Mpu Jaya Prema
PEKAN Kesenian Bali sudah dibuka. Ini PKB yang ke 41 dengan gubernur Bali
yang baru, I Wayan Koster. Sebagaimana biasanya ada pejabat baru, maka berbagai
istilah baru pun dimunculkan. Ini sesuatu yang wajar untuk mencitrakan ada
gebrakan. Bahkan PKB pun akan ada nuansa baru yang dijanjikan. Kita sebaiknya
menunggu apa saja yang terjadi selama sebulan pelaksanaan PKB ini.
Istilah baru yang sering sekali kita dengar selama ini adalah Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Hampir di
setiap kesempatan, apakah itu membicarakan soal desa adat, bicara soal
pembangunan, bicara soal sampah plastik, istilah Nangun Sat Kerthi Loka Bali pasti disebut-sebut oleh Gubernur Wayan
Koster. Termasuk soal PKB ini. Dulu, gubernur sebelumnya Made Mangku Pastika
juga melahirkan istilah Bali Mandara dan di setiap kesempatan istilah Bali
Mandara juga disebut-sebut. Memang begitulah umumnya pemimpin kita, suka
melahirkan istilah yang tidak selalu tepat jika dicarikan arti yang sebenarnya.
Apa roh baru di dalam PKB ini? Memang secara kasat mata sudah nampak ada
perubahan, baik berupa kebijakan dalam pengelolaan PKB mau pun dalam konsepnya.
Apakah perubahan itu baik atau biasa-biasa saja, waktu yang akan menjawabnya,
setidaknya selama sebulan PKB ini.
Perubahan paling nyata adalah pada pawai PKB yang berlangsung Sabtu lalu.
Lebih sederhana dan simple dari PKB sebelumnya. Waktu yang dihabiskan juga
tidak begitu lama, barangkali menyesuaikan dengan cara kerja Presiden Jokowi
yang memang tak suka berlama-lama dalam urusan seperti ini. Bahkan Jokowi pun
tidak hadir pada pembukaan PKB di Taman Budaya malam harinya.
Pawai PKB waktunya lebih pendek dan acara pawai kontingen dari berbagai
kabupaten/kota tergolong padat. Ini justru menarik karena fokus berbicara masalah
kesenian. Tidak ada lagi atau setidaknya dikurangi hal-hal yang berbau ritual
agama Hindu. Dulu sering kali pawai PKB ada sekelompok ibu-ibu mengusung gebogan, misalnya. Atau ada seni sakral
yang tampil. Orang jadi bingung, terutama yang bukan beragama Hindu, ini pawai
kesenian atau pawai keagamaan? Belum lagi muncul pertanyaan kenapa ritual agama
Hindu justru dijadikan tontonan bukan lagi semata-mata persembahan kepada
Tuhan? Nah, siapa pun yang punya konsep PKB kali ini, apakah itu Gubernur Wayan
Koster atau Kepala Dinas Kebudayaan I Wayan “Kun” Adnyana, kita patut acungi
jempol.
Banyak yang akan berubah di PKB ini. Hajatan setelah PKB berakhir,
misalnya, tidak lagi ada apa yang disebut Bali Mandara Mahalango. Kegiatan yang
dimaksudkan sebagai tambahan agar para seniman punya pentas lebih panjang ini
akan dihilangkan. Padahal Bali Mandara Mahalango bisa berlangsung 48 hari
lamanya, lebih panjang dari PKB itu sendiri. Memang isinya hanya pementasan
seni, tidak ada lagi pameran seni mau pun “pasar malam” sebagaimana di saat
PKB.
Kalau
Bali Mandara Mahalango dihilangkan, apalagi Bali Mandara Nawanatya, sudah pasti
akan dihilangkan pula. Bali Mandara Nawanatya ini adalah pentas akhir pekan
yang memberi kesempatan kepada seniman kontemporer untuk unjuk kreasi.
Karya-karya seni kontemporer dan seni inovatif dipanggungkan di acara ini
setiap akhir pekan, Jumat dan Sabtu. Karena itu acara ini juga sering disebut
Gelar Seni Akhir Pekan (GSAP).
Kalau
kedua acara setelah PKB itu hilang, lalu di mana para seniman kontemporer dan
seni inovatif akan mendapatkan panggung? Secara samar-samar Wayan Koster akan
memberikan tempat pada akhir tahun, namun belum jelas pula bagaimana format
acaranya.
Pembaruan
format PKB akan membuat selama sebulan ini banyak pentas seni akan berebutan
panggung. Lalu bagaimana menerapkan konsep awal PKB seperti yang dicanangkan
penggagas PKB Prof. Ida Bagus Mantra bahwa tujuan PKB adalah melestarikan seni
tradisi, meningkatkan mutu seni yang ada sehingga PKB menjadi ajang penampilan
puncak-puncak seni tari, selain melahirkan karya inovatif baru yang sifatnya
kontemporer? Pastilah akan ada yang tercecer. Selama ini yang paling tercecer
dan hampir gagal adalah pelestarian seni tradisi itu sendiri. Lihatlah PKB yang
lalu-lalu. Berapa kali seni tradisi yang mulai kehilangan pendukung itu coba
dilestarikan, namun tak semuanya berhasil. Gambuh, wayang wong, janger, arja
setiap tahun ada pembinaan namun tak pernah berhasil dilestarikan dalam arti
kembali mendapat dukungan masyarakat. Bahkan topeng, wayang kulit dan drama gong pun nyaris kehilangan
nilai-nilai artistik tradisinya. Topeng yang masih laku sekarang ini adalah bondres
alias lulucon, begitu pula drama gong. Bahkan wayang kulit yang setiap ada PKB
selalu ada parade wayang kulit anak-anak, tetap saja tak menarik lagi buat
masyarakat. Yang ada hanya wayang Cenkblong dan sekarang ini pun wayang
Cenkblong sudah lari ke Channel YouTube untuk mengobral kelucuannya.
Namun
tentu bukan salah pelaku kesenian itu. Yang salah adalah “angin modernisasi”
yang melanda dunia ini termasuk Bali. Generasi milenial lebih suka segala
bentuk seni yang bisa ditonton lewat hape atau tablet mereka. Dan kesenian yang
ada di dunia maya itu luar biasa ragamnya, tinggal diklik sudah bisa ditonton
sambil tiduran di rumah. Tidak dibutuhkan lagi pergi ke gedung pertunjukan. Ini
pula yang bisa menjelaskan kenapa wayang Cenkblong kini lebih gencar melakukan
pentas lelucon lewat YouTube. Penontonnya lebih besar.
Nah
yang menarik dalam situasi seperti ini Gubernur Wayan Koster ingin menghidupkan
kembali sekaa sebunan. Itu diucapkan
dalam sambutan membuka PKB di Taman Budaya Sabtu malam hari. Menurut Koster,
kesenian yang lahir dari sekaa sebunan
ini akan dibina dalam kaitannya juga memberdayakan desa adat. Lagi-lagi
dikaitkan dengan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali melalui Pola Pembangunan Semesta
Berencana Menuju Bali era baru. Apakah mungkin sekaa sebunan akan bisa eksis di tengah masyarakat yang pola
keterikatan sosialnya sudah berubah. Bukankah sudah lama konsep sanggar lebih
disukai oleh masyarakat Bali saat ini?
Roh PKB yang baru akan kelihatan beberapa bulan lagi, apakah
berhasil membawa kebaikan untuk kesenian di Bali atau harus terus diperbarui
konsepnya. Bayu Premana sebagai tema
PKB tahun ini akan menjawabnya, apakah angin yang berembus itu angin yang
memberi kehidupan atau justru angin puting beliung yang merobohkan sendi-sendi
seni tradisi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar