Ini adalah Rancangan Perda Tentang Desa Adat di Bali. Mari berikan masukan lewat komentar.
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI
NOMOR …. TAHUN ….
TENTANG
DESA ADAT
ATAS ASUNG KERTA
WARANUGRAHA HYANG WIDHI WASA/
TUHAN YANG
MAHAESA
GUBERNUR BALI
Menimbang
|
:
|
a. bahwa Desa Adat
yang tumbuh berkembang selama
berabad-abad serta
memiliki hak asal usul, hak tradisional, dan hak otonomi asli mengatur
rumah tangganya sendiri, telah memberikan kontribusi sangat besar
terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat
dalam
berbangsa dan bernegara;
b. bahwa Desa Adat
sebagai kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang dijabarkan dalam kearifan lokal Sad Kertih, dengan dijiwai ajaran agama
Hindu dan nilai-nilai budaya serta kearifan lokal yang hidup di Bali, sangat besar peranannya dalam pembangunan
masyarakat, bangsa, dan negara sehingga perlu diayomi, dilindungi, dibina,
dikembangkan, dan diberdayakan guna mewujudkan kehidupan Krama Bali yang berdaulat secara politik, berdikari
secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan;
c. bahwa Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor
3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003, sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan zaman sehingga perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c, dipandang perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Desa Adat.
|
Mengingat
|
:
|
1. Pasal 18 ayat (6), Pasal 18B ayat (2), dan
Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang
Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa
Tenggara Timur (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 1649);
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana beberapa kali telah diubah dan diubah terakhir
kali dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang
Lembaga Keuangan Mikro, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
12; Tambahan Lembaran Negara Nomor 5394);
5. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3836);
6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5495);
7. Peraturan Menteri Agama Nomor 56
Tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Hindu;
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BALI
dan
GUBERNUR BALI
MEMUTUSKAN:
|
||
Menetapkan
|
:
|
PERATURAN
DAERAH PROVINSI BALI TENTANG DESA ADAT
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud
dengan:
1.
Gubernur adalah Gubernur Bali.
2.
Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota di
Provinsi Bali.
3.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Bali dan Pemerintah
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
4.
Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Bali.
5.
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Bali.
6.
Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum
adat di
Provinsi Bali, yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau kahyangan desa, yang memiliki
batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengatur dan mengurus Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan, serta rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa masyarakatnya, sesuai dengan susunan asli, hak asal usul, dan/atau hak
tradisional yang diakui dan dihormati sebagai subyek hukum dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
7.
Banjar Adat atau Banjar Suka Duka atau
sebutan lain adalah bagian
dari Desa Adat.
8.
Penduduk Desa Adat adalah setiap orang yang bertempat tinggal
tetap di wewidangan Desa Adat yang terdiri atas: Krama Desa Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu.
9.
Krama Desa Adat adalah Penduduk beragama Hindu yang Mipil dan tercatat sebagai
anggota di Desa Adat setempat.
10.
Krama Tamiu adalah Penduduk beragama Hindu yang tidak Mipil, tetapi tercatat di Desa Adat setempat.
11.
Tamiu
adalah orang selain Krama Desa Adat
dan Krama Tamiu yang berada di Wewidangan Desa Adat untuk sementara
atau bertempat tinggal dan tercatat di Desa Adat setempat.
12.
Mipil adalah sistem registrasi keanggotaan Krama
Desa Adat.
13.
Pemerintahan Desa Adat adalah pengelolalan
tata kehidupan bermasyarakat di Desa Adat yang berkaitan dengan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan yang diakui dan dihormati
dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
14.
Prajuru Desa Adat adalah Pengurus Desa Adat.
15.
Bandesa Adat atau dengan
sebutan lain adalah Pucuk Pengurus Desa Adat.
16.
Sabha Desa Adat adalah
lembaga pendamping Prajuru Desa Adat yang melaksanakan fungsi
pertimbangan dalam pengelolaan Desa Adat.
17.
Kerta Desa Adat adalah lembaga pendamping Prajuru Desa Adat yang
melaksanakan fungsi penyelesaian perkara adat/wicara berdasarkan hukum
adat yang berlaku di Desa Adat setempat.
18.
Pacalang Desa Adat atau Jagabhaya Desa Adat atau sebutan lain, selanjutnya disebut Pacalang, adalah satuan tugas keamanan tradisional Bali
yang mempunyai tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah
di tingkat Banjar Adat
dan/atau di wewidangan Desa Adat.
19.
Yowana Desa Adat atau Daa
Taruna
Desa Adat atau sebutan lain, selanjutnya disebut Yowana Desa Adat, adalah organisasi daa-taruna/pemuda-pemudi di Desa Adat.
20.
Krama Istri adalah istri sah Krama Desa Adat.
21.
Sekaa adalah berbagai organisasi di Desa
Adat yang dibentuk oleh oleh Desa Adat dan/atau Krama
Desa Adat berdasarkan minat, bakat,
atau kebutuhan atas dasar kepentingan yang sama, sesuai
dengan yang dimaksud oleh namanya.
22.
Majelis Desa Adat
adalah lembaga adat yang memiliki otoritas tertinggi di bidang pengamalan
adat-istiadat yang bersumber dari agama Hindu serta kearifan lokal dan
berfungsi memberikan nasihat, pertimbangan, pembinaan, penafsiran, dan
keputusan tentang adat-istiadat dan hukum adat Bali.
23.
Majelis Utama Desa Adat (MUDA) adalah Majelis Desa Adat di tingkat
Provinsi.
24.
Majelis Madya Desa Adat (MMDA) adalah Majelis Desa Adat di tingkat
Kabupaten/Kota.
25.
Paruman Desa Adat atau yang disebut dengan sebutan lain adalah
lembaga pengambil keputusan tertinggi menyangkut masalah prinsip dan strategis di Desa Adat.
26.
Pasangkepan Desa Adat atau yang disebut dengan istilah lain adalah
lembaga pengambil keputusan menyangkut masalah teknis operasional sebagai pelaksanaan
keputusan Paruman Desa Adat.
27.
Tri Hita Karana adalah
ajaran agama Hindu yang mengajarkan asih
kepada alam, punia kepada sesama
manusia, sebagai wujud bakti kepada
Tuhan Yang Mahaesa.
28.
Sad Kertih adalah upaya untuk menyucikan jiwa (atma kertih), menjaga kelestarian hutan (wana kertih) dan danau (danu kertih) sebagai sumber air bersih, laut
beserta pantai (segara kertih), keharmonisan sosial dan alam yang dinamis (jagat kertih), dan membangun kualitas sumber
daya manusia secara individual (jana
kertih).
29.
Awig-Awig adalah aturan yang dibuat oleh Desa Adat dan/atau Banjar Adat yang berlaku
bagi Krama Desa Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu.
30.
Pararem adalah aturan/keputusan Paruman Desa Adat sebagai pelaksanaan Awig-Awig atau mengatur hal-hal baru dan/atau
menyelesaikan perkara adat/wicara di Desa Adat.
31.
Dresta adalah adat kebiasaan/tradisi yang
diwarisi secara turun temurun dan masih ditaati oleh Desa Adat.
32.
Wewidangan atau Wewengkon, yang selanjutnya disebut Wewidangan Desa Adat adalah wilayah Desa Adat yang memiliki batas-batas tertentu.
33.
Padruwen Desa Adat adalah seluruh harta kekayaan Desa Adat baik
yang bersifat immateriil maupun materiil.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pengaturan Desa Adat berdasarkan Pancasila,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pasal 3
Pengaturan Desa Adat berasaskan:
a. rekognisi;
b. subsidiaritas;
c. kawigunan/kemanfaatan;
d. keadilan;
e.
manyama braya/kekeluargaan;
f.
gilik-saguluk/kebersamaan;
g.
parasparo/musyawarah;
h.
salunglung sabayantaka/kegotongroyongan;
i.
keberagaman;
j.
kesetaraan;
k.
Bali mawa cara/kesatuan Bali;
l.
kemandirian;
m.
sareng-sareng/partisipasi;
n.
pemberdayaan; dan
o.
keberlanjutan.
Pasal 4
(1) Pengaturan Desa Adat bertujuan:
a. memberikan pengakuan dan
penghormatan atas kedudukan dan peran Desa Adat yang sudah ada dengan
keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
b. memberikan kejelasan
status dan kepastian hukum atas Desa Adat dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. memajukan adat, tradisi, seni
dan budaya, serta kearifan lokal;
d. mendorong prakarsa,
gerakan, dan partisipasi Krama Desa
Adat untuk pengembangan potensi dan Padruwen
Desa Adat untuk kesejahteraan bersama;
e. memberdayakan pemerintahan
Desa Adat yang profesional, efisien, dan efektif, terbuka, serta bertanggung
jawab;
f.
meningkatkan
kuantitas dan kualitas pelayanan bagi Krama
Desa Adat guna mewujudkan kesejahteraan umum;
g. meningkatkan ketahanan
sosial budaya Krama Desa Adat guna
mewujudkan Krama Desa Adat yang mampu
memelihara kesatuan sosial sebagai bagian ketahanan nasional;
h. mewujudkan sistem perekonomian
adat yang tangguh dan berdikari sebagai bagian upaya memperkuat sistem perekonomian
nasional; dan
i.
memperkuat
Krama Desa Adat sebagai subyek
pembangunan.
(2) Selain tujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pengaturan Desa Adat ini juga bertujuan untuk
memperkuat fungsi:
a. Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan
Desa Adat;
b. sistem dan pelaksanaan hukum adat;
c. lembaga Sabha Desa Adat dan Kerta Desa Adat;
d. lembaga pemajuan adat, agama, tradisi,
seni dan budaya, serta kearifan lokal Krama
Desa Adat;
e. lembaga pendidikan formal, nonformal, dan
informal berbasis keagamaan Hindu untuk pengembangan jati diri, integritas
moral, dan kualitas masyarakat Bali;
f.
lembaga keamanan Desa Adat; dan
g. lembaga perekonomian Desa Adat.
BAB III
KEDUDUKAN, STATUS,
DAN PENETAPAN DESA ADAT
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 5
Desa Adat berkedudukan di
wilayah Provinsi.
Bagian Kedua
Status
Pasal 6
Desa Adat berstatus sebagai subyek hukum dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagian Ketiga
Penetapan
Pasal 7
(1)
Desa Adat yang sudah ada diakui keberadaannya
dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi.
(2)
Penetapan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah mendapat rekomendasi dari Majelis Utama Desa Adat.
BAB IV
PENATAAN DESA ADAT
Pasal 8
(1) Pemerintah Daerah Provinsi dapat melakukan penataan Desa Adat
berdasarkan prakarsa Krama Desa Adat.
(2) Prakarsa Krama
Desa Adat sebagaimana dimaksud ayat (1) diputuskan melalui Paruman Desa Adat.
(3) Penataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan meningkatkan:
a. kualitas tata kelola pemerintahan Desa Adat;
b. kuantitas dan kualitas pelayanan Krama Desa Adat;
c. kesejahteraan Krama Desa Adat;
d. kemandirian Desa Adat;
e. ketahanan Desa Adat; dan
f.
daya saing Desa Adat.
(4) Penataan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. pembentukan;
b. penggabungan;
d. perubahan status;
e. penghapusan; dan
f. penetapan Desa Adat.
Pasal 9
(1) Prakarsa Krama
Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada Majelis Madya Desa Adat dengan melampirkan:
a. surat keputusan Paruman Desa Adat;
b. bukti batas-batas Wewidangan Desa Adat yang jelas;
c. bukti jumlah Krama Mipil sekurang-kurangnya 250 kepala keluarga;
d. surat pernyataan persetujuan dari Desa Adat
induk;
e. bukti telah memiliki setra tersendiri;
f.
bukti telah memiliki Kahyangan Tiga dan/atau Kahyangan Desa Adat
tersendiri.
(2) Majelis Madya Desa Adat membentuk tim yang
bertugas untuk melakukan verifikasi terhadap prakarsa Krama Desa Adat sebagaimana dimaksud ayat (1).
(3) Hasil verifikasi tim sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilaporkan kepada Bandesa Madya Majelis Madya Desa Adat untuk
diteruskan kepada Majelis Utama Desa Adat.
(4) Majelis Utama Desa Adat membentuk tim yang
bertugas untuk melakukan evaluasi terhadap laporan Bandesa Madya Majelis Madya Desa Adat.
(5) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) disampaikan kepada Bandesa Agung Majelis Utama Desa Adat untuk diputuskan
dalam Sabha Kerta Majelis Utama Desa Adat.
(6) Susunan dan tata cara pelaksanaan tugas tim
verifikasi dan tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4)
diatur lebih lanjut oleh Majelis Utama Desa Adat.
Pasal 10
(1) Keputusan Sabha
Kerta Majelis Utama Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) disampaikan
secara tertulis kepada Pemerintah Provinsi.
(2) Pemerintah Provinsi memberikan persetujuan terhadap Keputusan Sabha Kerta Majelis Utama Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk ditetapkan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB V
UNSUR POKOK DESA ADAT
Bagian Kesatu
Tri Hita Karana
Pasal 11
(1)
Desa Adat berdasarkan filosofi Tri Hita Karana sebagai tiga unsur pokok yang merupakan satu kesatuan
nilai serta sistem kehidupan yang mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan secara sakala dan niskala bagi Krama Desa Adat.
(2)
Tri Hita Karana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mencakup:
a) rasa bhakti Krama kepada Hyang
Widhi Wasa/Tuhan Yang Mahaesa;
b)
kebersamaan, kepedulian, dan kesetiakawanan/punia antara Krama dengan
sesama; dan
c)
keserasian, keselarasan, serta kewelas-asihan/asih Krama terhadap alam dan
lingkungan.
(3) Tri Hita Karana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) diwujudkan dalam satu kesatuan yang
utuh, meliputi: Parahyangan, Pawongan, dan
Palemahan.
Bagian Kedua
Parahyangan Desa Adat
Pasal 12
(1)
Parahyangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (3) di Desa Adat berupa kahyangan Desa Adat dan/atau
Kahyangan Tiga.
(2)
Kahyangan Desa Adat dan/atau Kahyangan Tiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Desa Adat.
(3)
Pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Awig-Awig Desa
Adat.
(4)
Parahyangan dan tempat suci lain yang ada dalam Wewidangan Desa Adat menjadi tanggung jawab
pangempon masing-masing sesuai dresta setempat.
Bagian
Ketiga
Pawongan Desa Adat
Pasal 13
(1)
Pawongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3)
adalah penduduk yang bertempat tinggal di Wewidangan Desa Adat.
(2)
Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
Krama Desa Adat, yaitu penduduk beragama Hindu
yang Mipil dan tercatat di Desa Adat
setempat;
b.
Krama tamiu, yaitu penduduk beragama Hindu yang tidak Mipil tetapi tercatat di Desa Adat setempat;
dan
c.
Tamiu, yaitu orang selain Krama
Desa Adat dan Krama Tamiu yang berada di Wewidangan Desa Adat untuk sementara
atau bertempat tinggal dan tercatat di Desa Adat setempat.
(3) Syarat-syarat dan tata cara Mipil
sebagai Krama Desa Adat serta pencatatan sebagai Krama
Tamiu dan Tamiu diatur dalam Awig-Awig
dan/atau Pararem Desa Adat.
Pasal 14
(1) Swadharma/kewajiban Penduduk di Desa Adat sebagai berikut:
a. Krama Desa Adat melaksanakan swadharma penuh dalam bidang Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan Desa Adat;
b. Krama Tamiu melaksanakan swadharma
terbatas dalam bidang Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan Desa Adat; dan
c. Tamiu melaksanakan swadharma
terbatas dalam bidang Pawongan dan Palemahan Desa Adat.
(2)
Swadikara/hak Penduduk di Desa Adat sebagai berikut:
a.
Krama Desa Adat memiliki swadikara penuh dalam bidang Parahyangan,
Pawongan, dan Palemahan Desa Adat;
b.
Krama Tamiu memiliki swadikara
terbatas dalam bidang Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan Desa Adat;
c.
Tamiu memiliki swadikara
terbatas dalam bidang Pawongan dan Palemahan Desa Adat.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai swadharma
dan swadikara Krama Desa Adat, Krama Tamiu, dan Tamiu diatur dalam Awig-Awig dan/atau Pararem
Desa Adat.
Bagian Keempat
Palemahan Desa Adat
Pasal 15
(1) Palemahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) merupakan Wewidangan
Desa Adat beserta lingkungan setempat yang mempunyai batas-batas tertentu dalam ikatan Kahyangan
Desa Adat dan/atau Kahyangan Tiga.
(2) Palemahan Desa Adat
meliputi tanah Desa Adat dan tanah guna kaya.
(3) Tanah Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi,
budaya, dan ekonomi Desa Adat.
(4) Tanah guna
kaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) memiliki fungsi adat, keagamaan, tradisi, budaya, dan ekonomi bagi
pemiliknya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial hak atas tanah.
Pasal 16
(1) Perubahan
status hak dan fungsi atas tanah Desa
Adat harus dilakukan berdasarkan
kesepakatan melalui Paruman Desa Adat/Banjar Adat bersangkutan.
(2) Perubahan status hak tanah Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam hal adanya kebijakan Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota, dan perubahan yang bersifat alamiah.
(3) Kesepakatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Majelis Madya Desa Adat.
(4) Perubahan
status sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didaftarkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 17
Setiap orang yang berada atau
bertempat tinggal di Wewidangan
Desa Adat wajib menjaga kesucian, kelestarian, kebersihan, dan ketertiban Palemahan
Desa Adat.
BAB VI
AWIG-AWIG, PARAREM,
DAN PERATURAN LAIN DESA ADAT
Bagian
Kesatu
Awig-Awig Desa Adat
Pasal 18
(1)
Setiap Desa Adat memiliki Awig-Awig.
(2)
Awig-Awig sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
Awig-Awig tersurat;
dan
b.
Awig-Awig yang
belum tersurat.
(3)
Awig-Awig tersurat dan yang belum tersurat mempunyai kekuatan hukum
yang sama.
(4)
Untuk kepastian hukum, setiap Desa Adat harus menyuratkan Awig-Awig.
Pasal 19
(1)
Awig-Awig Desa Adat mengatur Parahyangan, Pawongan, dan
Palemahan Desa Adat.
(2)
Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk memelihara kehidupan bersama di Desa Adat agar rukun, tertib, dan damai, serta berdaya guna
dan berhasil guna sesuai dengan prinsip gilik saguluk, parasparo, salunglung
sabayantaka, sarpana ya.
Pasal 20
Materi muatan Awig-Awig tersurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi:
a.
sukreta tata Parahyangan;
b.
sukreta tata Pawongan; dan
c.
sukreta tata Palemahan Desa Adat.
Pasal 21
(1) Awig-Awig Desa Adat dibuat
dan disahkan dalam Paruman Desa Adat.
(2) Awig-Awig sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak kasobyahang dalam Paruman.
Pasal 22
Awig-Awig tersurat Desa Adat didaftarkan oleh Prajuru Desa Adat ke Kantor Pemerintah
Provinsi.
Bagian Kedua
Pararem Desa
Adat
Pasal 23
(1)
Setiap Desa Adat memiliki Pararem.
(2)
Jenis Pararem sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), terdiri atas:
a.
Pararem Panyacah, yaitu Pararem yang dibuat untuk
melaksanakan Awig-Awig;
b.
Pararem Pangelé, yaitu Pararem tersendiri yang dibuat
untuk mengatur hal yang belum diatur dalam Awig-Awig; dan
c.
Pararem Panepas Wicara, yaitu Pararem yang
merupakan putusan penyelesaian perkara adat/wicara.
(3)
Pararem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disuratkan.
Pasal 24
(1) Pararem Desa Adat dibuat dan disahkan dalam Paruman Desa Adat.
(2) Pararem sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak kasobyahang
dalam Paruman.
(3) Pararem sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didaftarkan oleh Prajuru Desa Adat ke
Kantor Pemerintah Provinsi.
Bagian Ketiga
Peraturan Lain Desa Adat
Pasal 25
(1)
Prajuru Desa Adat dapat
membuat peraturan lain secara tersurat sebagai pelaksanaan Awig-Awig, Pararem, atau berdasarkan kebutuhan Desa Adat dan/atau
penugasan Pemerintah Provinsi.
(2)
Peraturan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib kasobyahang oleh Prajuru Desa Adat dalam pasangkepan Desa Adat periode terdekat.
BAB VII
SUSUNAN ORGANISASI DESA ADAT
Bagian Kesatu
Susunan Organisasi Desa Adat
Pasal 26
Susunan organisasi
Desa Adat terdiri
atas:
a. Paruman Desa Adat;
b. Pasangkepan Desa Adat;
c. Prajuru Desa Adat;
d. Sabha Desa Adat;
e. Kerta Desa Adat; dan
f.
Banjar Adat/Banjar Suka-Duka atau sebutan lain.
Pasal 27
(1)
Paruman Desa Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 huruf a merupakan forum
musyawarah tertinggi untuk:
a.
menetapkan Awig-Awig;
b.
melaksanakan
pemilihan Bandesa/Kelihan dan/atau Prajuru; dan
c.
merumuskan
hal-hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan tata kelola kelembagaan
Desa Adat.
(2)
Paruman Desa Adat diselenggarakan
oleh Prajuru Desa Adat dan dihadiri oleh semua Krama Desa Adat serta perwakilan
kelembagaan Desa Adat.
(3)
Hal-hal yang
bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan sebagai pelaksanaan Tri Hita Karana yang meliputi:
a.
penataan Desa
Adat;
b.
perencanaan pembangunan Desa Adat;
c.
penyelenggaraan kerjasama
Desa Adat;
d.
pengelolaan Padruwen Desa Adat;
e.
pengambilan
keputusan terhadap rencana investasi
di Desa Adat;
f.
pembentukan
dan pengelolaan Baga
Utsaha Padruwen
Desa Adat (BUPDA);
g.
pembentukan
dan pengelolaan Labda Pacingkreman
Desa (LPD) Adat;
h.
penambahan dan pelepasan Padruwen Desa
Adat baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak;
i.
pembangunan sarana dan prasarana
adat-istiadat, keagamaan, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal;
j.
pengembangan pendidikan dalam bentuk Pasraman;
k.
pelestarian dan pemberdayaan hak asal-usul, nilai
adat, nilai agama, nilai tradisi, nilai seni dan budaya, serta kearifan lokal; dan
l.
hal-hal lain manut dresta.
(4)
Paruman Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sekurang-kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun atau dapat dilaksanakan sesuai dengan
kebutuhan (padgata kala).
(5)
Dalam hal Prajuru Desa Adat tidak menyelenggarakan
Paruman Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Paruman Desa Adat dapat diselenggarakan atas prakarsa
anggota tertua atau termuda Sabha
Desa Adat.
(6)
Keputusan Paruman Desa Adat mengikat seluruh Krama
Desa Adat.
Pasal 28
(1) Pasangkepan Krama Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf b, merupakan lembaga pengambil
keputusan di bawah Paruman Desa Adat yang berkaitan dengan hal-hal
teknis.
(2) Pasangkepan Desa Adat diselenggarakan oleh Prajuru Desa Adat dan dihadiri oleh semua Krama Desa Adat atau yang mewakili.
(3) Hal-hal teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi
kegiatan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.
(4) Pasangkepan
Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dresta.
(5) Keputusan Pasangkepan Desa Adat
mengikat seluruh Krama Desa Adat.
Pasal 29
(1)
Prajuru Desa Adat sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. bandesa adat atau kelihan
adat atau sebutan lain sebagai ketua;
b. patajuh bandesa adat atau pangliman
atau sebutan lain sebagai wakil ketua;
c. panyarikan atau juru tulis
atau sebutan lain sebagai sekretaris; dan
d. patengen atau juru raksa
atau sebutan lain sebagai bendahara.
(2)
Prajuru dipilih dan ditetapkan dalam Paruman Desa
Adat untuk masa jabatan sesuai dengan Awig-Awig
dan/atau Pararem yang berlaku di
Desa Adat setempat.
(3)
Prajuru melaksanakan tugas dan wewenang secara
kolektif kolegial.
(4)
Prajuru Desa Adat dapat mengangkat staf administrasi
umum dan keuangan sesuai kebutuhan.
Pasal 30
Tugas dan kewajiban Prajuru
Desa Adat meliputi:
a.
menyusun rencana strategis dan program pembangunan Desa Adat;
b.
menyusun rancangan anggaran pendapatan dan belanja Desa Adat;
c.
melaksanakan program pembangunan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada huruf
a dan huruf b melalui kegiatan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan;
d.
melaksanakan Awig-Awig dan/atau
Pararem Desa Adat;
e.
menyelesaikan perkara adat/wicara
yang terjadi dalam Wewidangan Desa
Adat;
f.
mengatur penyelenggaraan kegiatan sosial dan keagamaan dalam Wewidangan Desa Adat sesuai dengan susastra
agama dan tradisi masing-masing;
g.
melaporkan hasil pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada huruf b dan
huruf c dalam Paruman Desa Adat.
Pasal 31
Wewenang Prajuru Desa Adat
meliputi:
a.
memutuskan rencana strategis yang disusun oleh LPD dan BUPDA;
b.
menetapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja Desa Adat menjadi
anggaran
pendapatan dan belanja Desa Adat setiap tahun;
c.
memanfaatkan Padruwen Desa Adat dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
Prajuru;
d.
mengangkat dan memberhentikan Pengawas dan Pengurus LPD dan BUPDA;
e.
melakukan pengawasan dan pengendalian kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan dalam Wewidangan Desa Adat;
f.
menerapkan sanksi adat kepada Krama
yang sudah diputuskan melalui Paruman Desa Adat;
g.
mewakili Desa Adat dalam bertindak untuk melakukan perbuatan hukum baik di dalam maupun di luar peradilan atas
persetujuan Paruman Desa Adat; dan
h.
melaksanakan kewenangan lain sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem
Desa Adat.
Pasal 32
Prajuru Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilarang:
a.
melanggar Awig-Awig
dan/atau
Pararem;
b.
membuat keputusan yang menguntungkan pihak tertentu dengan merugikan
kepentingan umum;
c. menyalahgunakan tugas,
kewajiban, dan wewenang;
d.
melakukan tindakan yang meresahkan penduduk di Desa Adat; dan
e. menjadi anggota
dan/atau pengurus organisasi terlarang.
Pasal 33
Prajuru
Desa Adat yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dikenai sanksi sesuai dengan Awig-Awig Desa Adat.
Pasal 34
(1)
Dalam menjalankan tugas perencanaan pembangunan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan huruf
c, Prajuru didampingi oleh Sabha Desa Adat.
(2)
Dalam menjalankan tugas penyelesaian perkara adat/wicara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30
huruf e, Prajuru didampingi oleh Kerta Desa Adat.
Pasal 35
(1)
Sabha Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf d dibentuk oleh Prajuru Desa
Adat.
(2)
Sabha Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas unsur:
a. Bandesa Adat;
b. utusan Banjar Adat; dan/atau
c. tokoh Krama
Desa Adat.
(3)
Bandesa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a, menjadi ketua merangkap anggota
Sabha Desa Adat.
(4)
Utusan Banjar Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf b, ditunjuk oleh masing-masing Banjar Adat melalui
Paruman Banjar Adat.
(5)
Tokoh Krama Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c ditunjuk oleh Prajuru Desa Adat berdasarkan komitmen, pengalaman, dan keahlian
dalam bidang tertentu, untuk memajukan Desa Adat.
(6)
Susunan organisasi Sabha Desa
Adat diatur dalam Awig-Awig Desa
Adat.
(7)
Sabha Desa Adat berfungsi sebagai
pendamping yang memberikan pertimbangan
kepada Prajuru Desa Adat dalam:
a. penyusunan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat;
b. perencanaan
pembangunan Desa Adat;
c. perencanaan anggaran pendapatan dan belanja Desa Adat; dan
d. pelaksanaan
program Desa Adat.
(8)
Masa bakti Sabha Desa Adat berakhir
bersamaan dengan masa bakti Prajuru
Desa Adat.
Pasal 36
(1)
Kerta Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
huruf e dibentuk oleh Prajuru Desa
Adat.
(2)
Kerta Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a.
Prajuru Desa Adat; dan
b.
Krama Desa Adat yang memiliki komitmen,
pengalaman, dan keahlian dalam bidang hukum adat.
(3)
Bandesa Adat menjadi ketua merangkap anggota Kerta Desa Adat.
(4)
Kerta Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga
pendamping Prajuru Desa Adat yang melaksanakan fungsi penyelesaian perkara
adat/wicara berdasarkan hukum adat
yang berlaku di Desa Adat.
(5)
Dalam hal anggota Kerta Desa Adat
memiliki hubungan dengan masalah yang ditangani oleh Kerta Desa Adat, anggota yang bersangkutan tidak diperbolehkan
terlibat dalam penyelesaian perkara adat.
(6)
Dalam hal Bandesa Adat memiliki
hubungan dengan masalah yang ditangani oleh Kerta
Desa Adat, jabatan ketua Kerta Desa Adat digantikan sementara
oleh anggota Kerta Desa Adat tertua.
(7)
Masa bakti anggota Kerta Desa
Adat berakhir bersamaan dengan masa bakti Prajuru Desa Adat.
Pasal 37
(1)
Kerta Desa Adat bertugas dan berwenang menerima,
memeriksa, menyelesaikan perkara adat/wicara
yang terjadi di Desa Adat berdasarkan hukum adat.
(2)
Dalam menyelesaikan perkara adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kerta Desa Adat mengutamakan perdamaian sesuai dengan asas druwenang sareng-sareng.
(3)
Dalam hal tidak tercapai perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kerta Desa Adat mengambil keputusan
sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat.
(4)
Dalam hal perkara adat tidak dapat diselesaikan oleh Kerta Desa Adat, para
pihak dapat meminta penyelesaian kepada Majelis Desa Adat sesuai jenjang.
Pasal 38
Prajuru Desa Adat, Sabha Desa Adat, dan Kerta
Desa Adat berhak mendapatkan patias atau olih-olihan sesuai dengan
Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat.
Bagian Kedua
Banjar
Pasal 39
(1)
Banjar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, berfungsi melaksanakan kegiatan sosial dan
keagamaan di Banjar.
(2)
Banjar dipimpin oleh Prajuru Banjar.
(3)
Susunan Prajuru Banjar diatur dalam Awig-Awig Desa Adat dan/atau
Awig-Awig Banjar.
(4)
Prajuru Banjar dipilih dan/atau ditetapkan oleh Krama Banjar menurut Awig-Awig Desa Adat dan/atau
Awig-Awig Banjar.
Pasal 40
(1) Tugas
Prajuru Banjar, meliputi:
b.
melakukan koordinasi dengan Desa Adat;
c.
melaksanakan Awig-Awig dan/atau
Pararem Desa Adat serta Pararem Banjar;
d.
mengatur penyelenggaraan kegiatan sosial dan keagamaan dalam Wewidangan Banjar;
e.
mengelola Padruwen Banjar; dan
f.
mengatur penyelenggaraan pelestarian Palemahan
Banjar.
(2)
Prajuru Banjar
berwenang:
a. menyelenggarakan Paruman dan Pasangkepan
Banjar;
b. mengatur Krama
dalam kegiatan sosial, keagamaan, dan pelestarian Palemahan
Banjar; dan
c. menyelesaikan perkara-perkara adat/wicara yang terjadi dalam Wewidangan Banjar.
BAB VIII
LEMBAGA ADAT
Pasal 41
(1) Desa Adat
memiliki Lembaga Adat.
(2) Lembaga Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a.
Pacalang atau
Jaga Bhaya atau dengan sebutan lain;
b.
Yowana atau Daa
Taruna atau dengan sebutan lain;
c. Krama Istri;
d.
Pasraman; dan
e. Sekaa, dan Lembaga Adat
lainnya.
Bagian Kesatu
Pacalang
Pasal 42
(1)
Pacalang melaksanakan
tugas dalam bidang keamanan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat dalam Wewidangan Desa Adat.
(2)
Pacalang diangkat dan diberhentikan oleh Desa
Adat berdasarkan Keputusan Prajuru
Desa Adat.
(3)
Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pacalang
memiliki tugas partisipasi dalam membantu tugas aparat keamanan negara.
(4)
Dalam meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pacalang
mendapat pendidikan dan pelatihan dari lembaga yang berkompeten.
(5)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pacalang mendapat olih-olihan sesuai Awig-Awig.
(6)
Tugas Pacalang
diatur dalam Tuntunan Sasana Pacalang.
(7)
Tuntunan Sasana
Pacalang sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) ditetapkan oleh Majelis Utama Desa Adat.
Bagian Kedua
Yowana
Pasal 43
(1)
Yowana merupakan organisasi kepemudaan yang ada dalam
Wewidangan Desa Adat.
(2)
Yowana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan
kegiatan dalam bidang kepemudaan, meliputi:
a. adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal;
b. pendidikan dan olah raga;
c. kesehatan;
d. ekonomi; dan
e. bidang peminatan lainnya.
Bagian Ketiga
Krama Istri
Pasal 44
(1)
Krama Istri merupakan organisasi istri sah Krama Desa Adat.
(2)
Krama Istri melaksanakan kegiatan
mendukung kegiatan Desa Adat dan upaya pemberdayaan kesejahteraan
keluarga melalui:
a. adat, agama, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal;
b. pendidikan dan olah raga;
c. kesehatan;
d. ekonomi; dan
e. bidang lainnya.
Bagian Keempat
Pasraman
Pasal 45
(1) Pasraman merupakan wadah
pendidikan berbasis
keagamaan Hindu untuk pengembangan jati diri, integritas moral, dan kualitas Krama Desa Adat.
(2)
Pasraman sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan dalam bentuk formal, nonformal, dan informal.
(3) Pasraman formal sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan Desa Adat dalam bentuk:
a.
Pendidikan Anak Usia Dini (Pratama Widya Pasraman A);
b.
Taman Kanak-kanak (Pratama Widya Pasraman B); dan
c.
Pendidikan Dasar setingkat SD (Adi Widya Pasraman).
(4)
Pasraman nonformal
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diselenggarakan Desa Adat dalam bentuk
program.
(5)
Penyelenggaraan pendidikan Pasraman sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilaksanakan sesuai dengan kearifan lokal Bali.
(6)
Sumber pembiayaan Pasraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
a. Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN);
b. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi;
c. Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota; dan
d. Sumber lain yang
tidak mengikat.
Bagian Kelima
Sekaa
Pasal 46
(1) Sekaa merupakan wadah kelompok masyarakat yang dibentuk oleh Desa
Adat dan/atau Krama Desa Adat berdasarkan minat, bakat, atau kebutuhan.
(2)
Sekaa sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mencakup:
a.
bidang seni;
b.
bidang budaya; dan
c.
bidang lainnya.
Bagian Keenam
Organisasi Lembaga Adat
Pasal 47
(1)
Masing-masing Lembaga Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, membentuk organisasi secara berjenjang di tingkat
Kabupaten/Kota dan Provinsi.
(2)
Pembentukan organisasi Lembaga Adat secara
berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Majelis Desa Adat,
difasilitasi oleh Pemerintah Daerah, serta dikoordinasikan dengan Gubernur atau Bupati/Wali
Kota.
BAB IX
DESA
ADAT TUA
Pasal 48
(1) Desa Adat Tua merupakan susunan masyarakat asli di Desa Adat tertentu di Bali
yang memiliki sistem pemerintahan kembar atau sistem pemerintahan ulu apad/kolektif.
(2) Desa Adat Tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tata cara penetapan
prajuru atau paduluan berdasarkan:
a.
Nyanjan;
b.
garis keturunan; atau
c.
ririgan (urutan).
(3) Susunan organisasi dan kelembagaan Desa Adat Tua mengikuti susunan asli, sistem
pengelolaan Parahyangan, dan sistem
kemasyarakatan manut dresta setempat.
(4) Desa Adat Tua berwenang mengatur dan mengurus bidang adat, agama, tradisi,
seni dan budaya, serta kearifan lokal sesuai dengan dresta setempat.
BAB X
TUGAS DAN WEWENANG DESA ADAT
Bagian Kesatu
Tugas Desa Adat
Pasal 49
Desa Adat memiliki tugas mewujudkan kasukretan Desa Adat yang meliputi ketenteraman, kesejahteraan, kebahagiaan,
dan kedamaian sakala dan niskala.
Pasal 50
Tugas Desa Adat dalam mewujudkan kasukretan sakala dan niskala
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, meliputi:
a.
mengatur, mengurus, dan mengayomi penyelenggaraan Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan
Desa Adat;
b. memelihara dan mengembangkan sistem dan
pelaksanaan hukum adat;
c. menyelenggarakan Sabha Desa Adat dan Kerta Desa Adat;
d. memajukan adat, agama, tradisi, seni dan
budaya, serta kearifan lokal Desa Adat;
e. menyelenggarakan pendidikan formal,
nonformal, dan informal berbasis keagamaan Hindu untuk pengembangan jati diri,
integritas moral, dan kualitas Krama Desa
Adat;
f.
memelihara keamanan Desa Adat;
g. mengembangkan perekonomian Desa Adat;
h.
menjaga keberlangsungan status hak atas tanah Padruwen Desa Adat;
i.
menjaga kesucian, kelestarian, kebersihan,
dan ketertiban Palemahan Desa Adat;
j.
melaksanakan kegiatan pancayadnya sesuai dengan tuntunan susastra agama Hindu;
k.
melaksanakan kegiatan sesuai dengan nilai-nilai Sad Kertih;
l.
melaksanakan kegiatan lain yang sesuai dengan Awig-Awig dan/atau dresta;
dan
m.
melaksanakan tugas pembantuan yang diserahkan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
Bagian
Kedua
Wewenang
Desa Adat
Pasal 51
Kewenangan Desa Adat meliputi kewenangan berdasarkan hak asal usul
dan kewenangan lokal berskala Desa Adat.
Pasal 52
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 meliputi:
a.
pembentukan Awig-Awig, Pararem, dan peraturan
adat lainnya;
b.
penetapan perencanaan pembangunan Desa Adat;
c.
penetapan anggaran pendapatan dan belanja
Desa Adat;
d.
pelaksanaan
pemerintahan berdasarkan susunan asli;
e.
pengembangan dan pelestarian nilai adat,
agama, tradisi, seni dan budaya serta
kearifan lokal;
f.
pengelolaan Wewidangan dan tanah Padruwen
Desa Adat;
g.
pengelolaan Padruwen Desa Adat;
h.
pengembangan
kehidupan hukum adat sesuai dengan asas Bali Mawa Cara dan Desa Mawa Cara;
i.
penetapan sistem organisasi dan pranata hukum
adat;
j.
turut serta dalam penentuan keputusan dan pelaksanaan pembangunan yang ada
di Wewidangan Desa Adat;
k.
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
penduduk Desa Adat;
l.
penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan
Desa Adat; dan
m.
penyelesaian perkara adat/wicara berdasarkan hukum adat.
Pasal 53
Kewenangan lokal berskala Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 meliputi pengelolaan:
a.
hutan adat;
b.
sumber-sumber air;
c.
pasisi dan sagara;
d.
pertanian, perkebunan, perikanan, dan
peternakan;
e.
industri pangan dan kerajinan rakyat;
f.
perlistrikan;
g.
pasar atau tenten;
h.
tambatan perahu;
i.
tempat pemandian umum;
j.
sanggar seni, budaya, dan pasraman;
k.
kapustakan;
l.
destinasi wisata;
m.
lingkungan permukiman penduduk; dan/atau
n.
kebersihan serta kelestarian lingkungan.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Pasal 54
Pelaksanaan
tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, dan Pasal 53
agar memperhatikan keseimbangan antara ketertiban, ketenteraman,
kesejahteraan, kebahagiaan, dan kedamaian Krama
Desa Adat.
Pasal 55
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tugas dan wewenang Desa Adat diatur dalam Awig-Awig.
BAB XI
PADRUWEN
DAN UTSAHA DESA
ADAT
Bagian Kesatu
Padruwen Desa Adat
Pasal 56
(1)
Padruwen Desa Adat meliputi seluruh harta
kekayaan milik Desa Adat baik yang bersifat immateriil maupun materiil.
(2)
Padruwen Desa Adat yang
bersifat immateriil sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa sistem
kepercayaan, nilai-nilai
tradisi, adat, seni dan budaya, serta kearifan lokal yang dijiwai agama Hindu.
(3)
Padruwen Desa Adat yang
bersifat materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a.
Wewidangan Desa Adat;
b.
tanah Desa Adat;
c.
sumber daya alam;
d.
sumber ekonomi yang merupakan hak tradisional Desa Adat;
e.
kawasan suci, tempat suci, bangunan suci milik Desa Adat;
f.
bangunan-bangunan milik Desa Adat;
g.
benda-benda yang bersifat religius magis;
h.
keuangan dan sarwa mulé;
i.
unit utsaha Desa Adat, yang meliputi: Labda Pacingkreman Desa (LPD) Adat , Baga Utsaha Padruwen
Desa Adat (BUPDA),
serta unit usaha lainnya milik Desa Adat; dan
j.
harta kekayaan materiil lainnya.
Pasal 57
(1) Kekayaan milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah
berskala lokal Desa Adat yang ada di Desa Adat dapat
dihibahkan kepada
Desa Adat.
(2)
Kekayaan milik Desa Adat yang telah diambil
alih oleh Pemerintah Daerah dikembalikan kepada Desa Adat, kecuali yang sudah digunakan untuk
fasilitas umum.
Pasal 58
(1) Tanah milik Desa Adat didaftarkan atas nama Desa Adat.
(2) Tanah dan Padruwen Desa Adat yang tidak berfungsi
komersial dibebaskan dari beban pajak.
Pasal 59
(1)
Pengelolaan Padruwen
Desa Adat dilaksanakan berdasarkan asas kemanfaatan bagi Desa Adat.
(2)
Pengelolaan Padruwen Desa Adat
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan Krama Desa Adat.
(3)
Pengaturan dan pengelolaan Padruwen Desa
Adat dilakukan
oleh Prajuru Desa Adat dan/atau lembaga yang ditunjuk sesuai dengan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa
Adat.
(4)
Pengawasan terhadap pengelolaan Padruwen
Desa Adat dilakukan oleh Krama Desa
Adat atau lembaga yang dibentuk oleh Prajuru
Desa Adat, sesuai Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat.
(5)
Setiap pengalihan dan perubahan status Padruwen
Desa Adat wajib mendapat persetujuan Paruman
Desa Adat.
Bagian Kedua
Utsaha Desa Adat
Paragraf 1
Labda Pacingkreman Desa Adat
Pasal 60
(1)
Labda Pacingkreman
Desa (LPD) Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf i merupakan
lembaga keuangan milik Desa Adat yang berkedudukan dalam Wewidangan Desa Adat.
(2)
LPD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya, dibentuk, diatur, dan dikelola berdasarkan
hukum adat yang dituangkan dalam Awig-Awig
dan/atau Pararem Desa Adat.
(3)
LPD didirikan dengan maksud untuk
menjadi lembaga keuangan adat yang sehat, kuat, bermanfaat, dan berkelanjutan
dalam memperkuat ketahanan ekonomi Desa Adat, serta melestarikan dan
menumbuhkembangkan nilai-nilai luhur adat, agama, tradisi, seni dan budaya,
serta kearifan lokal Bali.
(4)
LPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) didirikan dengan tujuan untuk melaksanakan kegiatan utsaha dalam rangka mewujudkan pancakreta
dan menunjang pelaksanaan pancayadnya.
(5)
Tujuan sebagaimana
dimaksud ayat (4) diwujudkan dengan cara menyediakan produk dan jasa keuangan serta keahlian kepada Krama
dan Desa Adat.
Pasal 61
LPD dikelola berdasarkan asas kebersamaan, kekeluargaan,
kegotongroyongan (gilik-saguluk,
parasparo, salunglung sabayantaka, sarpana ya).
Paragraf 2
Baga Utsaha Padruwen Desa Adat
Pasal 62
Baga
Utsaha Padruwen Desa Adat (BUPDA) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (3) huruf i dibentuk,
diatur, dan dikelola berdasarkan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat.
Pasal 63
(1)
BUPDA didirikan dengan maksud dan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian Krama
Desa Adat.
(2) Maksud dan tujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dengan melaksanakan utsaha di bidang ekonomi riil, jasa, dan/atau pelayanan umum yang diselenggarakan dengan tata kelola modern, kecuali usaha di bidang
keuangan.
Pasal 64
BUPDA dikelola dengan semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotongroyongan (gilik-saguluk, parasparo, salunglung
sabayantaka, sarpana ya).
Bagian Ketiga
Lembaga Otoritas Perekonomian Adat Bali
Pasal 65
(1)
Majelis Utama Desa Adat membentuk Lembaga
Otoritas Perekonomian Adat (LOKA) Bali
yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan pembangunan LPD dan BUPDA.
(2)
Struktur organisasi, tugas, kewenangan, dan
tata kelola LOKA Bali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Pararem LOKA Bali.
(3)
Pararem LOKA Bali
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Majelis Utama Desa Adat.
(4)
LOKA Bali berkedudukan di Ibu Kota Provinsi.
(5)
LOKA Bali dapat membentuk kantor perwakilan
di masing-masing Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan.
(6)
Dalam melaksanakan tugasnya, LOKA Bali
mendapat biaya operasional yang bersumber dari:
a.
iuran LPD;
b.
iuran BUPDA;
c.
alokasi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN);
d.
bantuan Pemerintah Daerah yang dialokasikan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi serta
Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Kabupaten/Kota;
e.
dana punia yang tidak
mengikat; dan
f.
pendapatan lain yang sah.
Pasal 66
(1) Pembentukan LOKA
Bali dan Pararem LOKA Bali
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) oleh Majelis Utama Desa Adat,
difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi, serta dikoordinasikan dengan Gubernur.
(2) LOKA Bali dan Pararem LOKA Bali sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Gubernur untuk
mendapatkan mengesahan dan dicatatkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 67
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan
Pemerintah Desa mendorong
perkembangan LPD dan BUPDA dengan:
a. memberikan hibah dan/atau akses
permodalan;
b. memberikan
pendampingan teknis dan akses pasar; dan
c. memprioritaskan LPD
dan BUPDA dalam pengelolaan potensi perekonomian, sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan budaya di Desa Adat.
Bagian Keempat
Peran Pemerintah Daerah
Pasal 68
(1) Pemerintah Daerah sesuai
jenjang berperan sebagai mitra kerja Majelis Desa Adat dalam pemberdayaan LPD
dan BUPDA.
(2) Mitra kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk pelindungan, pengayoman, penguatan,
pemberdayaan, dan fasilitasi dalam pengembangan LPD dan BUPDA.
BAB XII
KEUANGAN, ANGGARAN PENDAPATAN
DAN BELANJA DESA ADAT
Bagian
Kesatu
Keuangan
Desa Adat
Pasal 69
(1)
Keuangan Desa Adat meliputi seluruh hak dan kewajiban Desa Adat
yang bernilai uang dan berupa barang.
(2)
Hak dan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
menimbulkan pendapatan dan biaya.
Pasal 70
(1)
Pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) bersumber dari:
a.
pendapatan asli Desa Adat;
b.
hasil pengelolaan Padruwen Desa adat;
c.
alokasi APBD Provinsi;
d.
bantuan APBD Kabupaten/Kota;
e.
bantuan APBN;
f.
pembagian pajak dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
g.
hibah dan sumbangan (dana punia) pihak ketiga yang tidak mengikat; dan
h.
pendapatan lain-lain Desa Adat yang sah.
(2)
Pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan secara proporsional untuk membiayai penyelenggaraan program Desa
Adat.
(3)
Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a, b, dan g diatur
berdasarkan kesepakatan dalam Paruman
Desa Adat.
(4)
Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c, d, dan f diatur dalam Peraturan Gubernur.
(5)
Tata pengelolaan dan penggunaan pendapatan Desa Adat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf e sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(6)
Ketentuan terkait pendapatan lain-lain Desa
Adat yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h lebih lanjut diatur dalam
Peraturan Gubernur.
Pasal 71
Mekanisme alokasi APBD
Provinsi, bantuan APBD Kabupaten/Kota, dan bantuan APBN dilakukan melalui
transfer langsung ke rekening Desa Adat.
Bagian Kedua
Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa Adat
Pasal
72
(1)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
Adat, mencakup:
a. bagian pendapatan;
b. bagian belanja; dan
c. pembiayaan Desa Adat.
(2)
Bagian
belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, mencakup:
a. belanja rutin; dan
b. belanja program.
(3)
Belanja
program disusun sesuai dengan tugas Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50.
Pasal
73
(1)
Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disusun
oleh Prajuru Desa Adat bersama Sabha Desa Adat, dilaksanakan dengan terlebih dahulu menyerap
aspirasi Krama melalui Paruman Desa Adat.
(2)
Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas
dan ditetapkan dalam Pesangkepan Prajuru Desa Adat bersama Sabha Desa Adat.
Pasal
74
(1) Prajuru Desa Adat merupakan pemegang
kewenangan Pengelolaan Keuangan Desa Adat.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan
pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Prajuru Desa Adat dapat melimpahkan kewenangannya kepada perangkat
Desa Adat.
(3) Ketentuan lebih lanjut
mengenai Pengelolaan Keuangan Desa Adat yang bersumber dari alokasi APBD
Provinsi, bantuan APBD Kabupaten/Kota, bantuan APBN, dan pembagian pajak dan
retribusi daerah Kabupaten/Kota diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 75
(1)
Pengelolaan Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dipertanggungjawabkan oleh Prajuru Desa Adat kepada Krama Desa Adat melalui Paruman Desa Adat.
(2)
Pertanggungjawaban
keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur.
Pasal 76
(1) Prajuru Desa Adat dilarang menyalahgunakan kewenangan dalam Pengelolaan
Keuangan Desa Adat yang mengakibatkan kerugian Desa Adat.
(2) Penyalahgunaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diselesaikan berdasarkan Awig-Awig
melalui Kerta Desa Adat.
BAB XIII
MAJELIS DESA ADAT
Pasal 77
(1)
Majelis Desa Adat merupakan mitra kerja
Pemerintah Daerah, sesuai tingkatan, dalam bidang adat, tradisi, budaya, sosial religius, kearifan
lokal, dan ekonomi adat.
(2)
Susunan Organisasi Majelis Desa Adat terdiri atas:
a.
Majelis Utama Desa Adat;
b.
Majelis Madya Desa Adat.
(3)
Susunan
Kelembagaan Majelis Desa Adat terdiri atas:
a.
Paruman Agung;
b.
Pasamuhan Agung;
c.
Paruman Madya; dan
d.
Pasamuhan Madya.
Pasal 78
(1)
Paruman Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) huruf a, merupakan
forum permusyawaratan tertinggi Majelis Utama Desa Adat yang diikuti oleh utusan Majelis Madya Kabupaten/Kota se-Bali dan dilaksanakan sekali dalam
lima tahun.
(2)
Pasamuhan Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) huruf b, merupakan
forum permusyawaratan Majelis Utama Desa Adat setelah Paruman Agung yang diikuti oleh utusan Majelis Madya se-Kabupaten/Kota dan dilaksanakan sekurang-kurangnya dua kali dalam lima tahun.
(3)
Paruman Madya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) huruf c, merupakan
forum permusyawaratan tertinggi Majelis Madya Desa Adat yang diikuti oleh utusan Prajuru
Desa
Adat se-Kabupaten/Kota dan dilaksanakan sekali dalam lima tahun.
(4)
Pasamuhan Madya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3) huruf d, merupakan forum
permusyawaratan Majelis Madya Desa Adat setelah Paruman
Madya yang diikuti oleh utusan Prajuru Desa Adat se-Kabupaten/Kota
dan dilaksanakan sekurang-kurangnya
dua kali dalam lima tahun.
Pasal 79
(1)
Majelis Utama Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
huruf a, berkedudukan di Ibukota Provinsi.
(2)
Majelis Utama Desa Adat dibentuk melalui Paruman Agung.
(3)
Pengurus Majelis Utama Desa Adat dipilih dari peserta Paruman Agung.
Pasal 80
(1)
Majelis Madya Desa Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) huruf b, berkedudukan di Ibu Kota Kabupaten/Kota.
(2)
Majelis Madya Desa Adat dibentuk melalui Paruman Madya.
(3)
Pengurus Majelis Madya Desa Adat dipilih dari peserta Paruman Madya.
Pasal 81
(1) Majelis
Desa Adat Bali mempunyai tugas:
a. mengayomi, membina, dan mengembangkan adat istiadat;
b. mengatur pengelolaan, pengawasan, dan
pengembangan ekonomi adat;
c. memberikan saran,
usul, dan pendapat/pertimbangan mengenai masalah-masalah adat kepada Pemerintah
Daerah serta berbagai pihak, baik
perseorangan, kelompok, maupun lembaga;
d. melaksanakan setiap
keputusan Paruman dan Pasamuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, sesuai dengan
aturan-aturan yang ditetapkan;
e. mendampingi Desa Adat dalam penyuratan Awig-Awig dan Pararem;
f.
melaksanakan penyuluhan adat istiadat, tradisi,
budaya, dan kearifan lokal Bali secara menyeluruh.
(2) Majelis Desa Adat Bali mempunyai wewenang:
a. menemukan, merumuskan,
dan menetapkan kesatuan tafsir terkait dengan adat-istiadat dan hukum adat
Bali;
b. menyusun dan menetapkan ketentuan adat
terkait dengan tata kelola kelembagaan dan manajemen utsaha adat;
c. memusyawarahkan berbagai
hal yang terkait dengan
masalah-masalah adat dan budaya Bali untuk kepentingan Desa Adat;
d.
melaksanakan penataan Desa Adat, yang meliputi pembentukan, pemekaran, perubahan status, penggabungan,
dan/atau penghapusan;
e.
menyelesaikan perkara
adat/wicara secara bertingkat yang tidak dapat
diselesaikan pada tingkat Desa Adat;
f.
memberikan
pertimbangan berdasarkan nilai-nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal
Bali terhadap setiap rencana pembangunan yang dilaksanakan di Wewidangan lintas Desa Adat; dan
g.
memberikan
keputusan berdasarkan nilai-nilai adat, tradisi, budaya, dan kearifan lokal Bali
terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Prajuru Desa Adat.
Pasal 82
(1)
Dalam menyelesaikan
perkara adat/wicara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) huruf e, Majelis Desa Adat dapat mengambil
keputusan yang menguatkan, mengubah, atau membatalkan keputusan Desa Adat.
(2)
Keputusan Majelis
Utama Desa Adat bersifat final dan mengikat yang harus diikuti dan dilaksanakan
oleh Desa Adat dan Pemerintah Daerah.
Pasal 83
Dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, Pemerintah Daerah sesuai tingkatan wajib:
a. menyediakan sarana
prasarana kepada Majelis Desa Adat; dan
b. mengalokasikan anggaran
untuk biaya operasional Majelis Desa Adat yang bersumber dari APBD.
Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai
susunan organisasi, masa jabatan, dan tata kerja Majelis Desa Adat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Majelis Desa Adat yang ditetapkan dalam Paruman Agung.
BAB XIV
TATA HUBUNGAN DAN
KERJASAMA DESA
ADAT
Bagian Kesatu
Tata Hubungan
Pasal 85
(1) Desa Adat dapat
melakukan hubungan dengan:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah
Provinsi;
c. Pemerintah
Kabupaten/Kota;
d. Lembaga umat Hindu;
e. Majelis Desa Adat;
f.
Desa Adat lain;
g. Desa
Dinas/Kelurahan;
h. subak/subak abian;
i.
swasta;
j.
lembaga swadaya masyarakat;
k. organisasi
kemasyarakatan;
l.
lembaga pendidikan dan kebudayaan; dan/atau
m. pihak lain.
(2) Tata hubungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat bersifat:
a. otoritatif;
b. koordinatif; dan/atau
c. konsultatif.
(3) Ketentuan mengenai
tata cara pelaksanaan hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
lebih lanjut diatur dalam Peraturan Gubernur.
Bagian Kedua
Kerjasama Desa Adat
Pasal 86
(1)
Desa Adat dapat mengadakan kerjasama dengan
Desa Adat lain, Desa, dan/atau pihak lain.
(2)
Dalam melaksanakan kerjasama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Desa Adat berkoordinasi dengan Majelis Desa Adat sesuai
jenjang dan LOKA Bali.
(3)
Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
(4)
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disampaikan kepada Majelis Desa Adat sesuai jenjang dan LOKA Bali
untuk dicatatkan.
Paragraf 1
Kerjasama Desa
Adat
dengan Desa Adat
Lain
Pasal 87
(1)
Kerjasama Desa Adat dengan Desa Adat lain meliputi bidang:
a.
pengembangan utsaha bersama yang dimiliki oleh Desa Adat untuk mencapai manfaat ekonomi
yang lebih besar;
b.
kegiatan kemasyarakatan, pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan Krama antar-Desa Adat;
c.
ketertiban; dan
d.
bidang lainnya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
adat, agama, tradisi, budaya dan kearifan lokal Bali.
(2)
Kerjasama dengan Desa Adat lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Paruman Desa Adat.
(3)
Kerjasama Desa Adat dengan Desa Adat lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat dan dituangkan dalam
bentuk perjanjian tertulis.
Paragraf 2
Kerjasama Desa
Adat
dengan Desa
(Dinas)
Pasal 88
(3)
Kerjasama Desa Adat dengan Desa (Dinas) meliputi bidang:
a.
pengembangan utsaha bersama yang dimiliki oleh Desa Adat dan Desa untuk mencapai
manfaat ekonomi yang lebih besar;
b.
kegiatan kemasyarakatan, pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan Desa Adat dan Desa;
c.
kependudukan;
d.
ketertiban; dan
e.
bidang lainnya, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai adat,
agama, tradisi, budaya dan kearifan lokal Bali.
(4)
Kerjasama Desa Adat dengan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Paruman Desa Adat.
(5)
Kerjasama Desa Adat dengan Desa sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat dan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Kerjasama Desa
Adat
dengan Pihak Lain
Pasal 89
(1)
Kerjasama Desa Adat dengan pihak lain dilakukan untuk mempercepat dan
meningkatkan pelaksanaan pembangunan Desa Adat dan pemberdayaan Desa Adat.
(2)
Kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimusyawarahkan dalam Paruman Desa
Adat.
(3)
Dalam melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Desa Adat dapat meminta pertimbangan dan/atau pendampingan LOKA Bali.
(4)
Kerjasama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak bertentangan dengan nilai-nilai
adat, agama, tradisi, budaya dan kearifan lokal Bali.
(5)
Kerjasama Desa Adat dengan pihak lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat dan dituangkan dalam
bentuk perjanjian tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XV
PEMBANGUNAN DESA ADAT
DAN PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DESA ADAT
Bagian Kesatu
Pembangunan Desa Adat
Pasal 90
(1)
Pembangunan
Desa Adat bertujuan untuk:
a.
menguatkan hak asal-usul, hak-hak tradisional,
adat istiadat, nilai budaya, dan kearifan lokal masyarakat Bali yang dijiwai
agama Hindu;
b. meningkatkan
kesejahteraan Krama Desa Adat;
c. memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar Krama Desa
Adat dalam bidang pendidikan dan pemajuan kebudayaan berdasarkan filosofi Tri Hita Karana yang dijabarkan dalam kearifan
lokal Sad Kertih;
d. peningkatan
kapasitas Prajuru, Lembaga Adat, dan Krama Desa Adat;
e. mendayagunakan
sumber daya Desa Adat yang berkelanjutan; dan
f.
meningkatkan sarana dan prasarana pendukung
Desa Adat.
(2)
Pembangunan Desa Adat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berlandaskan
nilai-nilai adat Bali gilik-saguluk, parasparo, salunglung-sabayantaka, sarpana ya guna mewujudkan kebenaran (satyam),
kebahagiaan (siwam), dan keharmonisan (sundaram).
Pasal 91
(1)
Pembangunan
Desa Adat meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
(2)
Perencanaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun secara berjangka, mencakup:
a. Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa Adat untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun; dan
b. Rencana Pembangunan
Tahunan Desa Adat atau yang disebut Rencana Kerja Desa Adat, merupakan
penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Adat untuk jangka
waktu 1 (satu) tahun.
(3)
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa Adat dan Rencana Kerja Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Paruman
Desa Adat dengan Pararem Desa Adat.
(4)
Pararem Desa adat tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Adat dan Rencana Kerja Desa Adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa Adat.
(5)
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa Adat dan Rencana Kerja Desa Adat merupakan
pedoman dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Adat yang diatur
dalam Pararem.
(6)
Program
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah yang berskala lokal Desa Adat
dikoordinasikan dan/atau didelegasikan pelaksanaannya kepada Desa Adat.
Pasal 92
(1)
Pembangunan
Desa Adat dilaksanakan sesuai dengan Rencana Kerja Desa Adat.
(2)
Pembangunan
Desa Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Prajuru Desa Adat dengan melibatkan
seluruh Krama Desa Adat dengan
semangat kekeluargaan, kebersamaan, dan gotongroyong.
Pasal 93
(1)
Krama Desa Adat berhak
mendapatkan informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa Adat.
(2)
Krama Desa Adat berhak
melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa Adat.
(3)
Krama Desa Adat melaporkan
hasil pemantauan dan berbagai keluhan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa
Adat kepada Prajuru Desa Adat dan Sabha Desa Adat.
(4)
Prajuru Desa Adat wajib
menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Desa Adat, Rencana Kerja Desa Adat, dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
Adat kepada Krama Desa Adat melalui
layanan informasi kepada umum dan melaporkan dalam Paruman Desa Adat paling sedikit 1 (satu) tahun sekali.
(5)
Krama Desa Adat berpartisipasi
dalam Paruman Desa Adat untuk
menanggapi laporan pelaksanaan Pembangunan Desa Adat.
Bagian Kedua
Pembangunan Kawasan Perdesaan Desa Adat
Pasal 94
(1) Pembangunan Kawasan
Perdesaan Desa Adat merupakan perpaduan
pembangunan Desa Adat dengan Desa Adat lain dalam 1 (satu) Kabupaten/Kota.
(2) Pembangunan Kawasan
Perdesaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan,
pembangunan, dan pemberdayaan Krama
Desa Adat di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan kebersamaan dan gotong royong.
(3) Pembangunan Kawasan
Perdesaan meliputi:
a.
penggunaan dan pemanfaatan Wewidangan Desa Adat dalam rangka penetapan kawasan pembangunan
sesuai dengan tata ruang Kabupaten/Kota;
b.
pelayanan yang dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan;
c.
pembangunan infrastruktur, peningkatan ekonomi perdesaan, dan pengembangan
teknologi tepat guna; dan
d.
pemberdayaan Krama Desa Adat untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan dan kegiatan
ekonomi.
(4) Rancangan pembangunan Kawasan Perdesaan dibahas
bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Majelis Utama Desa Adat, Majelis Madya
Desa Adat, Pemerintah Desa Dinas, dan Desa Adat.
(5) Rencana pembangunan
Kawasan Perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh
Bupati/Walikota sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
setelah mendapat pertimbangan dari Majelis Desa Adat sesuai jenjang.
Pasal 95
(1) Pembangunan Kawasan Perdesaan oleh Pemerintah Daerah
Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan/atau pihak ketiga yang terkait dengan pemanfaatan Padruwen Desa Adat dan tata ruang
Desa Adat harus melibatkan Desa Adat.
(2) Perencanaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan Padruwen Desa Adat untuk pembangunan Kawasan Perdesaan berdasarkan pada hasil Paruman Desa Adat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
perencanaan, pelaksanaan pembangunan Kawasan Perdesaan, pemanfaatan, dan pendayagunaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Pasal 96
(1)
Pembangunan Kawasan Perdesaan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui organisasi perangkat daerah, Desa Adat, dan/atau BUPDA dengan
mengikutsertakan Krama Desa Adat.
(2)
Pembangunan Kawasan Perdesaan yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan pihak ketiga harus sesuai dengan nilai-nilai adat, agama, tradisi,
budaya dan kearifan lokal Bali dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam.
(3)
Pembangunan Kawasan Perdesaan yang berskala lokal
Desa Adat diserahkan pelaksanaannya kepada Desa Adat dan/atau kerjasama antar-Desa Adat.
BAB XVI
Pemberdayaan DAN
PELESTARIAN Desa Adat
Pasal 97
(1)
Pemberdayaan dan pelestarian Desa Adat diarahkan pada terwujudnya:
a.
pembangunan kualitas kehidupan Krama Desa Adat berdasarkan ajaran serta
nilai-nilai
adat, agama, tradisi, budaya dan kearifan lokal Bali;
b.
pelestarian kebudayaan Bali yang mampu
menyaring secara selektif pengaruh budaya asing;
c.
suasana yang dapat mendorong peningkatan
peranan dan fungsi Desa Adat dalam upaya meningkatkan
harkat dan martabat serta jati diri Krama
Desa Adat;
d.
partisipasi aktif Desa
Adat dalam pelaksanaan pembangunan di segala bidang; dan
e.
kesucian,
kelestarian, serta keharmonisan alam Bali.
(2)
Pemberdayaan dan pelestarian Desa Adat
sebagaimana dimaksud ayat (1) dilaksanakan berdasarkan sikap saling asah,
saling asih, saling asuh, serta gilik-saguluk, parasparo,
salunglung-sabayantaka, sarpana ya.
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 98
(1)
Prajuru Desa Adat yang dibentuk berdasarkan
Peraturan yang telah ada sebelum ditetapkannya Peraturan Daerah ini tetap
melaksanakan tugas sampai diganti sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.
(2)
Peraturan pelaksanaan Peraturan Daerah yang telah ada sebelum ditetapkannya
Peraturan Daerah ini tetap berlaku sepanjang belum diatur dan/atau tidak bertentangan dengan
Peraturan Daerah ini.
(3)
Kerjasama Desa Adat dengan pihak lain yang telah ada sebelum ditetapkannya
Peraturan Daerah ini tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu
kerjasama.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99
(1)
Pada saat
Peraturan Daerah ini mulai berlaku, Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3
Tahun 2001 tentang Desa Pakraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun 2001
Nomor 29 Seri D Nomor 29) sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 3 Tahun 2001 tentang Desa PaKraman (Lembaran Daerah Provinsi Bali Tahun
2003 Nomor 11), serta Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2017 tentang Lembaga
Perkreditan Desa (Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2017 Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2)
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi
Bali.
Ditetapkan di Denpasar
pada tanggal
………..........………….
GUBERNUR BALI,
WAYAN KOSTER
Diundangkan di Denpasar
pada tanggal
…………………
SEKRETARIS
DAERAH PROVINSI BALI,
DEWA MADE INDRA
LEMBARAN DAERAH PROVINSI BALI TAHUN ….. NOMOR ………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar