Putu
Setia | @mpujayaprema
CALON
Wakil Presiden Sandiaga Uno
terpleset istilah di Bali. Saat kampanye dia mengemukakan idenya bahwa Bali
perlu mengembangkan wisata halal. Tujuannya menarik turis Timur Tengah yang
membawa fulus sangat besar, di atas Rp 3.000 triliun.
Kecaman pun berhamburan, maklum ini tahun politik. Mari kita bedah
dengan meniadakan urusan politiknya, supaya adem dan tak memaki. Mungkin
Sandiaga Uno tak tahu kenapa label halal untuk wisata Bali sejak lama ditolak.
Tokoh muslim etnis Madura, Mohammad
Bakkri, yang berpuluh tahun
tinggal di Bali, menyebut Sandiaga seperti menuduh wisata di Bali itu belum
halal sehingga perlu dihalalkan. Bakkrie bertanya, yang belum halal itu apa?
Semua hotel besar di Bali termasuk hotel melati di perkotaan memberi tanda
kiblat di kamar.
Makanan halal pun tak masalah. Jangankan di hotel, di jalanan
pun amat gampang mencarinya. Di setiap pojok jalan bertebaran “warung muslim”
dengan balihonya yang mencolok. Jangan-jangan cuma di Bali ada “warung muslim”,
apa di daerah lain ada?
Masjid pun semakin banyak di Bali. Mushola dengan mudah ditemui
bahkan Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum (SPBU) hampir semuanya punya mushola.
Memang, di obyek wisata yang merupakan pusat kegiatan umat Hindu bersembahyang,
seperti pura besar yang banyak didatangi wisatawan, tidak ada masjid. Wisatawan
yang mau berhalal-halal semestinya mengatur sendiri jadwal kunjungannya ke
obyek wisata religius itu.
Nah, di sini masalahnya kenapa wisata halal itu ditolak.
Pariwisata di Bali sudah ditetapkan sebagai pariwisata budaya. Yang dijual
adalah budayanya. Ada pun budaya Bali itu terkait erat dengan ritual agama
Hindu. Awal-awalnya orang Bali tak apa-apa melakukan ritual dengan ditonton
orang banyak. Tapi belakangan sudah mulai ada kegelisahan, kenapa orang
melakukan ritual keagamaan kok ditonton? Mulai dirasakan bahwa wisatawan itu
mengganggu orang Bali dalam melakukan ritual. Cobalah Anda perhatikan bagaimana
turis berkerumun di depan pagar pura, bahkan ada yang memanjat tembok kalau tak
ada yang mengawasi, sementara orang Bali harus khusyuk bersembahyang. Kaum muda
Bali sudah mulai resah dan ingin menutup pura sebagai obyek wisata karena
memuja Tuhan itu seharusnya bukanlah tontonan. Dalam situasi begini orang
bicara soal wisata halal yang harus memanjakan turis itu dengan membangun
tempat ibadah mereka dekat pura, ya, tentu sangatlah ajaib.
Bali itu pulau kecil, penduduk semakin bertambah, ruang
melakukan ritual kebudayaan sudah mulai menyempit karena sarana untuk
memanjakan wisatawan semakin banyak dibangun. Ritual itu pun tak hanya di pura,
juga di jalan menuju kuburan atau ke pantai. Wisatawan banyak mengeluh jalanan
macet, boro-boro menambah wisatawan Timur Tengah yang mensyaratkan kehalalan.
Kubu Sandiaga menanggapi sinis penolakan wisata halal ini. Lalu
menyebut bagaimana Thailand dan Jepang, justru mengembangkan wisata halal. Ini
perbandingan yang tak cerdas, istilah Roky Gerung itu dungu. Thailand dan
Jepang itu negara, harusnya dibandingkan dengan Indonesia, bukan Bali.
Indonesia mengembangkan wisata halal tentu bagus, sudah dicoba di Lombok.
Banyuwangi, Aceh, Banten, monggo kembangkan
wisata halal. Kenapa harus Bali yang dilirik, di mana warganya melestarikan
budaya leluhur yang tidak mengenal istilah halal dan haram? Tanpa kehadiran
wisatawan Timur Tengah pun, Bali sudah padat. Arahkan saja turis Timur Tengah
itu ke Lombok. Lalu soal wisata halal kita bicara Indonesia, bukan bicara Bali.
Begitu saja kok repot.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 2 Maret 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar