Putu Setia | @mpujayaprema
Seorang mahasiswa hukum bertanya, “Apakah tersangka bisa diumumkan identitasnya secara terbuka oleh media massa?” Saya menjawab sekenanya sambil meminta dia mencari informasi yang lebih valid. “Tidak boleh. Seorang tersangka belum tentu bersalah sebelum dia dijadikan terdakwa di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum. Namanya harus memakai inisial. Polisi dan penegak hukum lainnya sampai sekarang taat pada aturan itu. Teroris paling berbahaya pun jika tertangkap, nama yang diumumkan inisial saja. Koruptor kelas kakap yang tertangkap tangan juga hanya diumumkan inisialnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Aparat hukum ini taat asas,” begitu jawaban saya.
Mahasiswa ini
makin bersemangat. Dia lanjutkan, “Saya tahu. Tapi pada saat kepolisian
mengumumkan dalam jumpa pers, tersangka dihadirkan tanpa ada yang ditutupi.
Lengkap dengan baju tahanan. Bahkan tersangka, baik oleh polisi mau pun
penyidik KPK, tangannya diborgol. Lalu untuk apa nama inisial itu kalau
semuanya terang benderang?”
Untuk sementara
saya tak mampu menjawab. Pertanyaan diteruskan, “Termasuk aktivis KAMI yang
baru saja ditangkap polisi, semuanya diborgol dan dipamerkan ke media. Apa
maksudnya?” Saya sedang berpikir untuk menjawab, tapi mahasiswa ini terus
bertanya, “Apa untuk maksud mempermalukan dan membunuh karakter mereka? Kata
Prof Jimly, mereka tak perlu ditahan, apalagi diborgol.”
Saya kemudian menjelaskan,
mungkin polisi dan aparat hukum lainnya punya kriteria sendiri yang dianggapnya
benar. Tak peduli apakah bertabrakan dengan etika hukum yang selama ini
disepakati, yang penting kebenaran mutlak ada pada mereka. Ini juga menjadi
kebiasaan banyak pejabat termasuk para politikus. Menteri Komunikasi dan
Informatika Johnny G. Plate menyebutkan, jika pemerintah memberikan pernyataan
tak mungkin hoaks. Tapi kalau pemerintah bilang hoaks, ya, pasti hoaks. Ini
diucapkan dalam kaitan penolakan terhadap Undang-undang Cipta Kerja. Bahaya
sekali pemerintah memonopoli kebenaran.
Cobalah ikuti
debat terbuka para politikus. Pendukung pemerintah pasti dengan segala upaya
membenarkan apa pun yang dikatakan pejabat pemerintah, termasuk Presiden. Kalau
ada pejabat yang jelas salah ucap, tetap dicari pembenarannya. Setidaknya digunakan
teknik ngeles. UU Cipta Kerja yang disahkan DPR berbeda jumlah
halamannya dengan yang diserahkan ke Presiden. Selalu disebutkan tak ada penyelundupan pasal.
Juga “penyesuaian pasal” setelah ada aksi penolakan. Caranya ngeles
adalah menyalahkan format kertas yang berbeda. Anak SD pun terbahak-bahak.
Dokumen resmi kenegaraan seharusnya disahkan dalam format PDF (portable document format). Bukankah format ini sulit diedit? Kalau dokumen mudah diubah formatnya, rentan
terjadi pemalsuan. Bisa-bisa soal ulangan umum di masa “belajar dalam jaringan”
ini diedit dulu sebelum dijawab para siswa.
Kembali ke soal
tersangka yang dipamerkan dengan tangan diborgol, apakah itu untuk
mempermalukan? Tergantung kebenaran siapa yang digunakan. Juga berkaitan dengan
sangkaan. Kalau masalahnya perbedaan pendapat, cara mengkritisi kebijakan, dan menyatakan
kebenaran yang lain – karena kebenaran bisa datang dari mana-mana– para
tersangka tak perlu malu. Bisa saja yang berniat mempermalukan jadi malu jika kebenarannya
nanti salah. Apalagi tidak konsisten menjalankan hukum dan keadilan, harus
dilihat dulu siapa kawan dan lawan.
Padahal, jika
dikotomi lawan dan kawan dipakai acuan, kita semuanya sama-sama tersangka,
karena kebenaran mutlak ada di kuasaNya.
(Koran Tempo 24 Oktober 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar