Putu Setia |
@mpujayaprema
ANANG Hermansyah bermaksud baik. Politisi yang penyanyi ini
merasa heran kenapa penyanyi luar negeri bisa kaya raya, sementara penyanyi
Nusantara nasibnya tak sebaik itu. Apalagi pemusik tradisional, ibarat tersisih
dari gemerlapnya dunia hiburan. Sebagai anggota dewan yang membidangi masalah
pendidikan dan budaya, Anang pun bersama kawan-kawannya berinisiatif membuat
Rancangan Undang-Undang Permusikan.
Anang seperti bergerak dalam diam, tak merasa perlu melibatkan
pemusik lain. Sampailah pada saatnya rancangan itu berupa draf dan dibawa ke
sidang DPR. RUU Permusikan itu pun langsung dijadikan prioritas dalam
pembahasan DPR, maklum inisiatif dewan. Wakil rakyat kita seperti lupa banyak rancangan
undang-undang yang terlantar di Senayan gara-gara mereka jarang bersidang.
Jagad musik juga geger. Kok ya ada ide membuat undang-undang
tentang musik? Bagaimana dengan dunia sastra, teater, seni rupa, pedalangan dan
seterusnya? Apakah nasib sastrawan dan dramawan Nusantara tak ikut
diperhatikan? Apakah semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan
undang-undang?
Saya ingat sebuah kisah di kampung, puluhan tahun lalu. Dalam
rapat desa ada yang mengusulkan membuat awig-awig
– ini semacam undang-undang yang berlaku di sebuah desa adat – yang mengatur
soal kencing. Dalam bahasa sekarang, bolehlah disebut RUU Perkencingan. Alasan
atau sebut saja “naskah akademik” dari aturan itu adalah keprihatinan tentang
orang yang masih kencing sembarangan. Bahkan ibu-ibu kencing berdiri di
sembarang tempat di pinggir jalan dengan hanya menyingsingkan sedikit kainnya. Memprihatinkan.
Karena itu harus diatur di mana boleh kencing, bagaimana posisi kencing, dan
seterusnya. Yang melanggar didenda.
Syukurlah awig-awig
perkencingan tak jadi dibuat. Zaman berubah, urusan selesai dengan imbauan
kepala desa menjaga kebersihan dan tata krama. Bayangkan kalau soal kencing
diatur secara formal, bisa merembet membuat aturan bagaimana cara makan, apa
boleh pakai tangan kiri atau tidak, apa harus duduk atau boleh berdiri, apa
nasinya boleh bersisa di piring atau tidak.
Jika RUU Permusikan dianggap perlu, jangan-jangan RUU Perpuisian
lebih penting. Belakangan ini ada puisi bermasalah menjurus ke soal suku ras
dan antar golongan, bahkan disebut menista ulama. Haruskah dibuat pasal-pasal
yang mengaturnya seperti halnya RUU Permusikan? Misalnya, penyair harus
berkelakuan baik, punya sertifikat kepenyairan, tidak menjadi partisan partai
politik. Banyak hal bisa diatur, termasuk di mana puisi itu harus dibaca,
bolehkah saat talk show di televisi.
Jika bermaksud mengangkat harkat dan kesejahtraan musisi ada
banyak cara tak harus undang-undang tersendiri. Masukkan masalah itu ke
undang-undang yang sudah ada. Ada undang-undang tentang hak cipta yang di
dalamnya mengatur masalah royalti, pembajakan, dan seterusnya. Ada UU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, ada UU Pemajuan Kebudayaan, mau
undang-undang apa lagi. Boro-boro bikin undang-undang baru, revisi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana saja tak rampung-rampung. Coba lihat tunggakan
rancangan undang-undang yang harus dikerjakan DPR, lebih mengenaskan.
Jangan-jangan malah perlu ada RUU tentang Percepatan Membahas Undang-undang.
Gelombang penolakan RUU Permusikan sudah meluas. Ada
ratusan ribu yang tanda tangan petisi menolak rancangan ini. Kalau undang-undang
ini serius mau dibahas memang keterlaluan. Tapi kalau sekadar jadi pengalihan
isu dari kampanye capres yang makin ngawur, bolehlah kita ramaikan.
(Koran Tempo Akhir Pekan 9 Februari 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar