Putu Setia | @mpujayaprema
Ada yang cemas dengan situasi yang terjadi saat ini
gara-gara pemilihan presiden yang akan berlangsung bulan depan. Pemilihan umum
itu sejatinya tak cuma memilih pasangan presiden dan wakil presiden, tetapi
juga anggota DPR, DPRD dan Dewan Perwakilan Daerah. Tapi pemilihan wakil rakyat
ini tenggelam oleh hiruk-pikuk pemilihan presiden yang calonnya cuma dua. Tidak
ada calon alternatif. Tidak memilih alias golput, bisa disebut bodoh oleh Romo
Magnis Suseno, rohaniawan yang filsuf.
Kecemasan adanya perpecahan dalam masyarakat disebabkan
oleh calon presiden yang melakukan pertandingan ulang. Dalam tanding ulang ini
calon presiden hanya mengganti calon wakilnya. Jadi, pendukung fanatik mereka
sudah ada sejak lima tahun lalu.
Para pencemas menyebut perpecahan ini sudah keterlaluan.
Bahkan disebut tidak waras. Kebencian, caci maki, fitnah, saling menuduh
bohong, berhamburan setiap hari. Para budayawan yang terhimpun dalam Mufakat
Budaya Indonesia, salah satu kelompok yang cemas, sampai perlu mengeluarkan
pernyataan tentang dikhianatinya nilai-nilai kemanusiaan oleh kedua kubu yang
bertarung. Mereka menyerukan menghentikan praktik diskursif, ujaran dan
tindakan yang berpotensi merusak dan membusukkan tata hubungan sosial kultural
masyarakat Indonesia yang sudah susah payah dibangun oleh leluhur kita bersama.
Para budayawan ini meminta tidak menjadikan kontestasi politik sebagai ajang
pertempuran di antara kekuatan yang semata dihela oleh nafsu meraih kekuasaan
temporer.
Apakah Anda ikut cemas? Mungkin ya, jika Anda penonton
televisi berita yang rajin, pembaca media atau online yang setia, apalagi orang
yang tak bisa lepas dari gadget untuk terhubung ke media sosial. Di situ memang
awal tersajinya segala kecemasan akan rusaknya persatuan bangsa. Namun kalau
Anda sedikit saja mau cuek, misalnya, memilih televisi yang isinya sinteron
melulu, barangkali kecemasan itu berkurang. Apalagi di media sosial hanya
berteman dengan orang yang suka membuat status buah-buahan atau memuji anak
cucu, Anda sedikit selamat. Media massa dan media sosial dengan segala dalihnya
adalah sumber ampuh menyebarkan perseteruan di kedua kubu. Tentu dengan
keberpihakan kepada salah satu kubu, diakui atau pun tidak.
Kalau Anda sedikit mau piknik ke pedesaan, mungkin pula tingkat
kecemasan Anda berkurang tentang rontoknya persatuan bangsa. Pedesaan kita
tenang karena para wong cilik sudah jenuh dengan pemilihan yang terlalu banyak,
sejak ada pilkada. Masyarakat juga mulai cerdas, tak merasa perlu menjagokan
tokohnya sampai ribut-ribut dengan tetangga. Juga taraf hidup mulai membaik
sehingga tak tergiur kaos gratis dengan cara ikut kampanye. Di pedesaan yang
minoritas muslim keadaan lebih tenang lagi, karena pemilihan presiden ini lebih
banyak “urusan umat Islam”. Sebanyak 80 persen lebih pemilih tetap adalah
muslim.
Saya juga cemas. Tapi saya mencemaskan orang-orang pintar
yang menjadi provokator rusaknya persatuan kita. Mereka itu elit-elit politik
yang kini memegang jabatan penting dan jadi selebritas. Ya, pimpinan DPR,
tokoh-tokoh partai, juga banyak akademisi. Cobalah telisik, siapa yang suka
mendungukan orang, siapa yang suka menuduh orang berbohong, siapa yang menyebarkan
fitnah. Mereka orang pintar di dua kubu. Saya tak bisa membayangkan bagaimana
kalau jagoannya kalah, apa mereka legowo menerima. Nanti, apabila pemilu usai
dan permusuhan masih tetap ada, para elit inilah biang keroknya. Ironis
sementara mereka kebanyakan digaji dengan uang rakyat.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 16 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar