MOHON
DOA
Astungkara,
bertepatan pada ulang tahun saya ke 68, April 2019, novel saya terbaru akan
terbit. Judulnya “Lentera Batukaru”, sebuah novel semi biografi dengan setting
politik tahun 1965 penumpasan PKI, setting politik 1971 Pemilu pertama Orde
Baru dengan penggolkaran di Bali, juga disertai pergolakan kasta. Bercampur
antara drama keluarga, pergolakan kasta dan politik kekerasan di Bali. Sebagian di bawah ini
adalah cuplikan kisahnya.
Cuplikan dari Bab 2:
Kena Garis
HAH...
apakah saya salah lihat? Sungguh suatu kejadian yang mengerikan dan pemandangan
yang aneh saya rasakan di pagi itu. Ada dua orang yang menggotong orang
sekarat, seperti menggotong babi yang mau disembelih. Orang itu masih hidup
kelihatan dari perutnya yang kembang kempis, darah meleleh di tubuhnya. Ya,
ampun kok digotong seperti itu? Penggotong itu dikawal oleh empat tentara
bersenjata, yang berjalan di belakangnya. Rombongan itu datang dari desa di
sebelah timur dusun dan akan menuju markas tentara di dekat kantor PNI.
Saya
melongo, tapi saya terus menonton. Saya tak punya perasan takut waktu itu, aneh
juga. Hanya merasa heran, cuma itu. Ketika sampai di sekolah, saya dipanggil
Pak Dedeh.
“Putu,
apa anak-anak IPPI bisa diberikan surat keterangan simpatisan GSNI?”
“Untuk
apa Pak, surat keterangan?”
“Ada
pengumuman, mulai minggu depan ada pemeriksaan di jalan-jalan oleh tentara.
Kalau tak punya kartu identitas partai akan ditangkap, karena artinya itu pasti
PKI yang sudah menghilangkan kartu partainya. PKI dan akar-akarnya akan
dibasmi, istilahnya kena garis.”
Saya
lama terdiam.
“Bisa
tak?”
“Bisa
Pak, tapi cari stempel GSNI di mana?”
“Ya,
pakai stempel GSNI yang ada di dusun Putu, kan Putu sudah membentuk GSNI di
desa.”
“Kalau
ketahuan, malah bahaya. Kan mereka jelas bukan orang dusun saya.”
“Ya,
juga,” Pak Dedeh seperti bergumam. “Kalau buat stempel GSNI Komisariat SMPN,
bisa nggak?”
“Bisa,
tapi buatnya di Tabanan.”
“Ya,
nanti saya buatkan. Ini sudah gawat, saya harus menyelamatkan anak didik.”
Hanya
dua hari setelah itu, Pak Dedeh sudah memiliki stempel GSNI Komisariat SMPN.
Membuat stempel waktu itu tinggal diukir sendiri oleh tukang stempel. Pak Dedeh
bersama Ibu Gedong – seorang guru wanita yang bujangan mengajar administrasi --
membuat surat keterangan dengan tulisan tangan.
Ada
sekitar sepuluh buah surat keterangan sebagai simpatisan GSNI SMPN. Saya yang tanda
tangan. Kemudian distempel. Surat itu diberikan kepada empat murid perempuan yang
tinggalnya di desa sebelah utara kota kecamatan, dan lima murid lelaki yang tinggal
di sekitar desa S, 3 km dari kota kecamatan. Yang satu saya tak tahu diberikan
kepada siapa. Surat keterangan itu singkat saja, hanya menerangkan pembawa
surat itu adalah simpatisan GSNI di SMPN dan “tidak terlibat baik secara langsung
maupun tidak langsung dengan PKI”.
Hari-hari
berlalu dengan ketegangan di mana-mana. Mobil umum sudah jarang yang lalu
lalang. Kebanyakan mobil jeep tentara, ada yang membawa orang diborgol, ada
yang sudah babak belur, dan ada yang sudah nyaris jadi mayat. Orang-orang PKI
yang kena garis itu dimakamkan –
maksud saya dibuatkan lubang sederhana lalu ditimbun – di dekat pantai barat
Bali. Ada imbauan dari tokoh-tokoh agama di Bali, supaya mayat orang PKI dikubur
meski pun seadanya, jangan dibuang begitu saja di sungai seperti di Jawa.
Sungai di Bali dianggap suci.
Suatu
pagi, ketika menuju sekolah, saya melihat ada orang sebaya saya yang tergeletak
di depan rumah yang ditempati tentara. Orang itu sudah sekarat, tapi dari
mulutnya masih ada suara berdesis, persis seperti babi yang sudah digorok. Saya
mendekati dari jarak sekitar 3 meter – aneh kok saya berani.
Seorang
tentara dengan mengenakan baju kaos mengambil air got dengan ember, lalu
menyiram kepala anak itu. Ketika masih ada suara mendesis, tentara itu
menendang kepala si anak sekarat.
Duh.
Saya kemudian menutup muka saya karena kagetnya. Ternyata si anak sekarat itu
adalah murid SLUB yang suka pidato dalam acara “kampanye” dan yang berteriak di
malam hari di warung depan kost saya, malam-malam di awal keributan ini.
Mobil
jeep datang, pintu belakang dibuka. Dua tentara menggotong anak sekarat itu dan
dilemparkan begitu saja ke atas mobil. Jeep lalu bergerak ke arah barat, ya,
pastilah menuju pantai untuk “membuang” anak itu.
Cuplikan dari Bab 2:
Anjing Melolong Dini Hari
Mbok
Ngarti pun bercerita dengan sedih ketika suaminya diambil tentara. Dini hari
itu semuanya pada tidur lelap. Keluarga ini baru saja selesai bersembahyang di
pura dekat rumahnya, persembahyangan Rabu Kliwon Wuku Sinta yang dikenal di
Bali dengan sebutan Hari Pagerwesi. Mereka baru pulang setelah tengah malam dan
semuanya bergegas tidur malam itu. Kebiasaan mereka pada malam hari kalau
anak-anak sudah tidur maka lampu templok dimatikan. Menghemat minyak tanah yang
terasa semakin mahal dan untuk mendapatkannya harus membeli secara antre.
Tiba-tiba
ada yang menggedor pintu rumahnya.
Mbok
Ngarti yang terjaga paling dulu.
“Sire nike?” tanyanya dalam bahasa Bali,
yang artinya, siapa itu?
“Tentara.
Ayo yang PKI segera keluar,” jawab seseorang, memakai bahasa Indonesia.
Mbok
Ngarti seperti copot jantungnya. Ia kaget bukan main. Malam begitu gelap. Ia
langsung bangun dari tempat tidur dan menggapai-gapai meja kecil di samping
tempat tidur. Ia mau meraih korek api.
Tapi
sinar lampu senter sudah masuk dari celah pintu rumah. Dan seketika pintu itu
didobrak sampai rubuh. Pintu rumahnya itu memang sudah rapuh bahkan sebenarnya
tidak pernah dikunci. Hanya diganjal kayu kecil dari dalam.
“Mana
yang PKI. BTI juga PKI, sama aja....” teriak seorang tentara sambil mengarahkan
senternya ke tempat tidur. Nyoman Mastra terkesiap bangun. Entah karena
teriakan tentara itu, entah karena sinar senter yang terang di kegelapan itu,
atau malah karena anak perempuannya, Made Kerti, yang menangis keras.
“Apa
salah saya Tuan?” Mbok Ngarti bertanya di antara ketakutan.
“Suamimu
BTI, kaki tangan PKI. Pemberontak, pembunuh jendral di Jakarta.”
“Suami
saya orang gunung....”
“Mana
dia, I Nyoman Mastra kan nama lengkapnya? Ada dalam daftar.”
Nyoman
Mastra langsung membuka selimutnya. Kerti semakin keras tangisnya, sementara
Wayan Sunawa, anaknya yang besar ada di tempat tidur lain. Entah bangun dan
menahan takut atau masih terlelap.
Nyoman
Mastra turun dari tempat tidur. Belum sempurna dia berdiri tangannya sudah
ditarik tentara. Mbok Ngarti melihat suaminya terhuyung hampir jatuh sambil
memberbaiki kain sarungnya. Tiga tentara terus meringkus Mastra dan menyeret
keluar pintu rumah, sementara seorang tentara menyorotkan senternya. Masih ada
dua atau tiga tentara lain, Mbok Ngarti tak jelas benar berapa tentara yang
bertugas dini hari itu. Di luar banyak anjing menggonggong, tetapi tak
terdengar suara orang, kecuali si bocah Kerti yang terus menangis.
“Memangnya
Bli Mastra diam saja tak melakukan perlawanan?” tanya saya.
“Kejadiannya
begitu cepat dan mungkin Bli gelagapan sampai tak bisa omong. Lagi pula Bli kan
orangnya memang pendiam begitu, ngomong apa....” Mbok Ngarti menangis.
Saya
tak berani bertanya apa-apa lagi. Tadinya saya ingin tahu akan dibawa ke mana
Bli Mastra. Di mana markas tentara itu. Barangkali jika tentara itu yang
bermarkas di sebelah kantor Kordinator PNI Kecamatan B, saya bisa membantunya.
Setidaknya menanyakan kenapa Bli Mastra diciduk dan bagaimana nasibnya.
Beberapa tentara dari Jawa di Kecamatan B itu ada yang saya kenal. Di Kecamatan
P tak ada tentara yang bertugas menumpas PKI. Tetapi pertanyaan itu tak sampai
saya ajukan, saya pikir Mbok Ngarti pasti pula tak tahu apa-apa. Diciduknya
saja dini hari, malam gelap yang dingin dengan gonggongan anjing semata.
“Saya
betul-betul tak paham apa yang terjadi. Dua hari saya mengungsi di kebun, tidur
di pondok bersama dua anak yang terus menangis menanyakan ayahnya. Untung masih
ada seorang mantri suntik yang bertugas di desa ini membawakan beras untuk
dimasak. Saya pulang ke desa setelah diberitahu Kelihan Dinas kalau saya tak
kena garis, apalagi anak-anak masih kecil. Yang kena garis cuma Bli Mastra
saja. Itu pun pasti ada orang jahat yang melaporkan macam-macam, Hik... hik...”
Mbok Ngarti kembali menangis.
Made
Kerti bangun. Bocah ini kalem saja, tidak menangis seperti bocah lain ketika
bangun tak melihat ibunya. Barangkali dia sudah memahami situasi apa yang
menimpa keluarganya. Mbok Ngarti menghampiri anaknya itu dan menggendongnya.
“Siapa
kira-kira yang melaporkan Bli?”
Mbok
Ngarti lama tak menjawab pertanyaan saya.
Cuplikan dari
Bab 7: Drama Politik yang Menyebalkan
5 Juli 1971
PEMILU pertama di masa pemerintahan Soeharto berlangsung hari ini. Sejak
merdeka ini adalah pemilu yang kedua, yang pertama tahun 1955. Tentu saya tak
tahu bagaimana pemilu tahun 1955 itu, saya kelahiran 1951 dan ini adalah pemilu
pertama untuk saya. Seperti pesan yang disampaikan Made Arya saya pun siap
untuk mencoblos. Tapi mencoblos gambar apa, itu yang saya tidak siap ketika
berangkat menuju tempat pemungutan suara di balai Banjar Abasan, belakang
Museum Bali.
Sambil menunggu antrean dipanggil untuk mencoblos,
seorang lelaki parlente – saya tak jelas apa itu panitia pemilihan atau aparat
desa – membagikan selembar kertas bergambar.
“Sudah tahu caranya mencoblos? Pelajari di gambar
ini,” katanya.
Saya perhatikan gambar itu. Ada tangan yang memegang
paku mencoblos tanda gambar nomor 5, gambar Golkar. Tapi tangan dalam gambar
itu menutupi tanda gambar PNI-Masa Marhaen nomor 8. Ini pelajaran yang harus
saya cela. Sejak awal saya sudah berniat tidak akan mencoblos Golkar. Saya tak
suka dengan tentara yang sok tahu dan sok ngatur itu. Saya tak suka cara Golkar
menarik pendukung yang menimbulkan banyak korban. Pernah berpikir untuk
mencoblos Nahdatul Ulama, gambar nomor 3. Atau partai Murba, gambar nomor 7.
Alasan saya sederhana saja, ada gambar bintangnya. Saya suka melihat bintang.
Tetapi akhirnya idealisme saya menentukan lain. Saya
tetap konsisten, mencoblos apa yang sudah saya yakini benar. Saya tak mau
mengingkari hati nurani.
Usai pencoblosan Made Arya mengundang orang kost untuk
minum-minum bir. Saya tak suka bir karena pahit rasanya. Tetapi dipaksa dan
tetap dapat bagian segelas. Tak mampu saya habiskan sementara yang lain malah
menambah. Meski minum kurang dari segelas, malamnya perut saya mules. Saya tak
tahu apa karena bir itu atau karena makan rujak
kuah pindang. Sulit saya tidur.
Tiba-tiba pintu kamar digedor.
“Putu Setia... keluar... keluar... sekarang juga...”
Saya mendengar Made Arya berteriak sambil menggedor
pintu. Padahal pintu tak terkunci karena memang sejak dulu tak pernah ada kuncinya.
Saya dengar pula ada suara orang-orang lain. Begitu pintu saya buka, saya
melihat Made Arya sudah dipegang oleh dua orang lelaki.
“Kamu mencoblos PNI ya? Bangsat kamu, sudah saya
ingatkan, coblos Golkar...” Arya berteriak tetapi badannya yang kekar itu masih
dipegang orang.
Istri kedua Made Arya rupanya datang, memakai daster.
“Dia coblos PNI, Banjar ini sudah menyatakan siap
memenangkan Golkar seratus persen. Eh ada dua orang yang mencoblos lain. Yang
satu mencoblos partai Islam... apa itu... PSII.. apalah. Satu lagi coblos PNI,
bangsat ini yang nyoblos.,.. huk... huk...”
Arya muntah kecil, sepertinya dia lagi mabuk.
“Tapi kan sudah tetap seratus persen Bli?” suara
istrinya.
“Ya tetap seratus persen Golkar, itu sudah janji.
Coblosan partai Islam dan PNI sudah dicoblos lagi oleh panitia, jadi dianggap
tak sah. Yang nyoblos partai Islam itu pasti salah lihat, tak perlu diusut, kan
tak ada orang Islam di banjar ini. Yang nyoblos PNI ... bangsat ini... bikin
malu rumah kost saya... huk...huk...” Arya semakin banyak muntahnya.
Dua lelaki menggiring Arya ke kamar mandi. Istri kedua
Arya langsung menghampiri saya.
“Dik Putu... lari saja cepat-cepat... Nanti tambah
ribut... ayo cepat...”
Saya langsung mengambil baju tanpa sempat memasukkan
ke dalam tas. Saya berlari keluar sementara Arya saya dengar masih muntah. Saya
menuju tempat Sukijo untuk menyelamatkan diri. Untung dia belum tidur. Saya
langsung menyebutkan saya harus dilindungi di balik tumpukan koran. Saya mau
dibunuh Made Arya. Sukijo kaget tetapi percaya.
“Kenapa salahmu?” tanya Sukijo.
“Tadi nyoblos PNI...”
“Modar...
untung gak digantung...”
Semoga sesuai dengan target.
BalasHapus