Oleh Ida Pandita
Mpu Jaya Prema Ananda
RANGKAIAN Hari
Raya Galungan kali ini tergolong istimewa. Orang selalu menyebutkan Galungan
digandengkan dengan Hari Raya Kuningan, karena memang tak bisa dilepaskan. Ada
kaitan di kedua hari raya itu. Uniknya kali ini, Galungan dan Kuningan
dipisahkan oleh tahun masehi. Galungan pada tahun 2018 dan Kuningan pada tahun
2019.
Penampahan
Galungan juga bersamaan dengan Hari Raya Natal, kelahiran Yesus Kristus dalam
keyakinan umat Nasrani. Jadi pada Natal hari kedua persis bertepatan dengan
Galungan, hari kemenangan dharma menurut keyakinan umat Hindu di Indonesia. Dua
agama besar merayakan hari sucinya yang sama-sama menyiratkan sebuah
kebahagiaan.
Lalu ada
lagi yang istimewa bagi umat Hindu dalam kaitan dengan penyucian diri yang
memang harus dilakukan untuk merayakan kemenangan dharma. Yakni pada hari Sabtu
ini adalah Purnama Kepitu. Dengan demikian pada Sabtu dua minggu mendatang,
yang bertepatan dengan Hari Kuningan akan bertepatan dengan Hari Siwaratri,
malam pemujaan Siwa sebagai malam tergelap sepanjang tahun. Ini pun hari yang
baik untuk menyucikan rohani dengan melakukan brata Siwaratri.
Boleh
dikatakan bahwa hari Sabtu ini, pada Purnama Kepitu adalah puncak dari segala ritual
penyucian diri itu sebelum menyongsong Galungan. Kamis dua hari yang lalu ada
disebut Sugian Jawa, hari yang dirayakan oleh umat Hindu untuk membersihkan
lingkungan sekitarnya. Jawa berasal dari kata Jaba yang berarti luar. Banyak
yang keliru mengartikan Jawa ini sebagai pulau di sebelah Bali, apalagi hari
Jumat kemarin disebut Sugian Bali, seolah-olah kata Jawa dan Bali itu merujuk
kepada nama pulau. Kesalah-kaprahan itu membuat ada yang beranggapan Sugian
Jawa hanya dirayakan oleh umat Hindu yang leluhurnya datang dari Jawa, yaitu
Majapahit. Sedangkan Sugian Bali dirayakan oleh umat Hindu yang leluhurnya
memang asli Bali yaitu Bali Mula.
Padahal keduanya
harus dirayakan karena berbeda pengertiannya dan bukan menunjukkan asal-usul.
Makna kedua hari itu sama yakni pembersihan. Sugian itu artinya pembersihan,
bukankah dalam bahasa Bali kata mesugi
itu artinya membersihkan muka? Pada
Sugian Jawa (hari Kamis Sungsang) yang dibersihkan adalah alam semesta (bhuana agung), sedangkan
Sugian Bali (Jumat Sungsang) mengadakan pembersihan kembali (mewali) yakni penyucian diri sendiri
(bhuana alit).
Nah, jika
Sabtu ini disambung dengan bulan purnama, tentu sesuatu yang lebih membawa
berkah. Jadikan saja ini sebagai pusat dari segala pembersihan yang telah dilakukan
untuk bhuana agung dan bhuana alit. Karena mulai besok selama
tiga hari, umat Hindu akan dihadapkan dengan godaan besar, yakni datangnya Sang
Bhuta Tiga. Hari Minggu besok kita digoda oleh Sang Bhuta Galungan yang disebut
hari penyekeban. Hari Senin digoda oleh Sang Bhuta Dungulan yang disebut
hari penyajaan atau pengejukan. Dan hari Selasa digoda Sang
Bhuta Amangkurat, disebut sebagai hari penampahan.
Ketiga simbol bhuta itu harus mampu kita lawan karena sejatinya itu adalah
simbol dari nafsu buruk kita. Dengan mengalahkan nafsu buruk ini kita bisa
melaksanakan Galungan sebagai hari kemenangan dharma.
Penyucian itu menjadi penting karena
dengan membersihkan hati terlebih dahulu barulah kita bisa merayakan hari yang
suci. Rentetan pembersihan sebelum Hari Raya Galungan itu yang membuat kita
lebih tahan menghadapi nafsu buruk yang dilambangkan oleh Sang Bhuta Tiga agar
bisa merayakan Galungan dengan lebih baik.
Jangankan
menyambut Galungan yang menjadi “rahinan jagat”, setiap jenjang ritual dari
yang paling kecil sampai yang besar, pasti dimulai dengan pembersihan diri agar
kita menjadi suci. Manusia diberi Tri Pramana yaitu sabda (berkata-kata), bayu
(bernapas) dan idep (pikiran). Ketiga
aspek inilah yang disucikan setelah melakukan pembersihan ke seluruh tubuh
sebagai badan kasar yang sebelumnya juga dimulai dengan pembersihan lingkungan
sekitar kita.
Bukankah sebelum
melakukan persembahyangan kita terbiasa membersihkan badan phisik terlebih dahulu,
misalnya, mandi? Pasti perasaan lebih segar. Namun, dalam keadaan terpaksa kita
bisa dengan hanya mencuci tangan, muka, rambut, kaki dan sebagainya. Atau jika
lebih terpaksa lagi, misalnya, tidak ada air, maka kita bisa melakukan
penyucian diri dengan melantunkan doa yang disebut karasodana. Hakekatnya adalah mari bersihkan hati kita sebelum
bersembahyang, apalagi persembahyangan itu menyambut hari yang suci. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar