Putu Setia | @mpujayaprema
Harapan dan kegembiraan itu
tiba-tiba surut. Kembali muncul ketidak-pastian, kapan Covid-19 akan berakhir. Program
pemerintah untuk mengadakan vaksinasi virus corona semakin tak jelas.
Rencana awal vaksinasi akan dilakukan di bulan November ini. Masyarakat terlanjur senang. Mereka tak peduli apa beda vaksin dengan obat. Yang terbayang adalah Covid-19 sudah akan hilang begitu vaksinasi berjalan. Orang bebas bergerak ke mana maunya. Masker pun, yang bikin sesak bagi sebagian orang, bisa dicopot. Anak-anak kembali bersekolah. Harapan yang begitu tinggi setelah sejak Maret lalu semua orang seolah menjadi tahanan rumah.
Begitu banyak pejabat memberi
keterangan soal vaksin ini. Informasi justru semakin simpang siur. Masyarakat malah
tambah bingung. Kabarnya, Presiden Jokowi pun kesal karena komunikasi soal
pengadaan vaksin dan rencana vaksinasi begitu buruknya.
Semakin hari semakin tidak
jelas, vaksin dari negara mana yang akan didatangkan. Apakah vaksin itu sudah
melewati uji klinis fase 3, sebagaimana yang disyaratkan. Bahkan vaksin Sinovac
yang uji klinis fase 3 dilakukan di Bandung oleh Biofarma tidak jelas kapan
selesai uji cobanya. Muncul masalah lain, soal kehalalan vaksin itu. Ternyata
urusan vaksin masih panjang. Ada lagi soal berapa banyak vaksin harus
dibutuhkan dan apakah vaksin itu – dari negara mana pun didatangkan – sudah
memenuhi syarat untuk disuntikkan.
Kabar terbaru vaksinasi akan
dilakukan minggu ketiga bulan Desember. Yang menyampaikan kabar itu Menteri
Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Beliau
adalah Wakil Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Dijelaskan
bahwa mundurnya jadwal vaksinasi bukan karena tidak adanya pasokan vaksin,
tetapi vaksinasi ini harus mengikuti prosedur. Apa itu? Penggunaan vaksin harus mendapatkan
persetujuan dari lembaga yang berkompeten, yakni Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM).
Sayangnya, persetujuan ini tak
mudah. Sebab, uji coba fase 3 belum selesai untuk vaksin yang diproduksi di
berbagai negara. Masih menunggu lama. Di situ masyarakat mulai kecewa. Kegembiraan
ternyata terlalu dini untuk diumbar. Namun lagi-lagi, untuk sebuah target,
pemerintah mencoba menyiasati agar masyarakat tidak kesal, yakni meminta BPOM
memberikan persetujuan vaksinasi dengan status penggunaan darurat atau dikenal
dengan emergency use authorization (EUA). Apakah ini sebuah berita
gembira?
Ternyata tidak. Justru ini
membuat orang semakin was-was untuk divaksin. Apalagi para pakar wabah
mengkritik rencana pemerintah melakukan vaksinasi Covid-19 dengan status EUA
itu. Menurut pakar wabah, imunisasi dengan keadaan darurat tidak seharusnya
dilakukan kepada khalayak ramai. Seharusnya tindakan itu hanya dilakukan untuk
kalangan terbatas. Resikonya terlalu tinggi.
Kekhawatiran masyarakat
tercermin lewat survei yang dilakukan Koalisi Warga LaporCovid19.org. Hasil
survei mengenai vaksinasi ini adalah 60 persen masyarakat ragu-ragu hingga
tidak bersedia menerima vaksin Sinovac jika terinfeksi Covid-19. Hanya 23
persen masyarakat yang menyatakan bersedia menerima vaksin itu. Sisanya tak
memberikan jawaban. Bagaimana dengan vaksin Merah Putih yang dikembangkan
Lembaga Eijkman? Ada 56 persen masyarakat Indonesia ragu-ragu hingga tidak bersedia
menerima vaksin Merah Putih itu. Sementara 35 persen menyatakan setuju dan
sisanya tak menjawab.
Apa yang salah? Perencanaan
yang tidak matang dan kordinasi yang amburadul atau sekadar komunikasi yang
buruk? Bisa jadi semuanya.
(Koran Tempo 7 November 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar