Putu Setia |
@mpujayaprema
Airlangga Hartarto
terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golongan Karya pada Musyawarah Nasional
partai beringin itu secara aklamasi. Meski awalnya ada sembilan calon ketua
umum, menjelang Munas dibuka ramai-ramai para calon mengundurkan diri, termasuk
Bambang Soesatyo.
Munas pun disebut
sebagai hajatan partai yang paling adem. Pujian lalu datang dari segala arah.
Airlangga dipuji sebagai pemimpin yang tenang, Bambang dipuji sebagai pemimpin
yang legowo, Golkar dipuji sebagai partai yang sangat mengedepankan demokrasi,
memaknai musyawarah mufakat dengan benar.
Aklamasi artinya penetapan
dan tak ada pemilihan. Di era Orde Baru teknik aklamasi biasa disebut
“kesepakatan bulat”. Bahkan untuk memilih presiden dan wakilnya pun harus
dengan “kesepakatan bulat” tanpa pemilihan.
Hal yang menarik
dari era Orde Baru adalah di akar rumput, pemilihan tetap dilakukan meski
calonnya tunggal. Memilih kepala desa, misalnya. Bagaimana masyarakat memilih
kalau calonnya cuma satu? Panitia menyediakan “bumbung kosong”, yaitu tabung
bambu tanpa nama calon mendampingi tabung yang ada nama calonnya. Dipakai
tabung bambu karena masyarakat melakukan pemilihan dengan memasukkan butir
jagung. Belakangan setelah demokrasi semakin moderen dan digunakan kertas
sebagai sarana untuk memberikan pilihan maka istilah pun berganti menjadi “kotak
kosong”.
Kenapa harus
repot toh yang terpilih calon tunggal? Ini menyangkut harga diri. Sang calon
ingin tahu seberapa besar sesungguhnya dukungan yang ia terima dari masyarakat.
Masyarakat pemilih pun ingin menunjukkan bahwa sebenarnya kurang sreg dengan
calon yang ada, tapi tak mampu memunculkan calon lain. Ketidakmampuan
disebabkan banyak hal. Mungkin calon lain kekurangan dana untuk kampanye. Meski
pun di desa perlu ada kumpul-kumpul dengan suguhan pisang goreng. Mungkin pula
ada tekanan dari pihak kecamatan atau kabupaten.
Meski jarang
terjadi, “kotak kosong” pernah menjadi pemenang. Tidak ada yang merasa malu.
Beda dengan pemilihan bupati atau gubernur – ini cerita ketika pemilihan
dilakukan oleh DPRD. Agar tidak ditimpa malu jika calon tunggal kalah maka
dibuatlah calon pendamping. Calon yang ditunjuk asal-asalan.
Sekarang
partai-partai besar, PDI Perjuangan, Partai Nasdem, PKB dan kini Golkar, kembali
menerapkan “kesepakatan bulat” untuk memilih ketua umumnya. Tak ada lagi
pemilihan, semuanya ditetapkan. Betapa pun dinamika itu sesungguhnya ada di
daerah, semuanya bisa diredam dengan alasan persatuan dan keutuhan partai.
Bahkan Pancasila pun dibawa-bawa, aklamasi sesuai dengan sila ke-4, wujud dari
musyawarah mufakat. Padahal siapa yang bisa menjamin Airlangga Hartarto bisa
meraih sepenuhnya suara jika disandingkan dengan kotak kosong setelah Bambang
Soesatyo mendadak mengundurkan diri sebagai calon ketua umum?
Bayangkan
bagaimana sidang MPR nanti mengambil keputusan jika “kesepakatan bulat”
dipaksakan. Kalau ketua umum partai-partai besar sudah mengambil kesepakatan, lalu
pimpinan sidang meminta persetujuan kepada anggota MPR, apa ada anggota yang
berani bilang tak setuju? Apalagi persetujuan itu dilakukan secara terbuka. Sangat
mungkin itu terjadi karena sejak sekarang sudah dikondisikan bagaimana
suara-suara yang berbeda bisa dibuat menjadi musyawarah mufakat.
Maka, amandemen
UUD 1945 dengan pasal-pasal kontroversial seperti mengubah masa jabatan
presiden dan cara pemilihannya, bisa sah secara mulus. Sungguh ini langkah
mundur yang membayangi demokrasi Indonesia dengan dalih aklamasi. Jangan
dianggap receh.
(Koran Tempo 7 Desember 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar