Senin, 24 Januari 2011

Galungan dan Bencana

Oleh Pandita Mpu Jaya Prema Ananda

Syahdan, Raja Bali Sri Jaya Kesunu, heran tak kepalang kenapa bencana terus-menerus terjadi di Bali. Angin puting beliung merobohkan rumah penduduk, kekacauan sering terjadi di masayarakat. Dan, ini yang lebih aneh lagi, raja-raja pendahulunya selalu berumur pendek.

Sri Jaya Kesunu naik tahta pada tahun 1126 Saka atau 1204 Masehi menggantikan Sri Dhanadi yang meninggal dunia tanpa sebab yang jelas. Tak ada disebutkan kapan Sri Dhanadi naik tahta, tetapi dia menggantikan Sri Eka Jaya yang juga berumur pendek. Tak jelas pula berapa usia Sri Eka Jaya tatkala meninggal dunia, tetapi beliau memegang tapuk pemerintahan pada 1103 Saka atau 1181 Masehi.

Begitu naik tahta, Sri Jaya Kesunu langsung melakukan dewa sraya, artinya mendekatkan diri dengan dewa. Inilah cara beliau untuk mencari tahu kenapa bencana terus-menerus menggoyang Bali dan kenapa umur raja pendek-pendek. Mendekatkan diri kepada dewa itu dilakukan di Pura Dalem Puri, sebuah pura yang dekat dengan Pura Besakih. Sri Jaya Kesunu melakukan tapa brata dan yoga samadhi.

Kocap kacarita – begitu hikayat mewartakan – berkat ketekunan Jaya Kesunu melakukan tapa brata, terdengarlah pembisik (pawisik) dari Dewi Durga, sakti (kekuatan suci) dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durga menjelaskan kenapa bencana selalu datang dan umur raja pendek. Penyebabnya tiada lain, Hari Raya Galungan, tidak lagi dirayakan. Selama Galungan tidak dirayakan, bencana akan terus datang. Dewi Durga meminta kepada Jaya Kesunu untuk kembali merayakan Galungan jika ingin ada ketentraman.

Tentu saja Sang Raja yang bijaksana dan religius ini langsung memenuhi janji Sang Dewi yang dalam versi India sangat cantik dan versi Bali sangat menyeramkan itu. Kepada masyarakat langsung diinstruksikan untuk merayakan Hari Raya Galungan sesuai jadwalnya, yakni hari Budha (Rabu) Kliwon wuku Dungulan sesuai dengan wariga yang berlaku. Konon, sejak itulah bencana bisa berkurang di Bali.

Hikayat di atas dipetik dari lontar Purana Bali Dwipa. Bahwa banyak yang tidak jelas, begitulah salah satu ciri lontar. Tak semua lontar merupakan catatan sejarah yang otentik, atau bahkan tak semua lontar bisa disejajarkan dengan prasasti. Lontar adalah “catatan yang ditulis di daun rontal” oleh seseorang pada zamannya, jadi bisa berupa opini tanpa dasar, bisa pula kisah yang benar adanya, dan banyak berupa pedoman ritual. Lontar di masa lalu adalah bentuk penyampaian pikiran dengan sarana yang ada di saat itu. Kalau dibandingkan dengan masa kini, sama dengan buku atau CD (compact disk) atau flashdiks yang menyimpan berbagai buah pikiran. Tak semua “buah pikiran” itu berdasarkan fakta, bahkan banyak “buah pikiran” itu berupa cerita fiksi.
Purana Bali Dwipa juga menyebutkan hal penting, bahwa Hari Raya Galungan di Bali dirayakan sejak tahun 804 Saka (882 Masehi), tepat pada Purnama Kapat. Lontar itu memuat begini: Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasi kecatur, tanggal 15, icaka 804. Bangun indra bhuwana ikang Bali rajya. Ini bahasa Jawa Kuno (Kawi) yang terjemahan bebasnya: Perayaan (upacara) Galungan itu dimulai (pertama) pada Bhuda Kliwon Dungulan sasih kapat bulan purnama (penanggal 15) tahun 804 Saka. Keadaan pulau Bali bagaikan indra loka.

Perayaan Galungan ini dihentikan tiba-tiba ketika Sri Ekajaya memegang tapuk pimpinan pada 1103 Saka. Entah apa penyebabnya, tak pernah diceritakan dalam lontar itu. Sejak itulah terjadi bencana. Jadi selama 23 tahun rakyat Bali tak merayakan Galungan dan terus-menerus digoncang bencana tanpa diketahui sebabnya, sampai saatnya Sri Jaya Kesunu mendapat “jawaban” itu di Pura Dalem Puri.

Bencana yang dikaitkan dengan absennya perayaan Galungan juga ada pada legenda Raja Mayadenawa. Kisah ini bahkan tanpa sumber yang jelas, jadi bisa berbeda versi di masing-masing wilayah di Bali. Namun, inilah kisah yang lebih melekat pada orang Bali dibandingkan lontar Purana Bali Dwipa itu.

Kocap kacarita disebutkan Raja Mayadenawa mengaku sebagai Dewa itu sendiri, sehingga rakyat Bali tak boleh lagi menyembah para dewa. Dialah yang harus disembah. Jangankan merayakan Galungan, bentuk persembahan yang kecil pun dilarang. Tak ada dewa selain Mayadenawa, mungkin begitu slogan yang dikumandangkan Raja Diraja ini.
Apa yang terjadi selama Sang Raja memerintah secara diktator? Bencana demi bencana datang. Rakyat bertambah melarat tetapi Mayadenawa tak pernah peduli akan nasib rakyatnya. Sampailah muncul sang pahlawan yang bernama Dewa Indra, beliau memimpin pasukan menyerang dan membinasakan Mayadenawa. Pesta perayaan kemenangan melawan Sang Diktator dilakukan secara meriah dan entah kebetulan atau memang dipaskan harinya, bertepatan pada Rabu Kliwon wuku Dungulan. Itulah Hari Raya Galungan yang kemudian terus dirayakan setiap enam bulan dalam hitungan wariga Bali – hitungan kalender Masehi setiap 210 hari.

Apakah dua kisah di atas adalah rekaan para leluhur orang Bali dalam memberikan “wawasan dan penerangan” mengenai agama dan ritual yang disesuaikan dengan kemampuan daya serap pada zamannya? Entahlah. Jika itu rekaan, maka itu adalah “kearifan lokal” bagaimana menjelaskan ajaran agama sementara bahan bacaannya tidak ada atau sangat terbatas. Adalah suatu hal yang sangat dipuji – sampai saat ini— bahwa leluhur orang Bali terkenal ahli membuat hikayat dan dongeng yang intinya menyebarkan ajaran agama yang penuh kedamaian dan kasih sayang. Sampai akhir dekade 1970-an, orang Bali pedesaan menidurkan anaknya sambil mendongeng tentang “kedamaian dan kasih sayang” itu. Baru 1980-an dan puncaknya saat ini, anak-anak Bali tak lagi mengenal dongeng karena disibukkan oleh Daremon dan sejenisnya, sementara orang tuanya – kalau televisinya lebih dari satu – menonton sinetron tentang hantu.
Hari Raya Galungan memang hari raya yang “mengusir” bencana, terutama bencana yang datang dari pikiran yang jahat. Pikiran jahat itu dikatagorikan sebagai adharma (bertentangan dengan kebenaran atau dharma). Adharma harus dibunuh sehingga yang muncul adalah dharma alias kebenaran.

Adharma bisa disimbolkan dari datangnya virus jahat itu melalui Sang Kala (Bhuta) Tiga yang terdiri dari Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Bhuta Galungan muncul pada Minggu (Redite) wuku Dungulan, Bhuta Dungulan pada Senin (Soma) esok harinya, sedangkan Bhuta Amangkurat muncul pada Selasa (Anggara), esok harinya lagi, sehari sebelum Galungan. Jadi ketiga bhuta (simbol kejahatan) ini datang tiga hari berturut-turut menjelang Galungan dan itu yang harus kita perangi sehingga pada hari Rabu kita merayakan kemenangan dharma. Sayangnya, kini memerangi bhuta itu tidak dengan pengendalian diri dan membunuh nafsu hewani, tetapi betul-betul menggorok hewan, maka babi pun disembelih dan bau arak berseliweran di antara lawar.

Galungan sebagai kemenangan dharma juga hari bersyukur kepada Hyang Widhi atas terwujudnya bumi yang makmur subur. Berbagai ornamen sesajen Galungan memunculkan lambang kemakmuran, seperti penjor yang dihiasi hasil alam dari padi, jagung, kelapa, buah-buahan dan berbagai jajan. Begitu pula bahan persembahyangan ke pura penuh buah-buahan.

Buah dari mana? Buah dari bumi pertiwi di mana kita menumpang hidup. Leluhur orang Bali “menciptakan” sebuah hari yang disebut Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum Galungan. Di sini umat memuja Hyang Sangkara, dewa tumbuh-tumbuhan. Orang datang ke kebun memberi sesajen kepada segala pohon yang berbuah, dari pisang, kelapa, pepaya, durian, nangka, jambu, dan sebagainya. Orang Bali “mepengarah” (memberitahu) kepada semua pohon itu supaya cepat-cepat berbuah agar bisa dihaturkan pada Hari Galungan, itu sebabnya disebut Tumpek Pengarah.

Ritual itu sampai sekarang dilaksanakan, meski beberapa jenis pohon sudah hilang seperti juwet, sotong, wani, boni dan sebagainya. Nanas, durian, jambu, masih ada. Tapi, apakah sekarang ini ada orang Bali menghaturkan nanas dan durian saat Galungan? Tidak, karena kalah gengsi. Lebih enak buah impor seperti apel. peer, sunkis dan ini semua dibeli di mini market yang sudah bertebaran di pedesaan.
Penjor Galungan masih tetap lestari, kata seorang pejabat. Memang betul, tetapi semua ornamen penjor bisa dibeli di Desa Kapal, Lukluk dan sekitarnya, termasuk padi, kelapa, dan palawija yang menggantung di penjor itu. Kelapa dan telor datang dari Jawa, busung datang dari Sulawesi, padi entah masih dari Penebel atau datang dari Cianjur, Jawa Barat – karena sawah di Bali sudah ditanami “padi nigtig”. Itukah hasil “bumi pertiwi” yang dipersembahkan?

Jika sekarang ini bencana muncul di Bali – bentrok antar warga, pencurian pratima di pura, berkelahi soal kuburan, rabies yang tak kunjung tuntas diberantas dan penyakit sosial lainnya lagi – itu bukan karena Galungan tidak dirayakan, tetapi (jangan-jangan) karena Galungan dirayakan dengan salah kaprah, jauh dari kemenangan dharma.
Lihatlah saat ini ada ritual yang jor-joran, ada Dhanu Kertih, Segara Kertih, Wana Kertih dan sebagainya. Boleh saja ada Dhanu Kertih tetapi kalau danau tidak dikeruk, tak ada manfaatnya. Wana Kertih berbiaya mahal, tetapi biaya gerakan menanam pohon kecil, bagaimana hutan lestari? Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberi contoh “yadnya yang utama”, bukan dengan ritual tetapi gerakan nyata menanam bambu. Bayangkan kalau bambu punah dari Bali, maka lengkaplah sudah, penjor Galungan betul-betul “diimpor” dari luar, orang Bali menghaturkan hasil bumi penduduk luar Bali. Bagaimana Bali bisa ajeg?

Mari kita merayakan Galungan apa adanya, persembahkan isi alam Bali, karena Galungan memang hari raya umat Hindu etnis Bali, umat Hindu yang bukan etnis Bali sama sekali tak merayakannya.

*** Penulis adalah pendeta Hindu, mantan wartawan bernama Putu Setia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar