Putu Setia | @mpujayaprema
Euforia new normal terjadi di seluruh pelosok negeri. Pusat-pusat perdagangan, dari mal sampai pasar tradisional, mulai dibuka. Pengelola tempat wisata juga berancang-ancang untuk membuka usahanya. Termasuk di daerah dengan kasus positif Covid-19 masih tinggi.
Sejumlah orang gembira ekonomi segera menggeliat. Tapi sejumlah
lain cemas. Angka penambahan positif Covid-19 justru semakin naik. Euforia yang
muncul tidak disertai dengan protokol kesehatan. Orang mulai keluar rumah untuk
sesuatu yang tak perlu amat. Tidak pula memakai masker. Banyak kerumunan yang
mengabaikan jaga jarak. Mereka pantas diberi predikat dengan satu kata: bandel.
Pernahkah kita bertanya kenapa mereka bandel? Barangkali mereka
mendapatkan informasi yang salah, yang kemudian dianggap benar karena kesalahan
itu lama tak direvisi. Atau menafsirkan istilah dengan cara mereka sendiri,
dengan wawasan khas masyarakat pedesaan yang sederhana. Misal, istilah berdamai
atau hidup berdampingan dengan corona. Untuk apa ketat dengan protokol
kesehatan kalau virus sudah bisa diajak berdampingan?
Penggunaan masker, misalnya. Di awal-awal pandemi corona, ada
pejabat yang menyebutkan masker hanya digunakan oleh orang yang sakit. Atau
oleh petugas medis. Orang sehat tak perlu pakai masker. Pesan itu tertanam di
benak masyarakat, meski kemudian direvisi, semua orang harus memakai masker.
Bahkan ada denda jika tak memakai masker di luar rumah.
Awalnya dianjurkan pakai sarung tangan agar terlindung dari
sentuhan yang diduga sudah dipenuhi virus karena disentuh banyak orang. Belakangan
diminta jangan pakai sarung tangan. Justru di sarung tangan itu virus berkumpul
dan kemudian menularkan sang pemakai dan orang yang kontak dengan pemakai
sarung tangan. Sarung tangan hanya dipakai petugas medis dan itu pun sekali
pakai langsung dibuang.
Yang lebih serius, ada pernyataan seorang dokter yang dikutip dan
disiarkan selebritas – karena itu jadi viral – bahwa virus corona tak akan
menular lewat jenazah. Alasannya, virus hanya bisa hidup jika manusia sebagai
inangnya juga hidup. Kalau inangnya mati, virus itu ya mati. Tanpa ada
penjelasan seberapa lama tenggang waktu virus itu mati jika inangnya mati, mayarakat
langsung menangkap pesan bahwa jenazah tak akan menularkan virus. Maka, orang
pun minta agar jenazah Covid-19 dimakamkan secara wajar, sebagaimana jenazah
orang yang meninggal karena sakit lainnya. Heboh terjadi ketika ada pemaksaan
mengambil jenazah korban Covid-19. Mereka yang bandel memaksa mengambil jenazah
itu, sampai diproses pidana oleh polisi.
Cobalah kita memposisikan diri sebagai masyarakat kelas bawah.
Menolak rapid test itu ada alasannya. Ini bukan urusan bandel. Kalau
hasilnya positif karantina menanti. Padahal, banyak berita yang beredar – dan
ini dibenarkan pemerintah – rapid test sering tak akurat. Ada sebuah
kampung di Bali yang penduduknya semua dikarantina karena setelah di-rapid
test hasilnya positif. Hebohnya bukan main. Dua hari kemudian datang kabar,
ternyata alat rapid test-nya error. Setelah diganti alat baru
hasilnya semua negatif. Kabar ini menyebar tapi minim penjelasan dari
pemerintah kenapa alat penting itu ternyata bisa tak akurat.
Sistem komunikasi harus diperbaiki. Hindari penjelasan simpang
siur, apalagi kebijakan yang saling bertentangan. Imbauan jaga jarak terus
dikumandangkan tapi pembatasan penumpang angkutan umum dicabut. Ini kan aneh
bin ajaib. Disiplin masyarakat perlu ditertibkan, tapi pemerintah juga jangan
bandel, kordinasi harus baik.
(Koran Tempo Akhir Pekan 13 Juni 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar