Beredar nama-nama menteri kabinet Jokowi-Ma’ruf di media masa. Ada yang serius, ada yang becanda dan banyak yang satire. Memang orang bebas membuat daftar para menteri sesukanya, mematutkan dengan sinyal yang disampaikan Jokowi.
Misalnya Jokowi ingin menterinya dari kalangan muda. Jika dia perempuan ada syarat tambahan: cantik. Latar belakang berimbang antara partai politik dan profesional. Kali ini Jokowi tak lagi berucap bahwa dia tidak akan bagi-bagi kursi ke partai pendukungnya, seperti yang dikatakannya pada periode pertama, 2014. Maklum janji itu sulit dilaksanakan.
Pimpinan partai koalisi Jokowi sudah melakukan manuver. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, mengaku menyiapkan 20 kader calon menteri. Targetnya 10 menteri lolos plus dia sendiri mendapat jabatan Ketua MPR karena ogah jadi menteri lagi. Partai Nasdem membalas, kalau PKB minta 10 menteri maka Nasdem tentu boleh 11 menteri. Alasannya anggota DPR dari Nasdem nanti akan lebih banyak dari PKB meski pun suara yang dikumpulkan PKB di atas Nasdem.
Bagaimana PDI Perjuangan? Puan Maharani, calon kuat Ketua DPR mendatang, berharap partainya yang paling banyak dapat jatah menteri sebagai pemenang pemilu. Jika begitu dari 34 pos menteri, berapa jatah yang tersisa untuk Golkar dan PPP? Apalagi jika Partai Demokrat bergabung tentulah Jokowi harus membalas “niat baik” itu. Akan halnya PAN yang rekam jejaknya buruk selama periode pertama pemerintahan Jokowi, barangkali tak menjadi perhatian benar. Jokowi lebih senang melirik Gerindra meski bergabungnya partai pimpinan Prabowo itu sangatlah kecil.
Kabinet bisa penuh kader parpol. Terus dari mana diambilkan jatah profesional? Suka atau tidak, Jokowi harus menolak jatah-jatahan versi partai koalisi ini. Kecuali Jokowi mau menambah pos menteri dengan dalih menampung keinginan partai dan memberi ruang bagi para pofesional ikut memimpin bangsa. Penambahan pos menteri itu pun mulai diwacanakan oleh para pemimpin partai. Misalnya, Bambang Soesatyo, politisi Golkar yang kini Ketua DPR, mengusulkan ada Kementrian Kebahagiaan dan Toleransi. Becanda? Tidak, Bambang serius. Dia menyebut di Uni Emirat Arab kementrian itu sudah ada dan dia lalu bertanya, bukankah kebahagiaan masyarakat itu adalah tujuan bangsa? Luar biasa. Jika Jokowi tertarik mungkin akan ada usul tambahan, misalnya, Kementrian Urusan Sampah Plastik, Kementrian Reklamasi dan seterusnya.
Padahal sejumlah pengamat menyebutkan, kementrian di Indonesia itu terlalu banyak dan perlu diciutkan. Di Amerika Serikat kementrian dan badan setingkat menteri hanya ada 14 buah. Di Jerman sedikit lebih banyak, 16 buah. Christianto Wibisono pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia mengusulkan agar kementrian cukup 17 buah. Beberapa kementrian bisa digabung.
Kita pernah punya kementrian (saat bernama departemen) yang menggabungkan beberapa pos. Perhubungan digabung dengan pariwisata. Perindustrian digabung dengan perdagangan dan urusan BUMN. Ada yang populer Departemen TKTK gabungan dari Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi. Olahraga masuk ke dalam Pendidikan dan Kebudayaan. Urusan desa dipusatkan di Dalam Negeri.
Penciutan kementrian tentu berdampak menghemat anggaran negara. Persoalannya apakah ini jadi perhatian Jokowi-Ma’ruf? Boro-boro mengurangi kementrian, Jokowi justru dipusingkan untuk menampung kader partai pendukungnya. Presiden memang punya hak perogratif memilih menteri, namun presiden perlu balas jasa kepada partai, karena hanya partai yang bisa mencalonkannya.
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 6 Juli 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar