Mpu Jaya Prema
Om Swastyastu. Sahabat yang baik dan umat sedharma yang terkasih. Saya memperkenalkan rubrik baru, Dharma Tula, di blog ini. Rubrik ini berisi diskusi masalah-masalah agama atau minimal berisi tanya jawab antara saya dengan siapa saja yang mengikuti blog ini. Diskusi atau obrolan semacam itu disebut dharma tula. Jika dharma wacana sifatnya monoton atau satu jalur saja, maka dharma tula bisa interaktif atau saling bertanya jawab. Silakan bertanya atau mendebatnya dalam kolom komentar.
Yang jelas saya tak ingin memonopoli
kebenaran. Kita tetap bisa berbeda pendapat dan perbedaan itu indah dan bisa
memperkaya pengetahuan kita. Kebenaran bisa datang dari segala arah, sulinggih
atau pendeta tak selalu benar, ada kalanya yang benar itu orang yang bukan
sulinggih, petani kopi misalnya. Bukankah dalam ajaran Hindu ada sloka yang banyak
dikutip orang bahwa kebenaran itu bisa datang dari mana saja. A no bhaadrah
yantu visvato, adadhaso aparitasa udbhidah.
Sesungguhnya sloka yang lengkap tentang
ini dikutip dari sloka Yajur Weda 25 point 14. Bunyinya
A no
bhaadrah kratavo yantu visvato
Adabfhaso
aparitasa udbhidah
Deva
no yatha sadamid vrdhe asan
Aprayuvo raksitaro dive dive
Terjemahannya:
Semoga pikiran yg mulia, yg tidak berbahaya. Gagasan yang menguntungkan datang
kepada kami dari segala arah. Para dewata yang senantiasa waspada senantiasa
memberi berkah setiap hari dan bermanfaat bagi kemajuan kami.
Nah, umat sedharma. Mari kita manfaatkan rubrik ini untuk ajang berdiskusi dan bertanya jawab soal agama, terutama masalah tattwa. Kalau masalah ritual apalagi seluk beluk sesajen, sepertinya ada tempat lain untuk berdharmatula. Saya ingin batasi masalah tattwa dan bahkan terutama sekali hal-hal yang aktual yang sedang ramai dibicarakan masyarakat, sehingga perbincangan kita di sini memberi arti dan masukan bagi permasalahan yang dihadapi umat saat ini.
Untuk kali pertama ini saya akan mulai dengan pertanyaan yang sudah diajukan beberapa semeton yang saya rangkum. Saya bacakan pertanyaannya.
Di media sosial ramai diperdebatkan polemik Hare Krishna dengan Hindu budaya Bali. Perdebatannya ke mana-mana. Namun yang mau saya tanyakan, bagaimana dengan istilah Tuhan Krishna itu? Apa maksudnya Krishna itu Tuhan?
Sahabat yang baik dan umat sedharma yang terkasih. Saya sebenarnya malas ikut nimbrung dalam polemik Hare Krishna dengan Hindu budaya Bali ini. Sudah melebar ke mana-mana, sudah tidak fokus lagi ke masalah perbedaan ritualnya. Bagaimana kalau saya batasi dharmatula kali ini dengan fokus mengambil tema Tuhan menurut ajarah Hindu dan yang ada di dalam Weda? Urusan Hare Krishna tak usah kita singgung terlalu banyak.
Di dalam kitab Weda, tidak ada kata Tuhan. Tentu saja tidak ada karena Tuhan itu adalah bahasa Indonesia untuk semua agama. Hindu, Islam, Buddha, Kristen, Katolik, Konghucu semua menyebut kata Tuhan jika pembicaraan dalam bahasa Indonesia. Bukankah Pancasila pada sila pertamanya menyebut kata Tuhan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi jika menyangkut masalah interen, apalagi dalam kaitan dengan ritual, maka nama Tuhan berganti dengan apa yang ada di dalam kitab sucinya. Orang Islam menyebutnya Allah, tiada Tuhan selain Allah. Penganut Nasrani menyebutnya Tuhan Yesus. Dan seterusnya.
Dalam ajaran Hindu Tuhan itu adalah Brahman di dalam kitab suci Weda. Namun dalam praktek lokalnya, karena agama Hindu menyebar di berbagai pelosok daerah dengan mengadopsi budaya lokal, maka istilah Brahman pun diganti dengan bahasa lokal, bahkan bukan dengan bahasa nasional yakni Tuhan. Dicari nama lain. Di Bali disebut Hyang Widhi. Widhi itu berasal dari kata Wid atau Vid dalam Sansekerta dan itu artinya sinar suci. Para leluhur kita di Bali sangat terpukau pada istilah sinar suci untuk memuliakan Tuhan, karena semua ritual yang ada di Bali tak akan sempurna jika tak ada unsur apina. Agni pinaka saksi, api adalah saksi dari setiap ritual yang ada. Kita bisa lihat dalam ritual di Bali kalau upacara pembersihan atau pengeresikan yang pertama-tama diberikan sesajen adalah api yang disebut api penimpug. Ada tiga batang bambu yang diikat jadi satu dan dibakar. Padahal di sana cuma ada banten canang sari, setelah itu barulah ke sanggar surya yang bantennya lebih besar, ada suci, pejati dan sebagainya. Vidhi juga berarti pencipta. Hyang Widhi berarti Dia Sang Pencipta.
Di Hindu Kaharingan yang menyebar di seluruh Kalimantan, Tuhan disebut Ranying Hatalla Langit. Atau kadang cukup disingkat menjadi Ranying Hatalla saja. Sama dengan di Bali Hyang Widhi bisa disebut lebih panjang menjadi Hyang Widi Wasa atau bahkan di beberapa tempat dipanjangkan lagi menjadi Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Demikian pula di daerah lain Tuhan di sebut dengan nama-nama lokal.
Tuhan itu hanya satu, esa, tunggal, tetapi bersinar dalam bentuk berbeda-beda. Ini ada di Atharwaweda 13 point 3 sloka 7. Bunyinya: Yad ekam jyotir bahudha vibhati. Terjemahannya: Ada satu Tuhan yg agung bercahaya. Dia bersinar dalam bentuk yang berbeda-beda. Apa sinarnya itu? Sinar-sinar itu adalah Dewa berasal dari kara div juga kemudian menjadi dev dan akhirnya deva, dewa dalam lafal orang Indonesia. Nah dewa inilah yang banyak kita kenal, itu sesungguhnya adalah sinar-sinar suci dari Tuhan, sebagian dari sifat Tuhan tetapi bukan Tuhan yang maha sempurna itu.
Tuhan yang Maha Esa
meliputi seluruh alam. Itu ada di sloka
Rg Weda kitab ke satu point 164 sloka 31, bunyinya: A varivarti bhuvanesu-antah.
Karena Tuhan YME meliputi seluruh alam maka di mana pun kita berada Tuhan ada di sana. Tak ada sejengkal tanah pun di mana Tuhan tidak ada. Tuhan bahkan mengambil setiap bentuk alam semesta sesuai yang diwahyukan pada kitab RgWeda buku ke 8 point 58 sloka 2 yang berbunyi: Ekam va idam vi bahuva sarvam.
Tuhan maha besar tetapi juga Tuhan maha kecil sehingga Tuhan bisa masuk ke setiap hati manusia. Kitab Rg Weda buku 10 point 82 sloka 7 menyebutnya itu yang berbunyi Anyad yusmakam antaram babhuva. Terjemahannya: Tuhan YME ada di dalam hatimu.
Intinya adalah Tuhan itu tak terbayangkan, tak terpikirkan, tak berjenis kelamin, tetapi satu adanya. Ekam evadvityam Brahman, Hanya ada satu Tuhan, yakni Brahman.
Ada yang bertanya, kalau “hanya ada satu Tuhan”, kalau ada pemujaan di Pura Besakih maka Tuhan tak ada di pura yang lain. Itu kalau dalam pengertian Tuhan yang bisa kita pikirkan dan Tuhan yang tidak memenuhi alam semesta. Padahal ajaran Hindu mengajarkan, Tuhan itu Achintya, yang tak terpikirkan. Juga seharusnya yang tak mampu kita pikirkan dan yang tak harus kita pikirkan keberadaan-Nya. Jadi sia-sia kita berpolemik soal Tuhan.
Tuhan dalam ajaran Hindu tak berjenis kelamin. Tidak laki maupun tidak perempuan dan juga tidak banci. Laki, perempuan dan banci itu hanya ukuran makhluk nyata dan terbatas pada khususnya manusia. Ukuran itu hanyalah untuk membantu manusia dalam memahami sesuatu yang abstrak dan tak terbatas.
Sifat-sifat dan karakter Tuhan itu sangat banyak. Dan sifat-sifat itu terbagi dalam sinar-sinar suci Tuhan yang dikenal dengan sebutan dewa. Karena itu dalam Hindu ada dewa dengan sifat laki atau perempuan dan itu hanya metode awam untuk menjelaskan sesuatu yang abstrak. Karena dalam Upanisad dikatakan bahwa Tuhan itu Neti-neti yang artinya bukan ini dan bukan itu. Tuhan itu jauh tetapi juga dekat, seperti lagunya Bimbo. Tuhan itu memenuhi segala ruang. Beliau bersifat Wyapi Wyapaka, meresapi segala di dunia. Tidak ada suatu tempatpun yang Beliau tiada tempati. Beliau berada di sini dan berada di sana. Tuhan itu ada di mana-mana.
Tuhan Yang Maha Kuasa juga disebut "Hana Tan Hana" yaitu wujud yang ada tetapi tidak ada. Karena kita tidak mampu melihat wujud Tuhan, namun Tuhan itu ada. Karena itu Tuhan juga disebut Acintya artinya Tuhan tak dapat dibayangkan oleh manusia.
Tuhan itu tidak nampak oleh mata, namun dirasakan, diyakini ada, seperti nafas di dalam tubuh kita sendiri. Kita bisa dan merasakan bernafas, tapi bagaimana wajah nafas itu, bagaimana wajah udara itu?
Tidak ada patung atau lukisan Tuhan atau Brahman. Bagaimana membuatnya karena Tuhan itu Acintya, tak terpikirkan dan tak berwujud. Yang ada adalah patung dari sinar suci Tuhan atau Brahman yang disebut dengan dewa dewi itu. Itu pun seniman pelukis dan pematungnya menyesuaikan dengan budaya lokal. Dewi Durga, misalnya, dalam wujud patungnya atau gambarnya di Bali dibuat seram, menakutkan. Karena di Bali Dewi Durga lebih disembah sebagai sang pemralina atau orang awam mengaitkan dengan kematian. Di India Dewi Durga itu dilukiskan sangat cantik karena ada pemujaan Dewi Durga sebagai dewi yang memberikan kesaktian. Ada kuil Durga Maa di Tangerang, Banten, dan dewi dipuja dengan memohon keberkahannya. Saya pernah dibaptis di sana sebelum saya menjadi pendeta di Bali.
Sedikit pengetahuan tentang dewi, ini sejatinya disebut sakti dari dewa. Bukan istri sebagaimana kita yang manusia. Setiap dewa ada saktinya, Brahma, misalnya, sebagai dewa pencipa, saktinya Saraswati, dewi ilmu pengetahuan. Bagaimana dunia diciptakan kalau tidak dibarengi dengan menurunkan ilmu. Ini contoh saja.
Tuhan memenuhi seluruh alam semesta, karena alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan. Itu artinya Tuhan ada di mana-mana, tak ada satu tempat pun di bawah kolong langit ini yang tidak dihuni oleh Tuhan. Mantram Gayatri yang merupakan “ibu segala mantram” (mantram ini dijadikan awal dari Puja Trisandhya) diawali dengan Om bhur bhwah swah. Artinya: Tuhan yang memenuhi alam bawah atau jagat raya ini (bhur), yang memenuhi alam tengah (bhwah), dan yang memenuhi alam atas atau angkasa (swah). Seluruh isi semesta dipenuhi Tuhan.
Nah kembali ke pertanyaan tadi, apa yang dimaksud Tuhan Krishna itu dan apakah Krishna itu Tuhan, saya tak perlu lagi menjelaskannya. Karena sudah gamblang. Tuhan itu tak bernama, Tuhan itu ya Brahman dalam Weda, Hyang Widhi dalam lokal Bali. Tuhan tidak berwujud.
Kemudian kita tahu dalam kitab Itihasa, Krishna yang perannya besar sekali dalam kitab Mahabhrata, ada wujudnya. Krishna itu lelaki. Hindu jelas menyebut Tuhan itu achintya, tak terpikirkan, termasuk tak perlu dipikirkan pula apakah Tuhan itu lelaki atau perempuan. Tetapi sinar beliau begitu banyak, dan itu kita wujudkan dalam rupa seperti mematungkannya, melukiskannya, sehingga ada dewa dan dewi. Tetapi penamaan sinar itu sudah ada pakemnya sesuai fungsi dan tempatnya di setiap penjuru mata angin. Brahma di selatan, Wisnu di utara dan seterusnya. Krishna tidak ada di dalam deretan dewa-dewa ini.
Dalam kitab Hindu, Krishna itu dikenal sebagai awatara ke 8 dewa Wisnu. Apakah awatara itu Tuhan? Di sini orang boleh berbeda pendapat. Pendapat saya adalah awatara itu adalah sifat-sifat Tuhan yang turun ke bumi, dan bukan Tuhan itu sendiri yang turun ke bumi mengambil porsi tubuh awatara. Dalam hal Krishna sebagai awatara, sifat-sifat Wisnu yang dibawanya, bukan sifat Brahma atau Siwa, misalnya.
Kalau awatara itu adalah
Tuhan seutuhnya, sesempurnanya, turun ke dunia, di mana dia turun hanya di situ
Tuhan ada. Sebutlah ketika awatara Wisnu ke 8 ini turun menyusup ke tubuh
Krishna di benua India dalam rentang waktu tertentu, berarti di bagian lain
dunia ini, benua Amerika, Eropa, Afrika, termasuk Indonesia, tidak ada Tuhan
dong. Ini bertentangan dengan sloka Tuhan memenuhi seluruh alam semesta. Kalau
disebutkan ada Tuhan lain di benua yang jauh dari India, ini bertentangan dengan
sloka Tuhan yang satu, Brahman. Jadi membaca sloka suci haruslah utuh tak bisa
menafsirkan sepotong-potong.
Tapi saya tahu, pertanyaan dharma tula ini mau menggiring saya ke polemik Hare Krishna. Saya jelaskan, posisi saya tak mau menggugat atau mendebat keyakinan penganut Hare Krishna. Kalau Hare Krishna menyebut dan yakin Tuhan itu adalah Krishna dan mereka menyebutnya Tuhan Krishna, ya, sudah, untuk apa dikomentari. Keyakinan mereka silakan tetapi yang tegas mau saya katakan, kalau dalam keyakinan agama Hindu tidak ada Tuhan Krishna. Bahkan tidak ada Dewa Krishna. Titik.
Krishna bukan Tuhan, bukan pula dewa. Ingat ini dalam ajaran Hindu, jangan dibawa-bawa ke ajaran lain. Tak ada pelinggih yang memuja Krishna di dalam ritual Hindu di Bali, karena leluhur orang Bali bukanlah orang bodoh yang tak membaca Weda. Leluhur orang Bali tahu kalau Krishna itu awatara.
Tetapi kalau keyakinan Hare Krishna menyebut, Tuhan Krishna, ya silakan, asal jangan dikaitkan dengan Hindu. Seperti pula umat Nasrani menyebut Tuhan Yesus. Ya kita sebagai umat Hindu tak perlu mempersoalkan. Kalau itu dibawa ke ajaran Hindu, ya, tidak tepat karena Yesus ada wujudnya, ada kelaminnya, dan seterusnya. Tetapi itu adalah hak umat Nasrani meyakininya, mereka punya bacaan lain, mereka punya keyakinan lain, mereka punya agama lain. Tak bisa ajaran agama dicampur adukkan, wong kitab sucinya beda.
Jadi intinya begitu. Tuhan Krishna tak dikenal dalam ajaran Hindu, tetapi kalau ajaran lain, seperti Hare Krishna, ya terserah mereka. Pendiri Hare Krishna kan sudah menyebut HK bukan Hindu. Jadi, sampai di sini tak ada masalah.
Demikian seri pertama dharmatula ini semoga ada manfaatnya. Seperti saya sebut di awal, dalam dharma tula ini kita bebas berpendapat dan tidak harus kebenaran itu ada pada saya, bisa jadi saya yang salah. Dan saya menunggu pertanyaan yang lainnya.
Rahayu, Om Shanti, Shanti, Shanti, Om.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar