Putu Setia | @mpujayaprema
Menarik sekali menonton audisi calon menteri kabinet Joko Widodo jilid II
yang digelar di Istana Negara. Saya tak beranjak dari televisi hanya untuk
memuaskan hasrat bermain tebak-tebakan. Ketika Mahfud MD keluar dari ruang
audisi dan menceritakan hasilnya, saya menebaknya ia bakal menjadi Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Ini adegan pembuka. Semua calon menteri dilarang mengumumkan
penunjukan ia ditugaskan di mana. Inilah kelebihan Presiden Jokowi yang membuat
penonton tetap penasaran.
Belakangan muncul Yasonna Laoly dan tebakan saya soal Mahfud pun harus
direvisi. Yasonna pasti kembali ke habitatnya sebagai Menhukham. Kini tebakan
saya menjadikan Mahfud sebagai Menteri Agama. Alasannya, Menteri Agama lazim
dari NU. Apalagi diperkuat dengan munculnya Muhajir Effendy, yang saya tebak pasti
tetap sebagai Mendikbud. Sudah jadi rahasia umum, jatah NU ada di Kemenag dan
jatah Muhamadiyah di Kemendikbud.
Audisi bak sinetron terus berputar. Jenderal (purnawirawan) Fachrul Razi
muncul di layar. Tebakan saya, sang jenderal menjadi Menkopolhukam. Siapa lagi
yang bisa dijadikan atasan Prabowo Subianto yang sudah diplot sebagai Menteri
Pertahanan? Tak mungkin anak muda semacam Nadiem Makarim, pikir saya.
Esoknya, setelah semuanya jelas siapa menjadi apa, ternyata tebakan saya
semua meleset. Saya salah menggunakan pakem tradisional, karena itu, tebakan meleset.
Saya menduga Fachrul Razi enggan menjadi atasan Prabowo karena pernah “ada
kontak” di masa lalu. Lalu Fachrul dijadikan Menteri Agama, tukaran sama
Mahfud. Karena jatah NU hilang di Kemenag, supaya adil, jatah Muhammadiyah di
Kemendikbud juga harus hilang. Maka Muhajir dijadikan Menko. Lalu siapa menjadi
Mendikbud? Calon milenial Nadiem Makarim ditaruh di sana.
Kalau begitu, kabinet ini bukanlah soal siapa yang tepat menjadi apa, tetapi
kumpulkan nama dulu, lalu dicarikan tempatnya. Begitu dugaan saya. Apakah anak
muda 35 tahun seperti Nadiem bisa mengatasi problem pendidikan dan kebudayaan
dan tidakkah dia rikuh mengumpulkan ratusan rektor yang profesor sepuh sambil
memberi pengarahan soal radikalisme? Itu akan diuji kemudian. Apakah NU protes Menteri
Agama dari tentara, itu soal nanti. Kalau pun ada protes, biarlah kiai
meredakannya.
Imajinasi liar saya pun terus muncul. Pada saat-saat terakhir audisi, saya
membayangkan Jokowi capek, lalu ada yang membrondong pertanyaan: Kenapa menteri
perempuan sedikit? Kenapa menteri dari Bali belum ada? Kenapa jatah PDIP baru
empat, kan Mbak Mega emoh? Lalu Jokowi menjawab: “Oh, lupa. Ya sudah, carikan
calon menteri perempuan dari Bali yang mewakili PDIP. Tapi harus ada di Jakarta
saat ini, tidak bisa menunggu”. Orang di sekeliling Jokowi pun sibuk mencari.
Sulit dalam waktu kepepet. Yang ada cuma istri mantan Menteri Koperasi. Maka
jadilah Gusti Ayu Bintang Puspayoga sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, tanpa audisi.
Saya tertawa dengan imajinasi liar ini. Begitu gampangkah mencari calon
menteri? Tentu tidak. Jokowi dan Ma’ruf Amin sangat serius mencari pembantunya.
Nadiem sudah dipersiapkan matang. Fachrul Razi memang sejak awal diminta
menangkal radikalisme yang menyusup ke ranah agama. Namun jika hasilnya
mengecewakan orang, berbagai dugaan muncul. Padahal, harap dimaklumi,
pertimbangan mengangkat menteri itu banyak. Ada balas jasa politik, memperluas
dukungan, represensi kultural dan etnis, lalu tekanan dari partai pendukung. Belum
lagi pencitraan bahwa kabinet harus diisi kaum milenial. Jadi mari kita terima
apa adanya.
(Cari Angin 26 Oktober 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar