Putu Setia | @mpujayaprema
Ada wabah baru di dunia kata-kata. New
normal. Istilah ini adalah tatanan kehidupan baru ketika kita tak bisa
mengalahkan virus corona. Kita harus hidup berdampingan secara damai karena
virus ini diprediksi tak bisa hilang. Supaya virus tak masuk ke dalam tubuh, hiduplah
dengan cara baru. Apa itu? Mohon jangan bosan mendengar. Cuci tangan dengan
sabun, pakai masker kalau keluar rumah, jaga jarak aman minimal satu meter,
hindari kerumunan.
Rencana menuju kehidupan normal baru itu dibahas
rapat kabinet. Presiden Joko Widodo meminta semua menterinya untuk menyiapkan
aturan. Menteri Kesehatan menerbitkan keputusan tentang Panduan Pencegahan dan
Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri. Aturan yang
sangat rinci. Bagaimana cara masuk kantor atau pabrik, vitamin apa yang
diminum, apa yang harus dilakukan saat batuk. Menteri Pariwisata tak kalah
gesit, langsung kontak pimpinan maskapai Garuda untuk siap-siap menerbangkan
wisatawan ke Bali. Semua menteri ambil ancang-ancang untuk menggerakkan
perekonomian agar tidak mandeg. Para pengusaha siap membuka mal. Sekolah
dijadwalkan akan dibuka kembali. Kehidupan harus bergeliat. Tidak boleh berhenti
hanya gara-gara virus jahanam yang tak mau kalah total itu.
Tapi, masyarakat banyak tak paham. Bahkan heran
dan bertanya-tanya. Kenapa membeli cabai di pasar harus berjaga jarak dengan
pedagangnya? Kenapa kalau suami menyetir mobil, istrinya harus duduk di
belakang? Kenapa bersembahyang tak boleh berdampingan, harus berjarak semeter?
Lalu kalau bermain sepak bola, tak boleh dong mendekati lawan yang menggiring
bola. Pertandingan tinju juga punah, bagaimana memukul lawan harus berjarak
satu meter? Menonton konser dangdut pun tak bisa nyaman bergoyang.
https://youtu.be/YiH0dnoeAAI
Bukankah itu kehidupan yang tidak normal?
Kenapa tata kehidupan yang tak normal itu disebut normal baru, bukannya
abnormal? Serangkaian pertanyaan ini akan sulit dijawab kalau kita tak bisa
menjelaskan bahwa normal baru itu sesungguhnya juga tatanan kehidupan yang
bukan kita kehendaki. Tujuan ideal adalah normal tanpa pakai baru atau lama.
Barangkali kita tergesa-gesa mau menggerakkan
ekonomi dengan cepat sementara virus corona belum ada tanda-tanda berakhir. Ini
memang dilema besar. Semakin lama perekonomian mati suri, semakin besar bahaya
mengancam. Krisis mahadasyat bisa terjadi. Namun, kalau kita berlama-lama memerangi
wabah ini tanpa kepastian, krisis juga sangat dasyat. Semakin banyak orang
terdampak secara ekonomi, semakin banyak rakyat yang harus dibantu sembako. Sudah pasti imbauan
keluar rumah tak akan digubris karena orang harus bekerja untuk cari makan.
Maju kena, mundur kena. Padahal cara memutus penyebaran Covid-19 itu adalah “di
rumah saja”.
Suara para pengamat kesehatan mungkin perlu
didengar. Kita perlu bersabar sedikit, namun harus bersikap lebih tegas.
Bersabar dalam menunda ke arah new normal. Kalau kasus positif belum turun setidaknya 50 persen selama
dua minggu sejak puncak terakhir, jangan dulu mimpi ke arah new normal.
Virus harus benar-benar bisa dikendalikan dengan tingkat penularan yang rendah.
Itu hanya terjadi dengan pengawasan yang lebih tegas melarang lalu lintas
orang. Apalagi orang dari zone merah ke zone yang sudah hijau. Jika virus sudah
terkendali di suatu daerah, maka di sana boleh diterapkan new normal
yang suatu saat targetnya tetap normal, tanpa pakai new lagi.
Ojo grusu, kata orang Jawa. Tingkat penularan masih tinggi. Belum
saatnya berdampingan dengan musuh yang bernama corona.
(Koran Tempo 30 Mei 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar