Putu Setia | @mpujayaprema
Ternyata benar. Romo Imam, sahabat ngobrol saya, datang ke kampung. Ini hari ke 30 saya mengikuti program #dirumahsaja, sejak Presiden Joko Widodo mengimbau agar masyarakat melakukan phisical distancing. “Kalau di sini sih betah, rumah dengan halaman luas tidak membuat bosan,” kata Romo dengan senyum khasnya. Romo ingin di rumah saya barang seminggu.
Dia melepas jaketnya. “Kata petugas di jalan tadi,
saya harus mandi dan ganti baju, padahal semua tubuh saya sudah disemprot,”
katanya. Saya jelaskan, memang peraturan di desa ketat sekali. Setiap tamu yang
masuk desa diusut apa tujuannya. Kalau diizinkan masuk semuanya disemprot. “Di
kota orang masih berseliweran. Warung masih buka,” kata Romo lagi.
“Mereka keluar karena kebutuhan hidup, Romo. Tak semua
pekerjaan bisa dilakukan dari rumah. Apalagi mereka pegawai kecil, buruh serabutan,
pedagang sayur keliling, tukang bubur. Kalau mereka tak keluar, berarti tidak
bekerja, lalu makan apa?” Saya memancing Romo dengan kata-kata klise agar
keluar tawanya.
https://youtu.be/cBBWgQ9u49U
Tetapi Romo malah serius. “Saya juga ragu dengan apa
yang dilakukan di Jakarta dan daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Bekasi dan
Tangerang. Pembatasan sosial berskala besar, apa ya masyarakatnya tertib dengan
kebijakan ini? Kalau pelanggaran terus terjadi, apakah aparat tetap bisa
menertibkan setiap hari sesuai jadwal yang ditetapkan? Persoalannya tidak
sederhana, mereka keluar karena kebutuhan hidupnya harus dipenuhi. Pemerintah
memang memberi bantuan tunai, tapi apa cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga?
Bayar kost saja paling murah Rp 400 ribu. Kan mereka kebanyakan perantau yang
memang tidak bisa mudik dan tidak boleh mudik.”
“Romo, saya membaca di media sosial ada pemilik kost
yang menggratiskan uang kost selama pandemi corona ini,” saya menyela. “Nah itu
bagus sekali,” Romo langsung bereaksi. “Empati seperti itu yang kita harapkan. Pemilik
kost pasti perlu uang juga, tapi empatinya yang besar kepada sesama, menjadi
sangat berharga di saat-saat wabah ini. Pandemi dasyat ini bukan sekadar berapa
orang yang bertambah positif, berapa yang meninggal, seberapa sering cuci
tangan. Tapi, kita harus menumbuhkan rasa empati seluruh masyarakat untuk
bersama mengatasi petaka ini. Pandemi bisa berkurang tiga atau empat bulan
lagi, namun dampak sosialnya bisa berbilang tahun. Kalau empati tidak
dihidupkan dan terus dipupuk dari sekarang, masalah sosial akan menjadi petaka
baru karena ekonomi yang terpuruk. Pemerintah tak sanggup mengatasi sendiri
tanpa keterlibatan seluruh komponen bangsa.”
Wah, dalam hati saya bertanya, kok Romo Imam jadi lain
sekarang. Inilah dasyatnya covid-19, bukan cuma bumi yang disembuhkan, juga
mengubah kebiasaan Romo yang penuh guyon.
“Soal empati, ada muncul bibit-bibitnya,” saya ikut
serius. “Romo tentu sudah membaca, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie
menyumbangkan gajinya sampai berakhir masa jabatan pada Mei 2022 untuk wabah
corona ini. Disusul Gubernur Kalimantan Tengah
Sugianto Sabran menyumbangkan gajinya selama 5 tahun menjabat beserta
tunjangannya. Ditambah lagi Gubernur
Kalimantan Utara, Irianto Lambrie, dan juga Wakil Bupati Kebumen, Arif Sugiyanto.”
“Itu bagus, empati
dimulai dari daerah. Bagaimana dengan pejabat di pusat? Jokowi memutuskan
memotong tunjangan hari raya untuk eselon tertentu. Lumayan meski gajinya tetap
utuh. Yang gajinya harus dipotong penuh, ya, staf khusus milenial yang
menceriderai anak-anak muda itu.”
Romo tertawa dan saya
jadi senang, ternyata beliau tak banyak berubah.
(Koran Tempo 18 April 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar