Mpu Jaya Prema
INI bukan ramalan tentang Pulau Bali tahun 2019.
Apalagi ramalan yang bersifat klenik atau berdasarkan perhitungan tahun Cina di
mana 2019 adalah Tahun Babi Tanah. Ini hanya ulasan sekitar apa yang sudah bisa
dibayangkan dengan Bali di tahun nanti. Tentu berdasarkan keadaan nyata yang
gejalanya sudah terlihat di tahun 2018 yang akan kita lewati.
Banyak orang yang memuji Gubernur Bali Dr. Ir. Wayan Koster, MM yang telah
menyelesaikan empat Peraturan Gubernur (Pergub), dan dua Peraturan Daerah
padahal baru bekerja beberapa bulan saja. Pergub itu adalah Pergub tentang
Busana Adat Bali, Pergub Tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa Bali, Pergub
Tentang Sampah Plastik serta Pergub Tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Lokal
Bali. Untuk Perda sendiri memang belum disahkan, yakni Rancangan Perda Desa Adat,
dan Rancangan Perda Kontribusi Wisatawan untuk Pelestarian Lingkungan, Alam,
dan Budaya Bali.
Lalu bagaimana kira-kira wajah Bali setelah ada
Pergub dan Perda itu? Masih perlu dilihat praktek apa yang ada di lapangan dan
sejauh mana respon orang Bali sendiri. Apakah betul semuanya untuk memperkuat
adat dan budaya Bali.
Pergub tentang Busana Adat Bali memang sudah
dilaksanakan oleh masyarakat Bali. Bukan hanya murid dan guru-guru di sekolah
semuanya berbusana adat, namun seluruh pegawai negeri, swasta termasuk pelayan
di pasar-pasar moderen semuanya berbusana adat.
Ini respon yang bagus, tentu saja. Tetapi kalau kita
perhatikan busana adat itu, timbul pertanyaan, busana adat mana yang dipakai?
Adakah busana adat yang khusus untuk bekerja sehari-hari dan busana adat khusus
untuk menjalankan ritual keagamaan? Tentu saja ada karena adat Bali mengatur
semuanya itu jika kita rajin menelisik bagaimana para tetua kita di masa lalu
dalam mengenakan busananya. Pakaian adat untuk mengantar jenazah ke kuburan,
pakaian adat untuk ngayah di banjar,
tentu saja berbeda dengan pakaian adat untuk bersembahyang di pura.
Mari lihat busana adat yang dipakai oleh kaum
perempuan Bali saat ini. Ada kebaya berlengan buntut di atas siku. Lalu kainnya
sudah mulai terangkat ke atas sehingga mata kaki kelihatan. Ini terpengaruh
dengan busana joged yang mulai jaruh. Bukankah itu busana moderen yang sudah
tak asing lagi di dunia mode di berbagai belahan bumi ini? Apalagi jika itu
dikaitkan dengan busana adat untuk persembahyangan. Ditambah lagi rambut yang
terurai (bahasa Bali disebut megambahan),
maka sesungguhnya itu sudah bertentangan dengan prinsip dasar mengenakan busana
adat di Bali.
Busana adat untuk ritual keagamaan Hindu sejak dulu
kala mengacu kepada konsep pengendalian diri dalam kaitan dengan Tri Kaya
Parisudha. Pikiran dikendalikan dengan simbol mengikat rambut bagi wanita yang
disebut mepusungan. Memakai destar
untuk lelaki, bahkan dibedakan lelaki yang masih welaka dengan lelaki yang
sudah ekajati (pemangku) mau pun yang sudah dwijati (sulinggih). Perkataan
dikendalikan dengan kalung di leher sedangkan perbuatan dikendalikan dengan
gelang di lengan. Bagaimana bisa mengenakan kebaya berlengan buntut kalau
pengendalian perbuatan itu tidak lagi bersimbol ketertutupan?
Pergub Tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa
Bali bagaimana praktek yang ada di tengah masyarakat? Cobalah kita perhatikan
percakapan yang nyata di masyarakat Bali saat ini. Anak-anak milenial, bukan
hanya di kota saja tetapi sudah masuk ke pedesaan, jarang sekali menyebut kata mbok untuk memanggil kakaknya. Yang
digunakan kata mbak. Bahasa Bali
sudah dijajah oleh bahasa Jawa. Alasannya adalah kalau dipanggil mbok maka itu bisa keliru dengan ibu,
karena mbok dalam bahasa Jawa berarti
ibu.
Cobalah kita ke pasar-pasar tradisional. Untuk
membeli pepaya, kita tak bisa lagi menyebutnya gedang karena gedang itu artinya
pisang dalam bahasa Jawa. Lalu menyebut apa? Kates, karena itulah yang
dimaksudkan dengan pepaya. Ini berarti bukan saja bahasa Bali tak terlindungi
namun ekonomi orang Bali pun sudah dijajah oleh orang luar. Di Pasar Kreneng
pedagang non-Bali sudah lebih banyak dari pedagang orang Bali.
Dua pergub yang sudah jalan itu saja belum punya
dampak siginifikan di masyarakat, apalagi pergub tentang pengurangan sampah
plastik. Semula gerakan pengurangan sampah plastik ini datang dari Walikota
Denpasar, kemudian menjelang tutup tahun diperluas oleh peraturan gubernur.
Jadi akan berlaku di seluruh Bali. Dapatkah dibayangkan bagaimana peraturan ini
bisa jalan kalau pengawasannya tidak efektif? Siapa yang bertugas melakukan sweeping di pasar-pasar tradisional
untuk melarang penggunaan kantong plastik?
Berbelanja di pasar moderen baik swalayan besar mau
pun mini market kecil yang bertebaran di penjuru desa, bisa saja pengunjung
membawa tas ramah lingkungan dari rumah. Beberapa pasar swalayan besar sudah
menerapkan itu sejak lama. Tetapi bagaimana di pasar tradisional? Belanjaan
yang kita beli tetap dibungkus plastik karena barangnya belum dikemas. Kalau
gerakan ini nyata dan diawasi, tentu pedagang harus mulai dengan membungkus
dagangan yang dijualnya dengan daun pisang atau kertas koran bekas. Tetapi
bukankah itu lebih mahal dari harga tas kresek? Lagi pula kenapa pemerintah
mengizinkan toko-toko khusus yang menjual plastik? Toko plastik ini tumbuh pesat
di kota seperti Denpasar. Intinya adalah kalau gerakan ini berjalan dengan baik
harus ada pengawasan dengan ketat. Dan itu berkesinambungan, tak bisa
hangat-hangat tahi ayam untuk kemudian dilupakan.
Sementara itu wajah Bali 2019 dan ke depannya lagi,
tak cuma urusan bagaimana orang berbusana adat, bagaimana penggunaan bahasa dan
aksara Bali, bagaimana menghapus ajang seni yang bernama Bali Mandara Nawanatya dan Bali Mandara Mahalango
diganti menjadi Festival Seni Bali Jani. Urusan besar Bali nanti adalah pulau
kecil ini akan mengalami kemacetan yang luar biasa karena tidak ada peningkatan
infrastruktur jalan sementara kebijakan transportasi yang berbasis angkutan
umum tidak ada. Kota-kota besar di luar Bali sudah merancang dengan baik karena
perbaikan infrastruktur itu baru berdampak positif setelah 20 tahun. Malah yang
terjadi di Bali adalah anomali, pendapatan asli daerah (PAD) yang dikebut
adalah pajak kendaraan bermotor termasuk bea balik nama. Artinya orang Bali
digenjot untuk membeli mobil dan sepeda motor agar pajak semakin banyak. Bali akhirnya
jadi surga penjualan mobil bekas dan pasar terbesar untuk sepeda motor,
mengalahkan Provinsi Jawa Tengah yang punya 35 kabupaten/kota.
Mari kita kaji lagi kebijakan di Bali, jangan hanya
berdalih memperkuat budaya dan adat sementara lingkungan yang membuat budaya
dan adat itu bergerak justru makin terkekang. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar