Umat sedharma yang berbahagia. Kita lanjutkan pembahasan Kitab Sarasamuscaya himpunan Bhagawan Wawaruci. Kitab yang berisi himpunan etika dalam meniti kehidupan ini. Saya tidak menyertakan sloka itu, baik yang menggunakan bahasa Jawa Kuno atau di Bali disebut bahasa Kawi mau pun bahasa Sansekerta. Ini dimaksudkan agar kita lebih menukik ke pokok bahasan. Bagi sahabat yang ingin membaca teks dalam bahasa Jawa Kuno, termasuk apa yang saya uraikan dalam pembahasan ini, silakan nanti menunggu bukunya.
Di sana ada termuat sloka dalam bahasa Jawa Kuno, juga sloka aslinya dalam bahasa Sansekerta. Baiklah, kita lanjutkan tema tentang kehidupan di dalam keluarga. Kali ini fokus hubungan antara anak dan kedua orang tua, bagaimana seorang anak harus berbhakti dan hormat kepada kedua orang tuanya. Saya mulai dengan sloka ke 234.
Jika ada orang
yang dengan pikiran, perkataan, dan perbuatannya menghianati guru, menghianati
ibu dan ayahnya, dosa mereka ini sangatlah besar, bahkan lebih besar dari dosa
akibat menggugurkan kandungan.
Sloka ini menekankan tentang bhakti
kita kepada orang tua dan guru. Jangan sekali-kali menghianati mereka. Dalam
ajaran di kitab lain, ada yang disebut dengan Catur Guru, empat guru yang harus
kita hormati. Yakni orang tua yang disebut dengan Guru Rupaka, guru yang
mengajar kita di sekolah mau pun di perguruan non formal yang disebut Guru
Pengajian, pejabat-pejabat pemerintahan yang disebut Guru Wisesa dan Tuhan
Hyang Widhi yang disebut Guru Swadahya. Nah karena tema sloka ini tentang etika
di dalam lingkungana rumah tangga dan lingkungan sekitar hanya disebutkan dua
guru itu saja yang harus kita hormati. Dosa menghianati ini lebih besar dari
dosa menggugurkan kandungan, artinya sudah merupakan puncak dari dosa. Saya
lanjutkan ke sloka 235.
Beginilah
hubungannya antara ibu, bapa dan guru. Ibu dan bapa menyebabkan lahirnya kita
ke dunia yang tidak kekal ini. Tetapi ada kelahiran yang lain, yakni lahir ke
dunia ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh guru yang suci, sehingga ajarannya
patut dituruti. Inilah bhakti kita yang utama.
Sloka ini sudah jelas, intinya
adalah Ibu dan ayah adalah sumber dari kehidupan kita di dunia ini, sedangkan
guru adalah sumber pengetahuan rohani yang mengajarkan hakekat hidup. Kepada
mereka kita layak untuk berbhakti dan tidak mengkhianatinya. Saya lanjut ke
sloka 236.
Kita harus mendahului
memberi hormat kepada guru yang mengajarkan pergaulan, mengajarkan ajaran agama
berdasarkan weda, mau pun ilmu pengetahuan lainnya.
Guru yang terlebih dahulu dihormati
adalah guru sebagai penuntun hidup dan kehidupan, sebagai pemberi pengetahuan
dan kerohanian. Ini dimaksudkan jika kita banyak mempunyai guru yang membimbing
kita, misalnya, ada guru yang memberikan pelajaran olahraga, guru yang
mengajarkan menyanyi dan seterusnya. Guru yang paling tinggi mendapat
penghormatan adalah mereka yang mengajarkan pengetahuan rohani. Saya lanjut ke
sloka 237.
Ini yang harus
diperbuat, janganlah bertengkar dengan guru. Apabila guru sedang marah dan
jengkel, usahakanlah berbuat yang dapat menyenangkan hatinya.
Bertengkar dengan guru adalah
perbuatan yang tidak baik. Namun guru juga manusia biasa, beliau kadang bisa
marah dan jengkel. Tugas kita adalah menghibur merek dan bersikaplah bijak
dengan kata-kata yang manis menyegarkan. Saya kira sudah jelas, mari lanjut ke
sloka 238.
Janganlah mencela
guru, kalau pun perbuatan mereka itu keliru, kita harus cari jalan yang
sungguh-sungguh untuk menyadarkan beliau. Mencela guru menyebabkan kita banyak
dosa.
Sloka ini pun sudah jelas. Karena
dalam ajaran Catur Guru pun disebutkan bahwa ke empat guru itu harus kita
hormati jangan sekali-kali mencelanya. Dalam pergaulan di masyarakat kita
memang sering mengecam guru, apalagi kalau kita jelas melihat guru itu keliru.
Cara mengecam itu tidak baik karena kita harus menghormati posisi mereka atau
jabatan mereka. Kita lanjut ke sloka 239.
Mereka yang hormat
kepada ayah dan ibunya, ia disebut teguh iman dalam tapa yang berkeadaan sama
dengan seorang brahmana yang kuat menjaga kesucian dan berada pada jalan kebajikan
dan kebenaran.
Sloka ini adalah pengandaian dari
seseorang yang hormat kepada orangtuanya yang disetarakan dengan kesucian seorang
brahmana dalam menjalankan tapa. Maksudnya adalah untuk menunjukkan bahwa
hormat kepada orangtua adalah segalanya. Saya lanjut ke sloka 240.
Bahwa berat
kewajiban ibu jauh melebihi beratnya bumi, itu tak dapat disangkal sesungguhnya.
Lebih tinggi kemuliaan bapak dari tingginya langit. Lebih cepat larinya pikiran
dari pada cepatnya angin.
Sloka ini masih berkaitan dengan kenapa orang tua, ayah dan ibu, harus dihormati. Karena seorang ibu menanggung kewajiban yang berat untuk membesarkan putra-putrinya. Begitu pula seorang ayah, kemuliaannya dalam mengasuh anak tak bisa diperbandingkan dengan sesuatu yang lain, bahkan dengan tingginya langit. Menyadari hal itu, seorang anak hendaknya menghormati dan bakti secara bersungguh-sungguh kepada orang tuanya. Saya lanjut sloka ke 241.
Barang siapa yang bakti
tulus kepada orang tuanya dan selalu berusaha untuk menyenangkan serta memuaskan
hati mereka, orang tersebut akan terpuji dan menjadi bajik, baik sekarang mau
pun kelak.
Sloka ini tak perlu saya komentari
lagi karena sudah gamblang apa adanya. Saya lanjut ke sloka 242.
Ada tiga macam
yang dianggap sebagai orangtua yaitu sarirakit , pranadata dan annadata.
Sarirakit artinya yang membuat badan wadag, pranadata artinya yang memberikan
hidup, anna data artinya yang memberi makan atau yang memelihara.
Sarirakit dan pranadata asli dalam
bahasa Sansekerta dan memang ada dalam sloka aslinya di Kitab Sarasamuscaya.
Namun anna data nampaknya tambahan dari Bhagawan Wararuci untuk lebih mempertegas
apa yang dimaksud dengan memberikan hidup itu, yakni memberi makan atau
memelihara. Inti dari sloka ini adalah seorang ayah yang baik akan memberi
sepenuh kebutuhan hidupnya kepada anak-anaknya. Dan ini adalah tanggung jawab
yang utama. Saya lanjut ke sloka 243.
Seorang anak patut
memberikan kesenangan pada orang tuanya dengan perbuatannya. Adapun orang tua
akan menyerahkan apa saja untuk kebahagian anaknya, tidak ada yang dikikirkan
oleh orang tua, sampai jiwa raga pun rela dikorbankan untuk kebahagiaan
anaknya.
Saya kira sloka ini sudah jelas,
dan memang begitulah umumnya orang tua yang baik, mempertaruhkan segala
miliknya untuk kebahagiaan anaknya. Saya lanjut ke sloka 244.
Juga kecintaan ibu
terhadap anaknya sangatlah besar dan adil. Cakap atau tidak cakap, baik atau kurang
baik, semua anak-anaknya dijaga dan dipelihara dengan penuh rasa cinta.
Sesungguhnya tidak ada yang melebihi cinta seorang ibu terhadap anaknya.
Sloka ini pun sudah jelas, berbicara tentang kewajiban seorang ibu dalama mengasuh dan membesarkan anaknya. Penekanan di sini adalah keadilan. Tidak boleh membedakan anak-anaknya hanya karena penampilan dan kecerdasannya. Saya lanjut ke sloka 245.
Seorang ayah,
seberapa miskin pun keberadaannya, ia akan selalu berusaha untuk mencari
penghidupan untuk anak-anaknya dan berusaha untuk menyenangkan mereka dengan
pemberian dan hadiah.
Kalau sloka sebelumnya tentang
kewajiban ibu, maka ini tentang kewajiban seorang ayah. Semuanya sudah jelas
tak perlu pembahasan lagi. Saya lanjut ke sloka 246.
Ada pun seseorang yang sampai punya anak dan cucu, tetapi tetap bhakti
kepada ibunya sendiri, ibarat sama bhaktinya kepada dewa-dewa, maka sorgalah
pahalanya.
Sloka ini tentang kewajiban seorang
anak. Walau sang anak itu sudah kawin, punya anak dan bahkan punya cucu, ia
tetap harus berbhakti kepada ibunya sendiri, sebagaimana bhakti dia kepada para
dewa. Punya keluarga, punya anak, menantu dan cucu, tak bisa mengurangi hormat
dan bhakti kepada ibunya sendiri. Jadi sudah jelas pula sloka ini. Lanjut ke
sloka 247.
Anak yang
ditinggalkan ibunya karena percekcokan, anak yang seperti ini seberapa pun kayanya
adalah tetap disebut orang yang miskin, seberapapun bahagianya adalah orang
sengsara, bagi mereka dunia akan menjadi sangat sepi walau berada dalam
hiruk-pikuk keramaian.
Sloka ini menekankan bahwa bertengkar
dengan ibu sampai-sampai ibu itu meninggalkan sang anak, lalu ibu hidup terpisah
dengan anak, maka pahala yang diterima sang anak sangatlah buruk. Betapa pun
kayanya anak itu harta tak akan sanggup memuaskannya. Janganlah hal itu sampai
terjadi. Saya lanjut ke sloka 248.
Oleh karenanya, baktilah
pada orang tua, duduklah bersila dan hormatlah dengan ketulusan hati. Jika
diminta atau jika tidak diminta sekalipun, tawarkan terlebih dahulu keinginan untuk
mengantar kemana pun beliau hendak pergi, antarlah dengan hati yang tulus.
Begitulah seorang anak harus
berbakti kepada orang tuanya. Biasakan sungkem kepada orangtua sebagai wujud
rasa syukur dan hormat. Saya lanjut ke sloka 249.
Jika berhadapan
dengan orang tua, si anak seperti akan kehilangan jiwanya, tapi jika si anak sudah
sujud dengan hormat kepada orang tuannya, kembalilah jiwa si anak ketubuhnya.
Ini memberi perumpamaan bagaimana
orang tua itu punya kharisma yang kuat dan mempengaruhi baik buruk
anak-anaknya. Aura orang tua akan merasuki sang anak seolah-olah jiwanya
kembali membara dengan sentuhan kasih orang tua. Saya lanjut ke sloka 250.
Adapun pahalanya
orang bhakti dan hormat kepada orang tua akan ditambahkan empat hal yaitu
kirti, ayusa, bala, yasa. Kirti artinya pujian atas kebaikan. Ayusa artinya
hidup panjang, bala artinya kekuatan, yasa artinya jasa baik. Ke empat hal ini
bertambah-tambah kesempurnaannya sebagai pahala orang yang hormat dan bhakti
kepada orang tua.
Nah, ini adalah sloka terakhir
dalam tema tentang etika di lingkungan keluarga atau rumah tangga. Jika
seseorang tetap bhakti kepada orangtuanya sepanjang hidup maka pujian akan
mereka terima, kekuatan hidup akan diperolehnya, usia panjang akan dijalani dan
jasa baik termasuk nama baik akan didapatnya.
Umat sedharma yang berbahagia.
Semoga sloka-sloka dalam seri ini menyadarkan kita untuk selalu hormat dan
bhakti kepada kedua orangtua kita, sepanjang hayatnya. Bahkan ketika beliau
sudah tiada, rasa hormat itu tetap kita wujudkan dalam persembahyangan kepada
leluhur. Untuk itu leluhur kita di Bali membuat stana khusus untuk para leluhur
yang sudah tiada, yang sudah menyatu di alam Tuhan. Yakni sebuah pelinggih yang
disebut Rong Tiga.
Mari kita selalu hormat kepada
orang tua dan tetap sujud bhakti lewat Rong Tiga ketika kedua orang tua itu
sudah tak ada lagi di dunia ini. Semoga bermanfaat, sampai jumpa. Rahayu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar