Putu Setia | @mpujayaprema
Lazimnya terowongan itu untuk mengalirkan air jika
alur irigasi menambrak tebing. Tapi ada terowongan untuk kereta api. Yang
banyak terowongan untuk mobil yang biasa disebut underpass. Tiba-tiba ada
terowongan silaturahmi.
Namanya unik. Karena itu, banyak orang tertarik
nimbrung. Sejatinya terowongan ini hanya untuk pejalan kaki yang menghubungkan
Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral di Jakarta. Andai tanpa embel-embel
silaturahmi maka proyek itu biasa-biasa saja. Mempermudah orang ke Masjid
Istiqlal jika mobilnya parkir di Gereja Katedral. Atau sebaliknya. Jika pun ada
komentar paling soal pengerjaannya yang harus memperhitungkan hujan deras.
Jangan sampai terowongan ini kena banjir seperti terowongan (underpass)
di Kemayoran.
Masalahnya, terowongan ini diniatkan sebagai simbul
kerukunan umat beragama. Umat Nasrani memarkir mobilnya di masjid dan masuk ke
terowongan menuju gereja. Umat Islam juga begitu, memarkir mobilnya di gereja
dan masuk terowongan menuju masjid. Saling meminjam tempat parkir ini tentu
pada hari-hari raya besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Adha untuk
umat muslim, serta Natal untuk umat Nasrani. Hari raya keagamaan umat Islam dan
Nasrani, seperti kita ketahui, memakai perhitungan kalender yang berbeda, yang
satu berdasarkan peredaran bulan dan lainnya peredaran matahari. Kemungkinan
hari raya bersamaan itu bisa saja terjadi, tetapi pastilah teramat langka.
Lalu, kapan umat Islam dan Nasrani bersilaturahmi di dalam terowongan?
Oh, maaf. Silaturahmi ini juga simbol, bukan kasat
mata bahwa pak haji dan romo pastor bersalaman di terowongan. Simbol bahwa
terowongan ini akan menyadarkan umat beragama untuk rukun, saling berbagi, dan
menjaga toleransi. Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku, dan kita
bertemu di dalam terowongan.
https://youtu.be/Mi3uU47N3c4
Ide cemerlang jika simbol ini mampu meredakan
ketegangan yang terus-menerus terjadi di negara ini. Akan menjadi mukjijat jika
semua masalah gesekan antar umat beragama bisa diselesaikan dengan cara “mari
kita bicarakan di terowongan silaturahmi”. Umat Islam tak lagi meminta gereja
ditutup karena mereka sadar ada terowongan silaturahmi. Umat Nasrani juga tak
boleh merusak mushola karena ada terowongan silaturahmi. Pura umat Hindu yang
dirusak di Bromo, Sumbawa Besar, Lampung dan seterusnya, sesekali diproses
secara hukum dan pelakunya dibisiki: “jangan merusak tempat idabah orang lain,
kan sudah ada terowongan silaturahmi”.
Rumitnya pasti lebih banyak yang melihat terowongan
Istiqlal-Katedral semata-mata “terowongan duniawi”. Sedikit yang melihat dengan
panca indra keenam, sebagai “terowongan religius” yang bisa mempersatukan umat
ciptakan Tuhan. Artinya, terowongan itu semata-mata untuk pejalan kaki agar
tidak ditabrak mobil, sementara urusan intoleransi bersumber dari keyakinan
yang sempit di mana perbedaan dianggap hal yang melemahkan iman. Seharusnya di
sini pemerintah membuat “terowongan” bagaimana kerukunan antar umat beragama
terpelihara.
Caranya? Revisi atau cabut Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006. Peraturan ini berisi tiga hal, tugas
kepala daerah memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat. Tugas kepala daerah tak
berjalan, FKUB tak berfungsi, pendirian rumah ibadat sangat diskriminatif. Buat
saja RUU Pendirian Rumah Ibadat dan dua point lain serahkan ke majelis agama
yang ada. Inilah “terowongan” yang diperlukan untuk terwujudnya silaturahmi.
(Dari Koran Tempo 15 Februari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar