Putu Setia | @mpujayaprema
SIAPA yang unggul pada debat pertama
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden? Pertanyaan ini tak perlu. Mau
bertanya pada siapa? Sebagian besar orang sudah menentukan pilihannya dan sulit
berpaling hanya karena ada debat. Tanpa ditanya pun mereka akan menjawab
jagonyalah yang paling unggul, lawannya harus kalah. Bahkan mereka bisa
menyebutnya itu tanpa perlu menonton televisi.
Sulit mencari orang netral untuk bisa
menjawab siapa yang unggul di antara pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga.
Menjadi orang netral di saat ini memerlukan perjuangan berat. Kalau menyebut
Jokowi unggul akan dibuly habis-habisan oleh pendukung pasangan 02. Tambah
runyam lagi bulynya kalau berani menyebut Prabowo yang unggul, pendukung
pasangan 01 lebih militan.
Sikapi debat sebagai hiburan semata.
Apalagi hampir semua televisi ikut menyiarkan padahal sudah ada “televisi resmi”
yang bertugas untuk itu. Meski emak-emak masih bisa menonton sinteron di ANTV
dan anak-anak yang belum tidur nonton kuis di Global TV, toh tayangan debat
dengan iklannya yang full, tetap jadi
primadona.
Komisi Pemilihan Umum pun nampaknya
sengaja mengemas acara debat sebagai hiburan. Ketika pasangan calon tiba di
arena, pendukungnya berteriak menyambut, persis para penjudi sabungan ayam di
Bali. Para calon pun tampil menyampaikan visi misi seperti anak-anak sekolah
membacakan hafalan. Lalu menjawab pertanyaan panelis – yang tugasnya selesai
hanya membuat soal – juga dengan gaya hafalan karena kisi-kisi pertanyaan sudah
dipelajari seminggu sebelumnya.
Keempat putra terbaik bangsa ini -- kalau tak baik bagaimana bisa lolos sebagai calon – memerankan tugas dengan bagus. Prabowo sebagai penantang tampil menggebu, sementara Jokowi sebagai yang ditantang tak kalah tegas dalam menjawab. Sandiaga diberi kesempatan leluasa untuk bicara membantu Prabowo, namanya saja wakil, ya, jadi pendamping. Ada pun Ma’ruf Amin sungguh-sungguh menjalankan perannya dengan baik sebagai ulama yang diteladani umat. Lebih banyak diam. Pasti beliau berdoa dan itu memang tugas ulama.
Moderator Ira Koesno sangat bijak pada
akhir acara dengan meminta pasangan calon memberikan komentar penutup.
Berkali-kali Ira meminta agar komentar itu berisi hal yang positif untuk
mengapresiasi lawan. Tetapi Jokowi tak melakukannya padahal waktunya tersisa.
Ketika diminta lagi oleh Ira agar memberikan apresiasi kepada lawan debat,
Jokowi menjawab: “cukup”. Di kubu sebelah apresiasi juga tak muncul. Mungkin
masalahnya bukan takut memuji lawan --
sesuatu yang bisa dikatagorikan mengakui kalah di republik ini – tetapi lebih
pada dugaan, hal itu tak ada dalam teks yang sudah dihafal.
Ini baru debat yang pertama. Masih ada
empat debat yang akan menghibur lagi. Mari kita usulkan bagaimana kalau panelis
difungsikan sedikit, misalnya, memberi pertanyaan langsung dan mengomentari
jawaban yang ada, tentu tetap dibatasi waktunya. Pertanyaan tak perlu
dibocorkan sehingga jawabannya murni dari calon, bukan dibahas berhari-hari
oleh tim sukses. Bukankah kita mencari presiden dan bukan mencari tim sukses?
Jika para calon ada yang menjawab dengan tergagap-gagap atau sok lantang tapi
salah fokus atau malah tak bisa menjawab, itu akan menjadi hiburan buat seluruh
rakyat. Sama sekali ini bukan memojokkan calon – seperti yang ditakutkan KPU –
tetapi lebih pada pembelajaran calon presiden dan calon wakil presiden.
Bukankah lebih baik buruk pada saat debat dibandingkan tetap buruk selama 5
tahun menjabat?
(Koran Tempo 19 Jnuari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar