Putu Setia | @mpujayaprema
Istilah “radikal” menjadi kata yang menakutkan. Kabinet jilid 2 yang
dibentuk Presiden Joko Widodo menempatkan urusan radikal sebagai hal serius
yang harus diselesaikan. Tapi orang bisa liar mengartikan kata radikal itu.
Radikal sebagai perbuatan kriminal, radikal sebagai pemahaman keyakinan yang berbeda,
dan radikal sebagai bentuk ekspresi perbedaan pendapat, menjadi campur aduk.
Ada pernyataan sepuluh kampus di Indonesia terpapar radikalisme. Sebelum ada
pernyataan itu, bahkan hasil survei Badan
Intelijen Nasional menyatakan bahwa 39 persen mahasiswa di 15 provinsi terpapar
paham radikal. Ketika Wiranto, yang saat itu menjabat Menteri Kordinator Politik,
Hukum, dan Keamanan ditusuk seseorang di Banten, kasusnya dikaitkan dengan
radikalisme. Pelakunya kaum radikal yang tergabung dalam gerakan yang sudah
lama diintai aparat keamanan. Apakah itu berarti ribuan mahasiswa yang terpapar
radikalisme juga datang ke kampus membawa pisau? Atau orang yang datang ke
masjid membawa senjata tajam disebut sudah terpapar radikalisme? Presiden
Jokowi pun menempatkan seorang jenderal sebagai Menteri Agama untuk memangkas
radikalisme.
Radikal itu yang mana? Apakah pelaku kriminal serta merta bisa disebut
radikal? Apakah penceramah agama yang berbeda dengan penceramah yang lain tergolong
radikal? Apakah mahasiswa yang turun ke jalan menyalurkan pendapatnya bisa
disebut radikal? Perlu ada perumusan yang lebih jelas, sehingga jika ada bocah
berkelahi, tidak serta merta orang tuanya khawatir bahwa anaknya terpapar
radikalisme.
Di dalam kamus kata radikal tak selalu negatif. Ada arti yang menyebutkan
“maju dalam berpikir dan bertindak”. Radikal adalah serapan dari bahasa Belanda,
yaitu “radicaal”, yang artinya mendalam sampai ke akar-akarnya. Jadi, kalau ada
orang yang berpikir secara mendalam sampai ke akar permasalahan dan bertindak mewujudkan
pemikiran itu untuk kebaikan bangsa, bisa disebut kaum radikal.
Yang menarik, Jokowi tiba-tiba mengusulkan istilah baru sebagai pengganti
radikal. Mungkin Pak Jokowi mulai sadar kata radikal terlalu jauh digunakan.
Beliau mengusulkan radikalisme diganti “manipulator agama”. Dari pernyataan ini,
terkesan bahwa kehebohan radikal itu hanya urusan agama. Jangan-jangan memang
ini yang dimaksudkan sejak dulu. Jadi, kalau ada dosen yang menyiapkan bom
untuk mengacaukan negeri, lebih pas disebut teroris karena tujuannya membuat
teror.
Sejumlah budayawan dan tokoh adat Nusantara yang terhimpun dalam Mufakat
Budaya Indonesia (MBI) bertemu di Jakarta selama tiga hari sampai Kamis lalu.
Salah satu yang dibahas juga soal radikalisme. Mereka menemukan kenyataan bahwa
program
pemerintah dalam mencegah radikalisme fisik maupun mental dalam bentuk
kebijakan deradikalisasi, justru menciptakan represi yang mematikan daya kritis
maupun praktik-praktik ekspresional serta aktualisasi publik. Itu karena tidak
jelasnya rumusan apa yang dimaksudkan dengan radikalisme.
Solusi yang diberikan adalah pemerintah wajib
mengubah cara berpikir hingga pengambilan kebijakan dalam menghadapi
radikalisme, sehingga tidak lagi menerapkan program deradikalisasi yang justru
membunuh pikiran-pikiran kreatif dan inovatif. Artinya, pemerintah tidak boleh
merasa memiliki hak untuk mengendalikan pikiran dan gagasan. Biarkan radikalisme
yang mengarah pada masalah kriminal diproses secara hukum. Program deradikalisasi
yang membunuh daya nalar atau pikiran kritis publik diganti dengan pembukaan
ruang-ruang ekspresional dalam mengutarakan gagasan, baik secara intelektual
maupun mental.
(Cari Angin Koran Tempo 2 November 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar