Mpu
Jaya Prema
PEMILU
serentak yang pertama kali terjadi di negeri kita tinggal menunggu hari.
Kampanye terbuka sudah meriah setiap hari, meski pun fokusnya lebih banyak kepada
pemilihan pasangan presiden dan wakil presiden. Padahal pemilu serentak ini
harus juga memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, DPR, dan Dewan
Perwakilan Daerah. Ada lima surat suara yang harus dicoblos.
Secara
nasional terjadi dua kubu yang saling berseteru. Kubu Jokowi-Ma’ruf Amin dan
kubu Prabowo-Sandi. Dan kampanye yang sangat panjang ini oleh banyak pengamat
disebut sangat mengkhawatirkan bakal memecah persatuan bangsa. Apalagi
melihatkan pemuka-pemuka agama dengan saling klaim pengikut. Namun umumnya yang
mencuat ke permukaan adalah rebutan umat Islam sebagai pemilih yang sangat
besar secara nasional.
Agama
dan politik memang tak bisa dipisahkan. Di negeri mana pun masalah politik
biasa menyeret masalah agama. Bahkan ajaran agama di bawa-bawa ke ranah
politik, entah karena tokoh agama itu sendiri adalah juga tokoh politik, atau
idiom agama itu sendiri dipakai oleh politik. Ka’bah, misalnya, bangunan yang
menjadi titik sentral di tanah suci umat Islam itu dipakai lambang Partai
Persatuan Pembangunan (PPP) di Indonesia. Di negeri barat pun partai yang
berazaskan agama merupakan hal yang biasa.
Apakah
agama Hindu juga terlibat di dalam partai politik? Atau pertanyaan lain, apakah
boleh mempergunakan nama Hindu sebagai agama dalam kehidupan hiruk-pikuk
politik? Tentu saja tak ada larangan. Di India, di mana kitab suci Hindu
diwahyukan, ada partai politik yang berazaskan Hindu, bahkan merupakan partai
yang pernah memimpin negeri itu, yakni Partai Bharatiya Janata. Silih berganti
partai ini berkuasa dengan Partai Kongres.
Cuma
saja tidak menjadi keharusan di sebuah negara yang ada umat Hindu harus ada
partai Hindu. Tidak juga kemudian dijadikan doktrin bahwa Hindu sebagai agama
harus berpolitik seperti halnya tak ada gunanya menyebutkan bahwa Hindu sebagai
agama harus dipisahkan dari politik. Biarkan semua itu terjadi karena budaya
lokal termasuk kearifan masyarakat dalam menyikapi apakah kita ikut arus
politik membawa agama atau tidak. Dan sikap kita itu bisa saja dituangkan dalam
kesepakatan bersama. Semuanya sah-sa saja.
Dalam
kaitan dengan umat Hindu di Nusantara, khususnya di Bali, kita mengalami pasang
surut. Pada awal-awal pemerintahan Orde Baru, pernah majelis tinggi yakni
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dimasukkan ke dalam Sekber Golkar. Waktu
itu Golongan Karya (Golkar) bukan sebagai partai politik. Selama Orde Baru jika
ada pemilu, umat Hindu digiring untuk memilih Golongan Karya. Bahkan umat di
pedesaan tak jarang diajak ke sebuah pura untuk menyatakan kebulatan tekad
memilih Golkar.
Sekarang
Golkar sudah menjadi partai politik, setara dengan partai politik lainnya.
Tentu saja, PHDI pun tak mau lagi dimasuk-masukkan ke dalam Golkar, meski pun
secara pribadi ada yang aktif di partai. Belakangan malah terjadi pemisahan
yang jelas antara majelis agama Hindu dengan partai politik. Itu ditandai
dengan lahirnya Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PHDI yang tidak
membolehkan pengurusnya merangkap sebagai pengurus partai politik. Ini artinya
memang ada kesepakatan yang memisahkan antara kegiatan politik dengan kegiatan
keagamaan.
Pemisahan
antara politik dan agama dalam kasus umat Hindu di Indonesia agaknya menjadi
“bagian yang tak tertulis” dengan adanya kenyataan tidak ada partai politik
yang berazaskan Hindu di negeri kita ini. Beda dengan di benua India, misalnya.
Memang dulu ketika reformasi baru saja dimulai, ada keinginan sejumlah orang
untuk mendirikan partai berazas Hindu, meski namanya tak harus memakai Hindu.
Misalnya, Partai Sanata Dharma Indonesia. Namun rencana itu tetap dalam ranah
rencana karena tak mendapat sambutan apa pun. Bahkan ormas Hindu seperti
Prajanithi Hindu Indonesia boleh disebutkan tidak laku di kalangan umat Hindu.
Kenapa? Karena dulu ormas Hindu ini dianggap sayap dari Golkar meski pun kini
sudah merupakan ormas Hindu yang independen.
Lalu
apa sikap Hindu sebagai agama dan sikap majelis agama Hindu dalam mengayomi
umatnya? PHDI pernah merumuskan sikap itu dengan menyebutkan istilah Dharma
Agama dan Dharma Negara. Dharma Agama adalah mengayomi dan memberikan dorongan
yang besar kepada umat dalam melaksanakan ajaran agamanya, termasuk ritual
keagamaan yang ada. Sedangkan Dharma Agama adalah umat Hindu setia kepada
negara dan bangsa serta mendukung siapa pun pemimpinnya yang dipilih secara
demokratis. Tidak ada penggalangan massa atas nama majelis agama atau ormas
agama untuk memilih pemimpin sebagai pejabat publik yang terkait dengan
politik. Memang muncul riak-riak kecil. Misalnya, masih ada penggiringan massa
jika ada pilkada yang memilih bupati atau gubernur. Masih ada krama adat yang
seolah-olah mewakili seluruh warga desa adat untuk menyatakan sikap mendukung
salah satu calon bupati atau calon gubernur.
Nah,
dalam kaitan dengan pemilu serentak saat ini, yang lebih banyak fokusnya pada
pemilihan presiden dan wakil presiden, terjadi perseteruan yang banyak
dicemaskan orang akan pecahnya persatuan bangsa, karena masalah agama
dibawa-bawa. Namun kita sangat bersyukur, agama Hindu dan umat Hindu tidak ikut
terseret arus dalam perseteruan itu. Tak ada, misalnya, penggalangan massa
secara mencolok untuk menyatakan kebulatan tekad mendukung calon nomor 01 mau
pun calon nomor 02. Apalagi sampai digiring ke pura untuk melakukan sumpah.
Pemilu yang tinggal 17 hari ini semoga tidak dicemarkan oleh penggalangan
dukungan yang membawa-bawa agama Hindu, apalagi sampai kebulatan itu
dilangsungkan di pura. Para tokoh umat dan tokoh partai harus menjaga hal ini
sehingga umat Hindu tetap cerdas dalam berpolitik.
Kalau
kita bisa menjaga hal ini sampai pencoblosan dan bahkan sampai penetapan siapa
pemenang pemilu serentak ini, maka tentu saja ini menggembirakan. Semoga umat
Hindu damai dengan perbedaan ini dan tidak ikut-ikutan pecah hanya gara-gara
pemilu. Astungkara. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar