Putu Setia | @mpujayaprema
INILAH debat yang paling seru. Di antara debat-debat
pada pemilihan presiden sebelumnya, debat kali ini paling dasyat. Namun, debat
ini bukan di antara pasangan calon presiden yang belum terlaksana, tetapi debat
yang memperdebatkan cara berdebat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Jika Komisi Pemilihan Umum membagi tema
debat, maka debat yang memperdebatkan debat itu juga memiliki beragam tema. Ada
yang memperdebatkan kenapa penyampaian visi misi calon presiden dibatalkan oleh
KPU. Ada yang memperdebatkan kenapa kisi-kisi pertanyaan kepada para calon
harus diberikan dulu kepada calon. Perdebatan berlanjut karena alasan dari KPU
mengundang perdebatan pula. Ini negeri paling gemar berdebat, padahal sila ke
empat Pancasila berbunyi “kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” bukan “hikmat
kebijaksanaan dalam perdebatan”.
Nampaknya KPU konsisten membela
Pancasila, apa pun dimusyawarahkan. Penyampaian visi misi pasangan calon
dibatalkan karena kedua pasangan calon tak sepakat siapa yang menyampaikan visi
misi itu. Kisi-kisi pertanyaan diberikan dulu kepada pasangan calon, juga
berdasarkan musyawarah kedua tim sukses pasangan calon. Jika KPU diibaratkan
wasit tinju, sang wasit bertanya dulu kepada petinju, mau berapa ronde?
Bagaimana rakyat tahu pasangan calon
punya visi dan misi kalau tidak disampaikan? Memang ada laman di masing-masing
web pasangan calon, juga web di KPU. Namun apakah rakyat di pedesaan punya
komputer untuk membaca visi misi itu? Mereka lebih senang kalau itu disampaikan
lewat televisi dan langsung oleh calon presidennya.
KPU menyebutkan, pertanyaan dibocorkan
lebih dulu dengan alasan pasangan calon lebih siap menjawabnya. KPU tidak ingin
memojokkan calon presiden dan calon wakil presiden dalam menjawab pertanyaan
panelis. Artinya, KPU punya dugaan kuat bakal ada salah satu atau lebih dari
empat orang terbaik negeri itu yang bisa terpojok dalam menjawab pertanyaan
panelis. Luar biasa baiknya KPU, meski tidak layak sebagai kepala sekolah bahkan
menjadi guru kelas sekali pun, jika soal-soal ulangan umum dibocorkan dulu
kepada muridnya.
Lantas, presiden dan wakil presiden
seperti apa yang kita peroleh dengan cara berdebat penuh kemudahan ini? Visi
dan missi bisa dibuat oleh tim sukses. Andai itu dibacakan oleh calon, itu
hanya bisa dinilai sebagai “lomba membaca naskah” karena tak ada panelis atau
siapa pun yang mendebat. Pertanyaan panelis yang dikenal kepakarannya – tapi
kerjanya cuma bikin soal tanpa diberi kesempatan mendebat – jawabannya pun pasti
dibuat tim sukses. Calon hanya diuji kepandaiannya membaca teks, selain
penampilannya yang disorot kamera televisi.
Kita seperti memilih seorang peragawan
ketimbang memilih presiden dan wakilnya. Siapa jahitan bajunya lebih pas, siapa
yang jalannya lebih meyakinkan, siapa yang bicaranya belepotan, siapa yang
pecinya lebih islami. Kedua kubu punya “tim pemoles” pasangan calon. Dipoles
dari caranya berdandan, caranya berjalan, caranya mengambil mik, mungkin juga
caranya tersenyum. Sulit kita membayangkan bahwa ke empat putra terbaik bangsa
itu sesungguhnya kita harapkan untuk menjadikan negeri ini lebih maju di lima
tahun mendatang.
Syukurlah ini baru persiapan debat
pertama. Mudah-mudahan pada debat selanjutnya, KPU bisa lebih tegas, punya
integritas, dan netral sebagai wasit. Penonton ingin ada pertarungan yang
memang harus ada yang terpojok, ada yang kalah
dan menang. Bukan pertarungan musyawarah mufakat.
(Dari Koran Tempo 12 Januari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar