Putu Setia | @mpujayaprema
Pengetahuan saya soal borgol-memborgol ternyata
sangat kurang. Tadinya saya mengira memborgol orang itu soal keamanan. Itu
sebabnya kenapa maling ayam atau penjambret yang tertangkap polisi seringkali
dengan cepat tangannya diborgol. Karena dia dikhawatirkan lari, meski pun kalau
dia lari ada alasan untuk menembak kakinya sehingga lebih aman lagi buat
polisi.
Tak mungkin memborgol seorang koruptor, begitu
pikiran sederhana saya. Apa ya, orang seperti Idrus Marham atau Eni Saragih
tiba-tiba melarikan diri begitu keluar dari mobil tahanan tatkala diangkut
menuju kantor KPK, misalnya? Tak pernah dalam sejarah koruptor berusaha
melarikan diri tatkala dikawal. Mereka orang-orang beradab dan tahu sopan
santun -- meski pun seorang koruptor.
Mereka justru tersenyum, melambaikan tangan kepada wartawan, memperbaiki posisi
jilbabnya bagi koruptorwati. Pakaiannya pun cenderung modis, misalnya, memakai
batik motif terbaru. Bukan bercelana pendek dan memakai kaos oblong seperti
pencuri kambing.
Kini, memasuki tahun baru, koruptor itu harus
diborgol. Saya mengira mereka akan protes, bahkan mengira akan menangis karena
merasa dipermalukan. Atau berteriak-teriak sambil menyebutkan hak asasi mereka
dilanggar karena tak bisa menghapus wajahnya dengan tisu, apalagi mau ngupil.
Ternyata tidak. Mereka menerima kenikmatan borgol ini bahkan sembari senyum menyebutkan
bisa tambah keren, seperti yang disampaikan Eni Saragih.
Urusan borgol-memborgol koruptor ini pun,
menurut pimpinan KPK, hanya sebagai simbol bahwa kebebasan mereka dibatasi.
Catat ini, hanya sebagai simbol. Persis ketika koruptor diminta mengenakan baju
oranye, hanya sebagai simbol bahwa koruptor itu sudah ditahan. Pastilah baju
itu tetap wangi, setiap hari dicuci dan diseterika, bukan kaos oblong yang
dipakai pencuri ayam yang seminggu belum tentu dicuci.
Karena cuma simbol, baju oranye dan borgol
mustahil akan membuat efek jera. Efek jera untuk siapa? Mereka mungkin jera
karena sudah akan pasti masuk penjara, atau terpaksa jera karena tak bisa lagi
melakukan korupsi selama di penjara. Ada pun efek jera untuk calon koruptor
yang belum ditangkap, sepertinya kecil. Anak bangsa ini percaya akan nasib
buruk dan nasib baik. Kalau ada kesempatan korupsi, ya, lakukanlah itu, nasib
akan menentukan ditangkap atau aman-aman saja. Kalau ditangkap namanya apes,
namun untuk keluarga besarnya masih ada cara menghibur dengan menyebut, ini
cobaan dari Tuhan.
Para calon koruptor mungkin juga berhitung,
kalau pun nasib sial kena tangkap tangan atau tangkap badan, tidaklah sesial
para pencuri kambing. Di penjara masih ada kamar khusus yang bisa dipesan,
termasuk bilik asmara. Belakangan ini banyak koruptor yang langsung menerima
vonis hakim di pengadilan negeri, tak perlu repot-repot banding yang hanya
habis uang dan habis waktu. Karena mereka pikir kesialannya itu tetap dalam
batas “sialnya seorang koruptor” yang tak mungkin di dalam penjara disuruh
membersihkan got. “Sialnya seorang koruptor” juga tergantung ada inspeksi
mendadak atau tidak di penjara, sementara kita tahu menteri atau sekelas dirjen
tentu tak mungkin setiap hari inspeksi mendadak.
Bagaimana cara kita membuat korupsi berkurang?
Menurut Fahri Hamzah, perlu ada upaya lebih cerdas dari pemerintah untuk
mengnolkan korupsi di negeri ini. Kecerdasan seperti apa, Wakil Ketua DPR ini tak
mau menguraikan. Maklum dia hanya ingin berbeda pendapat, bukan memberi
pendapat. Padahal KPK perlu masukan pendapat, agar tak berhenti dengan simbol.
(Koran Tempo 5 Januari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar