Putu Setia | @mpujayaprema
Apakah Anda masih mengikuti berita Covid-19? Masih rajin menonton televisi dan menyimak bagaimana penyebaran virus ini diberbagai daerah? Berapa kasus positif bertambah tiap hari, berapa yang meninggal, dan berapa yang sembuh. Kalau kesehatan Anda tetap prima dan pikiran tenang, tak ada masalah yang serius. Angka-angka itu bagi Anda mungkin seperti menunggu skor Liga Inggris saat masih bergulir.
Namun, ada orang yang tak lagi peduli. Bahkan menutup akses untuk segala informasi mengenai corona. Bagi mereka berita itu justru menjadikan beban pikiran. Menimbulkan rasa takut, panik dan bisa stress. Ini berbahaya karena para ahli menyebutkan, perasaan seperti ini justru mengurangi imunitas tubuh kita yang akhirnya mudah diserang virus. Untuk orang yang tak tahan ini, hentikan saja menonton dan melihat berita-berita Covid-19. Lagi pula tak ada informasi yang Anda dapatkan lagi. Semuanya sudah dibeberkan dan tinggal diulang-ulang. Bahkan Anda bisa bingung karena pengulangan itu bisa tak konsisten. Misalnya, dulu ada ajakan orang sehat tak usah memakai masker, kini semua orang harus memakai masker, sehat apalagi sakit.
Barangkali pemberitaan tentang Covid-19 memakai pola yang menakutkan. Kenapa kita tak mencoba melihat wabah ini sebagai sesuatu yang positif. Misalnya, Covid-19 adalah suatu cara dari kekuatan alam semesta untuk menata kembali bumi ini agar lebih baik di masa depan. Artinya, Covid-19 memberi banyak pelajaran kepada kita bagaimana seharusnya langkah kita saat menumpang hidup di bumi ini.
Ada satu sumber kuno yang mengkaitkan wabah besar dengan pergantian yuga -- siklus bumi alam semesta. Sumber itu adalah sebuah pustaka warisan zaman Majapahit berupa lontar dengan judul Widhi Sastra Roga Sangara Gumi. Berbahasa Jawa Kuno, isinya menjelaskan tentang adanya wabah besar yang menjadi pertanda adanya pergantian yuga. Wabah ini sulit diberantas karena tujuannya menyembuhkan bumi yang sedang sakit. Hanya ada dua cara menghindari wabah ini agar tidak jadi korban. Semua orang masuk ke rumah dan mengurung diri (disebut amati lelungan) dan para rohaniawan juga melantunkan doa dari dalam rumah.
Era atau siklus yuga saat ini disebut kaliyuga, yaitu zaman kegelapan. Ada yang melihat, era ini ditandai dengan berbagai bencana di bumi. Juga keangkuhan manusia sehingga menimbulkan rasa benci, saling hujat dan fitnah. Zaman ini akan berganti menjadi era dvaparayuga yaitu era baru kemanusiaan yang lebih paham arti kesetiakawanan, era kesejagatan yang paras-paros, saling menjaga dalam kesetaraan.
Puncak kaliyuga adalah bumi yang sakit. Terjadi pemanasan global, lobang ozon menganga, konflik di mana-mana bahkan pertentangan akibat perbedaan agama. Sulit diperbaiki, dari mana mengawali dan siapa memulai. Ibarat komputer, bumi ini harus diinstal ulang. Virus yang mahakecil punya kekuatan mahabesar memaksa umat manusia pulang ke rumah. Langit kembali biru karena pabrik di seluruh bumi berhenti. Lubang ozon tertutup, pemanasan global surut, es kembali membeku di kutub. Tak ada gunanya membangun tempat ibadah yang berlebihan. Ibadat sudah nyaman di rumah dan Tuhan bersemayam dalam diri masing-masing. Keluarga pun harmonis.
Covid-19 mengantarkan umat manusia ke era yang lebih baik. Mari bersiap menyongsong yuga baru ini. Hanya orang yang tekun berdiam diri di rumah dan menjaga kebersihan diri secara phisik dan rohani, bisa selamat memasuki era dwaparayuga. Berdiamlah di rumah agar perjalanan virus corona ini segera berlalu.
(Koran Tempo 11 April 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar