Mpu Jaya Prema
KOMISI Pemilihan Umum sesuai jadwal akan mengumumkan
hasil pemilihan umum serentak pada 22 Mei lusa. Apa yang akan terjadi di
Jakarta, terutama di kawasan sekitar gedung KPU? Yang jelas sudah pasti banyak
massa di sana. Kepolisian saja sudah mengumumkan akan mengerahkan tiga ribu
lebih personelnya untuk mengawal pengumuman KPU itu. Belum lagi TNI yang
diperbantukan.
Kedua kubu, baik kubu 01 pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin
maupun kubu 02 pasangan Prabowo-Sandiaga dipastikan akan meramaikan kawasan
itu. Terlebih-lebih kubu 02 yang sudah sejak lama mengumumkan pengerahan massa
untuk mencoba menghentikan langkah yang diambil KPU. Target mereka adalah KPU
batal mengumumkan hasil penghitungan suara dengan dalih pemilu banyak
kecurangannya. Tokoh-tokoh elit di kubu 02 semula memakai istilah people power, namun karena pemerintah
cepat bertindak dan menyebut langkah itu adalah tindakan makar, maka istilah people power tidak dipakai lagi.
Penggantinya istilah “gerakan kedaulatan rakyat”. Ajakan untuk
berbondong-bondong ke Jakarta pun diganti menjadi “rakyat dengan kesadaran
sendiri yang datang ke Jakarta”.
Membaca situasi yang bernada ancaman ini, aparat
keamanan tetap saja waspada namun tanpa berlebihan. Aparat sepertinya sudah
terbiasa dengan ancaman seperti itu. Namun yang menggembirakan, gerakan people power atau apa pun istilah yang
menggantikannya mulai mendapat perlawanan di masyarakat. Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Jawa Barat sudah menyebutkan people power itu sebagai tindakan haram dan meminta umat Islam di
Jawa Barat tidak datang ke Jakarta.
Yang menarik, di akar bawah tak semua pendukung
Prabowo-Sandi sepakat dengan gerakan pengerahan massa menolak penghitungan
suara KPU. Di beberapa kota di Jawa bahkan kubu 01 dan 02 saling bergandengan
tangan untuk menolak datang ke Jakarta, bahkan menolak juga aksi serupa jika
dilakukan di daerah. Partai koalisi Prabowo-Sandi juga menyikapi hal ini dengan
cara berbeda. Partai Demokrat sejak awal tidak setuju, baik dengan cara menolak
penghitungan suara KPU atau pun untuk melakukan people power. Partai Amanat Nasional (PAN) lewat wakil ketua
umumnya, Bara Hasibuan juga tak sepakat dengan langkah Prabowo dan elit-elit
Gerindra di Jakarta.
Gerakan yang menentang penggerudugan KPU pada 22 Mei
nanti juga datang dari kepala daerah. Di Bogor ada pertemuan 8 kepala daerah
dan 2 tokoh muda nasional. Di antaranya ada Gubernur Sulawesi Selatan, Gubernur
NTB, Walikota Bogor (yang menjadi pemrakarsa), Walikota Tangerang Selatan, di
tempat-tempat yang justru Prabowo-Sandi menang. Awalnya Gubernur Jakarta, Anies
Baswedan, juga mau gabung di Bogor padahal dia dikenal dekat dengan Prabowo.
Tapi Anies batal gara-gara harus menerima piagam WTP dari BPK yang tak boleh
diwakili, apalagi wakil gubernur DKI masih kosong. Semua langkah ini memberikan
sinyal baik untuk mendinginkan suasana. Seperti yang dikatakan Gubernur Jawa
Barat Ridwal Kamil, suasana di daerah harus tetap kondusif dan tak terpengaruh
oleh situasi panas di Jakarta. Dengan demikian seandainya situasi Jakarta terus
memanas pada 22 Mei dan seterusnya, di daerah-daerah tetap saja dingin.
Bagaimana dengan Bali? Sudah bisa diprediksi bahwa
Bali pastilah aman dan tak akan ikut-ikutan situasi Jakarta. Kemenangan
Jokowi-Ma’ruf yang begitu besar sepertinya tak membuat Bali panas. Partai
koalisi pendukung Prabowo-Sandi tergolong kecil. Kader dan massa Partai
Demokrat dan PAN di Bali sudah pasti akan mengikuti irama pimpinan pusatnya,
tak akan ikut-ikutan. PKS di Bali rasanya terlalu kecil untuk membuat gerakan
“turun ke jalan”. Bagaimana dengan Gerindra? Kita berharap mereka menahan diri.
Keamanan Bali adalah taruhannya, jangan korbankan Bali untuk kepentingan
politik yang sama sekali tidak sehat ini.
Prabowo-Sandi jelas memainkan politik tidak sehat.
Mereka selalu menyebutkan pemilu 2019 ini penuh dengan kecurangan. Bahkan
kecurangan itu sudah dikatakan sebelum pencoblosan 17 April lalu. Tetapi kenapa
tetap saja mengikuti tahapan pemilu?
Tiba-tiba mereka mengklaim menang dengan perolehan
suara 62 persen. Kemudian diralat menjadi 54 persen. Mereka menyebutkan punya
bukti-bukti lengkap soal itu. Jika demikian halnya, kenapa mereka tidak
menggugat ke Mahkamah Konstitusi jika nanti dinyatakan tetap kalah oleh KPU?
Beberkan saja bukti itu dalam sidang di MK, masyarakat akan ikut menilainya
karena sidang terbuka untuk umum. Gugatan ke MK ini adalah prosedur hukum yang
benar sesuai dengan Pasal 475 UU Pemilu No 7 Tahun 2017.
Namun, Prabowo tak percaya dengan MK. Mereka sudah
menyatakan tak akan mengajukan gugatan ke MK dan lebih memilih gerakan massa
yang disebut people power atau
kemudian diganti menjadi kedaulatan rakyat. Aneh.
Tetapi sesungguhnya jika Prabowo tetap konsisten
dengan pernyataannya tak percaya dengan MK dan tidak mengajukan gugatan, persoalan
sudah selesai. Jokowi-Ma’ruf resmi sebagai presiden dan wakil presiden terpilih
setelah tiga hari tak ada gugatan. Sebagian besar rakyat pastilah senang karena
hal yang menyita waktu berbulan-bulan ini sudah selesai. Kita capek dengan
persoalan capres-caprean. Ada pun masalah keamanan, jika memang ada gejolak,
biarkan saja aparat yang mengurusi itu dengan penegakan hukum yang lebih keras
demi ketentraman masyarakat.
Mari kita jaga kerukunan setelah tahapan pemilu yang
terakhir ini usai dengan ditetapkannya siapa pemenangnya. Kalau pun terjadi
gejolak di Jakarta, biarkan saja gejolak itu bersifat lokal, jangan sampai
merembet ke daerah-daerah. Apalagi sampai merembet ke Bali. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar