Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda
PROGRAM Nangun Sad Kerthi Loka Bali yang
dikumandangkan Gubernur Bali Wayan Koster juga mencakup urusan berbusana.
Bahkan sudah ada pergub yang mewajibkan umat Hindu di Bali mengenakan busana
adat pada hari Kamis. Terutama untuk anak-anak didik di sekolah dan pegawai
negeri dan swasta. Meski pun tak dirinci busana adat dengan peruntukannya,
apakah untuk bekerja, untuk bergotong-royong atau malah untuk bersembahyang,
umat umumnya tahu busana seperti apa yang dikenakannya.
Bagaimana kalau busana bersembahyang ke pura? Harus
dijelaskan dulu, ke pura tentu berbeda dengan ke mandir atau ke kuil atau
tempat persembahyangan umat Hindu lainnya. Karena ada budaya yang berbeda meski
pun agamanya sama, Hindu. Masalahnya dalam ajaran Hindu tidak secara rinci
diatur bagaimana pakaian kita dalam bersembahyang, semuanya diserahkan kepada
budaya setempat.
Jadi berbusana dalam ajaran Hindu lebih dikaitkan dengan
etika dan tata karma setempat. Etika itulah yang
kemudian dicarikan rujukan dalam ajaran agama yang disesuaikan dengan budaya
masing-masing.
Bersembahyang adalah menyerahkan diri kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Karena Hyang Widhi begitu suci, maka badan kasar dan pikiran
kita juga harus suci, supaya nyambung. Maka pakailah pakaian yang bersih.
Pikiran hanya tertuju kepada Hyang Widhi, maka perlu dikekang agar pikiran tidak
mengembara ke mana-mana. Leluhur kita di Bali menciptakan simbol pengekangan
itu berupa destar atau udeng untuk lelaki.
Destar pun dibagi antara destar untuk orang kebanyakan yang belum ekajati (masih walaka) dan destar
yang dipakai ekajati (pemangku). Destar walaka terbuka di bagian atas, destar pemangku tertutup penuh sebagai
pertanda bahwa pengekangan pikiran itu haruslah lebih sempurna. Kalau meningkat
menjadi pemangku gede atau jero gede, rambut digelung ke belakang dan diikat
genitri. Dan jika sudah menjadi sulinggih, gelungan berada di atas, juga diikat
genitri. Artinya, dalam keseharian pun seorang sulinggih harus tetap suci,
meski tidak menjalankan ritual yadnya.
Bagaimana yang perempuan? Rambut diikat berbentuk
sanggul atau di Bali disebut mepusungan. Leluhur kita di Bali bahkan
menciptakan budaya mepusungan yang berbeda antara dahasari
(gadis), wanita dewasa dan untuk sulinggih istri.
Pengekangan pikiran ini bagian dari ajaran Trikaya
Parisudha. Perkataan dikekang, simbolnya adalah kalung di leher. Sekarang banyak yang
memakai kalung genitri. Bagaimana simbol mengekang perbuatan? Ada gelang di
tangan. Ini bisa berfungsi sebagai perhiasan, tetapi bisa pula hanya sebatas
simbol, misalnya, gelang benang. Apalagi benang tridatu (tiga warna). Sedangkan di pinggang melilit anteng (disebut juga selempod).
Itulah simbol-simbol pengekangan pikiran, perkataan
dan perbuatan dalam bentuk busana saat persembahyangan.
Perubahan terjadi seiring dengan pengaruh kebudayaan
global. Jika dulu terbatas pada pakaian yang bersih, sekarang mulai ke masalah
warna. Putih dan kuning dianggap simbol
suci. Dulu, destar kebanyakan dari kain
batik dan baju pun warna-warni. Hanya pemangku yang memakai destar putih. Sekarang anak kecil pun memakai
destar putih. Begitu pula baju, banyak
yang ke pura memakai baju putih. Modelnya pun safari.
Model safari ini pengaruh kebudayaan global dan fungsional.
Kantongnya banyak untuk menaruh dompet, kunci mobil, handphone, dan
sebagainya. Dulu tidak ada kebutuhan seperti itu. Akibatnya, anteng
(selempod) ada di dalam baju safari. Ada beberapa orang masih fanatik
yang sampai sekarang kalaupun memakai baju safari tetap anteng di
luar. Alasannya, mengekang prilaku itu tak bisa setengah-setengah.
Yang perlu dipersoalkan adalah bahan busana yang
keblablasan mengikuti mode. Banyak ibu-ibu yang memakai kebaya tembus pandang
alias memakai kain brokat, termasuk belahan dada yang lebar dan lengan kebaya hanya sampai
siku. Busana para artis ini
diadopsi oleh wanita Bali untuk pakaian persembahyangan. Uniknya, para ibu-ibu
pedesaan pun ikutan “demam brokat” tanpa peduli bagaimana bentuk tubuhnya,
bahkan tanpa peduli bagaimana kutang yang dipakainya.
Mari kita berpakaian dengan mematuhi etika dan tata
krama. Kalau kita menghadiri resepsi perkawinan, upacara potong gigi, dan
sebagainya, bolehlah berpakaian merangsang dan perhiasan mahal-mahal. Tetapi
jika ke pura, untuk apa memamerkan bentuk tubuh dan emas berlian di hadapan
Tuhan Yang Maha Kaya? Sembahyang itu bukan pamer busana. Konsep Sad Kerthi secara utuh perlu disosialisasikan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar