Jika pendeta memakai pelindung wajah di saat wabah Covid-19. Inilah sekadar cerita rfingan.
Selesai ngaturang puja di kamar suci, ada nanak ngaturang plastik pelindung wajah. "Niki sukla Nak Lingsir, kari mebungkus," katanya.
Tiyang coba, bagus juga. Selain terlindung dari virus, bisa juga terlindung dari asap dupa, karena umat banyak yg masih pakai dupa nonherbal. Kata dokter bahaya untuk yg mengidap radang paru.
Tiyang paling tak suka munggah pakai kacamata, meski banyak sulinggih yg memakainya. Tiyang merasa janggal saja. Tapi ini new normal, urusannya kesehatan, bukan janggal dan tidak. Sepertinya penting untuk jaga diri.
Kita tak tahu kapan covid19 berakhir. Ada yg bilang masih lama, bisa 2 tahun lagi sebelum vaksin ditemukan. Yg susah kita tak tahu siapa yg membawa virus itu, bisa teman baik, bisa sulinggih lain, pemangku dll yg kelihatan sehat. Ini disebut OTG -- orang tanpa gejala. Artinya kita diwajibkan curiga terhadap semua orang di luar rumah, karena itu harus jaga jarak, pakai masker dll sesuai protokol kesehatan. Sulinggih juga manusia biasa, harus ikuti protokol itu.
Tapi bagaimana memuja dgn memakai masker? Dengan begitu pelindung wajah ini sepertinya cocok untuk muput yadnya. Tentu yg sukla (khusus dipakai sendiri) dan juga dikenakan setelah diperciki tirtha -- seperti memakai genitri, dllnya.
New normal adalah tatanan kehidupan baru. Kita tetap bekerja, tetap produktif, sulinggih tetap muput, yadnya tak boleh dilarang, tapi... nah itu... harus tetap ketat dgn protokol kesehatan karena corona masih ada.
Bagaimana tanggapan semeton kalau sulinggih memakai pelindung wajah ini? Tiyang belum memakainya, ini cuma peragaan saja anggen pebligbagan.
*rahayu sareng sami
*produktif di era new normal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar