Rabu, 09 Desember 2009

Gemuruh Century

Oleh Putu Setia

(Tulisan diambil dari Acri Angin Koran Tempo Minggu 6 Desember 2009)

Mendadak saya dipanggil Romo Imam ke pedepokannya. Pasti penting. “Saya akan membentuk tim pemantau dan pengawas tim-tim yang memantau dan mengawasi kasus Bank Century. Nanak harus ikut,” kata Romo Imam, yang memanggil saya dengan sebutan Nanak. Itu artinya putra spiritual.

“Maaf, Romo bicaranya belepotan, ini tim apa,” tanya saya. Romo tertawa: “Nama tim itu tak salah. Sekarang kan dibentuk bermacam-macam tim, ada yang menyebut dirinya Tim Pengawas Angket Century, ada Koalisi Pengawal Angket Century, ada Tim Penelusuran Talangan Century, dan banyak lagi. Juga ada Tim 9 yang bertepuk dada sebagai inisiator angket Century. Nah, tim yang dibentuk Romo itu, memantau dan mengawasi tim-tim ini. Kalau namanya seperti belepotan, ya, sebut saja tim sebelas.”

“Kenapa tim sebelas?” Tanya saya lagi. Romo menjawab: “Supaya lebih tinggi, kan sudah pernah ada Tim 8, lalu Tim 9. Tim 10 untuk cadangan, nah, Tim 11 tugasnya memantau semua tim yang nomornya lebih kecil.”

Dalam hati saya tertawa. “Romo, boleh tahu, kok kita ikut-ikutan ribut soal ini?” Romo menjelaskan dengan serius: “Ini untuk pembelajaran demokrasi dan mencerdaskan rakyat. Yang bikin runyam mengusut Bank Century itu adalah banyaknya pemantau partikelir yang punya agenda terselubung. Ada yang agendanya menjadikan panggung ini sebagai proyek mendongkrak peringkat kepolitisiannya. Mereka anak-anak muda yang tak mau dikatakan menjadi politisi mendompleng ketenaran ayahnya, dan kini membuktikan mereka bisa berkiprah. Ini bagus dan wajar. Lalu ada anak muda di luar parlemen yang kerjanya memang begitu melulu, apa-apa dipermasalahkan dengan aksi, siapa pun yang memimpin negeri ini. Mereka ini tak mau masuk jalur formal, misalnya, bergabung ke partai politik dengan alasan macam-macam, seperti partai itu tak sehat, nepotisme dan sebagainya. Sejatinya, mereka ini memang tak akan mampu meraup konstituen untuk bisa lolos jadi wakil rakyat. Jadi, bemimpilah tentang jalan pintas. Mereka mengira dengan mengerahkan massa sepuluh ribu sudah merasa mewakili aspirasi seluruh rakyat. Padahal untuk menjadi wakil rakyat di kabupaten saja sudah harus mendapat suara 30 ribuan.”

Saya diam, takut mengganggu Romo. “Yang unik, tokoh sepuh dan tokoh yang sudah jelas tak dikehendaki oleh rakyat untuk memimpin negeri ini, buktinya kalah pada pemilihan umum, masih juga bermimpi untuk tampil di panggung kekuasaan dengan cara-cara pintas. Dalam kasus Bank Century ini mereka mendesak supaya kasus itu diusut tuntas seolah-olah memberi kesan ada orang yang tak mau kasus ini diusut tuntas. Ini kan tak mendidik, wong presiden sudah lebih dulu bilang, usut secara terbuka dan tuntas.”

Saya terpaksa menyela, supaya Romo agak turun tensinya: “Maaf beribu maaf, Romo. Nampaknya Romo kurang setuju angket Century atau kasus ini dibuka atau….”

“Stop,” Romo berteriak. “Nanak selalu curiga, itulah bahayanya menonton acara debat ala televisi. Romo seribu persen setuju kasus Century dibuka. Tapi, jangan dengan gemuruh seperti ini, suaranya keras padahal belum bekerja. Parlemen silakan buat angket. Kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi, silakan bekerja. Jika ditemukan ada yang salah, proses secara hukum. Sekarang ini belum bekerja sudah memvonis, ini pembodohan untuk rakyat. Hentikan memanipulasi suara rakyat. Katakan ada sejuta orang ke jalan, itu kan baru nol koma lima persen penduduk Indonesia. Yang 99,5 persen itu ingin tenang bekerja, tapi korupsi tetap diberantas supaya mereka lebih sejahtra.”
***


Uang Kepeng, antara Simbol dan Nilai Ekonomi

Oleh Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Dua remaja Hindu berlainan etnis berdiskusi sambil bercanda di wantilan Pura Kepasekan, Karanganyar, Jawa Tengah. Yang satu dari Bali, tetapi mahasiswi UNS Solo. Teman berdebatnya dari Masaran, Sragen. Keduanya sama-sama membawa teman, tetapi teman-temannya tak banyak berkomentar.


“Kalau di Bali kamu bawa kuangen berisi uang logam lima ratusan begini, nggak bakalan diterima. Kuangen itu harus berisi uang kepeng, orang Bali menyebutnya pis bolong,” kata si cewek Bali sambil menunjuk kuangen yang dibawa lelaki di sebelahnya.
Pemuda Jawa itu tak mau kalah. “Itu kan bikin rumit, uang kepeng itu hanya laku ketika zaman Majapahit. Sekarang sudah langka, kenapa harus susah-susah mencari uang Majapahit hanya untuk bersembahyang?” jawab sang pemuda.

“Kalau nggak mau susah cari uang kepeng jangan bawa kuangen, pakai saja kembang,” sahut lagi si cewek.

“Memangnya uang kepeng harus ada? Memangnya uang kepeng itu simbol apa, ayo?” tanya sang pemuda. Si cewek diam sejenak, lalu balik bertanya: “Memangnya logam lima ratusan di kuangen-mu simbol apa?”

Sang pemuda Jawa langsung nyerocos. “Ini disebut unsur panca datu. Terbuat dari logam dan berbentuk bundar, lambang windu. Jadi bukan uang kepengnya yang penting, tetapi ada unsur logam yang bebentuk bundar itu.”

Satu nol, komentar teman-teman mereka. Soalnya, si cewek Bali mengaku tidak mengerti simbol apa uang kepeng yang ada di kuangen itu. Ia hanya menyebutkan, kebiasaan di Bali seperti itu, isi kuangen untuk bersembahyang adalah uang kepeng, bukan uang logam biasa. Saya tak tahu apa ada diskusi lanjutan, karena saya meninggalkan wantilan.

Di Pura Jagatnatha Denpasar kalau ada persembahyangan bulan Purnama, pedagang banten berderet-deret di jaba pura. Kalau kita membeli canangsari di sana, pedagang banten biasanya menanyakan: “Pakai kuangen dan dupa?” Kalau kita bilang, ya, pakai kuangen, cobalah periksa apakah ada uang kepeng atau uang logam di sana? Tidak ada. Jadi berkuranglah salah satu simbol yang ada pada sarana persembahyangan itu.

Simbol-simbol dalam urusan banten di Bali memang sangat rumit. Orang Hindu di luar Bali, seringkali menyebut hal ini sebagai suatu hambatan untuk menyesuaikan diri jika mengikuti ritual Hindu versi Bali. Anehnya, orang Bali sendiri tak pernah mempermasalahkan kerumitan itu meskipun mereka tak tahu juga apa arti simbol itu. Satu benda bisa berubah fungsi jika diletakkan dalam rangkaian yang lain. Telor yang ditaruh di daksina memberikan simbol yang berbeda dengan telor yang ada di rangkaian ketupat. Padahal telornya sama saja. Tapi, seberapa banyak yang tahu arti simbol-simbol itu?

Begitu pula uang kepeng atau pis bolong. Uang kepeng di kuangen dengan uang kepeng di canangsari berbeda maknanya, dan berbeda pula jika uang kepeng itu diikat dalam jumlah tertentu yang biasa disebut benang pipis (karena uang kepengnya diikat benang). Sangat berbeda pula artinya kalau uang kepeng itu dijadikan kalung atau gelang. Lalu ada uang kepeng yang dimasukkan keranjang kecil yang biasa disebut pis pocongan, dan maknanya pun beda. Padahal bendanya sama saja.

Seperti umumnya uang, uang kepeng punya arti sebagai sebuah nilai tukar yang dalam ilmu ekonomi disebut alat transaksi. Arti seperti itulah yang muncul ketika uang kepeng ditaruh di canang sari. Ia menjadi “sarin banten”, yang dipersembahkan secara tulus ikhlas oleh seseorang dan uang itu bisa diambil oleh “pemuput karya” atau oleh petugas upacara untuk dikumpulkan. Karena itu uang kepeng sebagai “sarin banten” sudah lazim diganti dengan uang logam atau uang kertas yang berlaku sebagai alat transaksi masa kini.

Uang kepeng di daksina, kuangen, atau saat ngereka jenazah dan pada beberapa banten khusus, tidak dicari maknanya dari nilai tukar sebagaimana lazimnya uang, tetapi dimaknai dari bentuknya yang bulat dan terbuat dari logam. Untuk membuat simbol adegan saat Pitra Yadnya misalnya, unsur mata disimbolkan dari uang kepeng. Karena itu uang kepeng tak bisa digantikan oleh uang kertas. Apakah bisa digantikan oleh uang logam masa kini? Menurut logika kalau kita bicara masalah simbol, saya cenderung sependapat, seperti yang dikatakan pemuda Hindu dari Sragen yang saya kutip di awal tulisan ini. Karena unsur yang dicari sebagai simbol itu adalah bulat dan logamnya. Masalahnya adalah apakah uang logam buatan Bank Indonesia itu memenuhi unsur-unsur panca datu. Saya kurang sependapat kalau dibuat uang kepeng palsu dari tanah liat, karena jelas ini bukan dari unsur logam.

Sekarang, sudah ada umat kita yang memproduksi uang kepeng untuk memenuhi keperluan ritual umat Hindu di Bali. Ada yang betul-betul memenuhi unsur logam panca datu, namun yang beredar di masyarakat banyak yang tidak memenuhi unsur itu. Tentu saja harganya berbeda. Di kalangan pedagang ini disebut pis bolong asli dan pis bolong palsu, padahal sejatinya kalau mengacu kepada uang kepeng di masa lalu, keduanya juga palsu.

Yang dipertanyakan saat ini, meski uang kepeng itu diproduksi baru dan nyata-nyata untuk keperluan ritual Hindu versi Bali, kenapa masih memakai ornamen huruf Cina? Seharusnya ini diganti, kalau pun menggunakan huruf mungkin aksara suci Omkara bisa dipertimbangkan. Namun yang jelas umat harus benar-benar tahu, mana uang kepeng yang berfungsi sebagai simbol dan mana uang kepeng yang berfungsi sebagai nilai tukar ekonomi dalam sebuah banten. Maklumlah, leluhur kita di masa lalu begitu praktisnya memakai uang yang berlaku saat itu untuk kedua-duanya, karena memang saat itu belum ada uang kertas. Kini ketika uang kertas sudah umum, maka sesari tentu lebih tepat memakai uang kertas, karena sesari diambil oleh pemangku dan pemangku tak bisa berbelanja memakai uang kepeng. ***