Sabtu, 15 Februari 2020

Terowongan

Putu Setia | @mpujayaprema

Lazimnya terowongan itu untuk mengalirkan air jika alur irigasi menambrak tebing. Tapi ada terowongan untuk kereta api. Yang banyak terowongan untuk mobil yang biasa disebut underpass. Tiba-tiba ada terowongan silaturahmi.

Namanya unik. Karena itu, banyak orang tertarik nimbrung. Sejatinya terowongan ini hanya untuk pejalan kaki yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral di Jakarta. Andai tanpa embel-embel silaturahmi maka proyek itu biasa-biasa saja. Mempermudah orang ke Masjid Istiqlal jika mobilnya parkir di Gereja Katedral. Atau sebaliknya. Jika pun ada komentar paling soal pengerjaannya yang harus memperhitungkan hujan deras. Jangan sampai terowongan ini kena banjir seperti terowongan (underpass) di Kemayoran. 

Masalahnya, terowongan ini diniatkan sebagai simbul kerukunan umat beragama. Umat Nasrani memarkir mobilnya di masjid dan masuk ke terowongan menuju gereja. Umat Islam juga begitu, memarkir mobilnya di gereja dan masuk terowongan menuju masjid. Saling meminjam tempat parkir ini tentu pada hari-hari raya besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Adha untuk umat muslim, serta Natal untuk umat Nasrani. Hari raya keagamaan umat Islam dan Nasrani, seperti kita ketahui, memakai perhitungan kalender yang berbeda, yang satu berdasarkan peredaran bulan dan lainnya peredaran matahari. Kemungkinan hari raya bersamaan itu bisa saja terjadi, tetapi pastilah teramat langka. Lalu, kapan umat Islam dan Nasrani bersilaturahmi di dalam terowongan?

Oh, maaf. Silaturahmi ini juga simbol, bukan kasat mata bahwa pak haji dan romo pastor bersalaman di terowongan. Simbol bahwa terowongan ini akan menyadarkan umat beragama untuk rukun, saling berbagi, dan menjaga toleransi. Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku, dan kita bertemu di dalam terowongan.


https://youtu.be/Mi3uU47N3c4

Ide cemerlang jika simbol ini mampu meredakan ketegangan yang terus-menerus terjadi di negara ini. Akan menjadi mukjijat jika semua masalah gesekan antar umat beragama bisa diselesaikan dengan cara “mari kita bicarakan di terowongan silaturahmi”. Umat Islam tak lagi meminta gereja ditutup karena mereka sadar ada terowongan silaturahmi. Umat Nasrani juga tak boleh merusak mushola karena ada terowongan silaturahmi. Pura umat Hindu yang dirusak di Bromo, Sumbawa Besar, Lampung dan seterusnya, sesekali diproses secara hukum dan pelakunya dibisiki: “jangan merusak tempat idabah orang lain, kan sudah ada terowongan silaturahmi”.

Rumitnya pasti lebih banyak yang melihat terowongan Istiqlal-Katedral semata-mata “terowongan duniawi”. Sedikit yang melihat dengan panca indra keenam, sebagai “terowongan religius” yang bisa mempersatukan umat ciptakan Tuhan. Artinya, terowongan itu semata-mata untuk pejalan kaki agar tidak ditabrak mobil, sementara urusan intoleransi bersumber dari keyakinan yang sempit di mana perbedaan dianggap hal yang melemahkan iman. Seharusnya di sini pemerintah membuat “terowongan” bagaimana kerukunan antar umat beragama terpelihara.

Caranya? Revisi atau cabut Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2006. Peraturan ini berisi tiga hal, tugas kepala daerah memelihara kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan pendirian rumah ibadat. Tugas kepala daerah tak berjalan, FKUB tak berfungsi, pendirian rumah ibadat sangat diskriminatif. Buat saja RUU Pendirian Rumah Ibadat dan dua point lain serahkan ke majelis agama yang ada. Inilah “terowongan” yang diperlukan untuk terwujudnya silaturahmi.

(Dari Koran Tempo 15 Februari 2020)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar