak diragukan kepluralisannya, tapi “label agamanya kurang” lantaran lebih dikenal sebagai budayawan, wartawan, pengusaha, pengajar dan sebagainya.
Atau biarkan predikat “bapak pluralis” itu hanya melekat pada Gus Dur – karena beliau yang lebih berani tampil tanpa takut. Namun mari kita bersama-sama menjaganya, jangan biarkan paham itu hilang meski pun tanpa “bapak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar