Putu Setia | @mpujayaprema
PADA saat pasangan Prabowo–Megawati dan Anies
Baswedan–Surya Paloh makan siang di lokasi berbeda di kawasan Menteng, Jakarta,
saya pun makan bersama keluarga di kampung lereng Gunung Batukaru. Hari itu,
Rabu Kliwon 24 Juli lalu adalah Hari Raya Galungan, hari yang dirayakan umat
Hindu sebagai “hari kemenangan”.
Empat tokoh republik itu barangkali tak perhatian
kalau hari itu adalah hari yang baik untuk mencapai kemenangan dalam meniti
hidup. Kecuali mungkin Anies karena dia sempat mengirim ucapan Galungan lewat media
sosial.
Siapa saja yang memperoleh kemenangan? Saya kira
semuanya. Tentu kemenangan versi mereka sendiri. Kemenangan yang berbeda karena
targetnya sudah jelas beda.
Megawati merasa menang karena berhasil mengajak
Prabowo ke rumahnya lewat diplomasi politik nasi goreng. Berkali-kali dia
menyebutkan nasi goreng telah meluluhkan hati Prabowo. Kedua ketua umum ini pun
pernah “bermesraan” dalam satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
pada pemilihan presiden 2009. Tetapi kalah oleh pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Budiono. Kini Mega bisa berkata: “Lihat nih siapa yang bisa
meluluhkan hati lawan.”
Prabowo mencuri kemenangan besar karena tidak ada
kamus kalah dalam perjuangannya “memperbaiki martabat kehidupan bangsa”.
Kengototan memenangi pemilihan presiden sudah dilakukan secara terstruktur dan
sistematis, bahkan sejak sebelum pemungutan suara dilakukan. Menuduh pemilu
curang namun gagal dalam gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena tak meyakinkan
dengan bukti-bukti, tak menyurutkan langkah untuk membawa Gerindra ke puncak
kekuasaan. Kini lewat nasi goreng, langkah menuju kekuasaan itu hampir pasti, minimal
membaginya. Prabowo telah mengobrak-abrik keutuhan Koalisi Indonesia Kerja,
koalisi partai pendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.
Memang, Golkar, Nasdem, PKB dan PPP gerah. Ketua
umum keempat partai ini sempat berkumpul dan memberikan sinyal “menggagalkan”
pertemuan Jokowi, Megawati dan Prabowo. Keempat partai yang tak suka Gerindra
masuk ke pelukan Jokowi – karena akan mengurangi jatah kekuasaan mereka di
pemerintahan – hanya berhasil membuat Jokowi urung dalam pertemuan nasi goreng
itu, tetapi tidak membatalkan perjumpaan Mega-Prabowo.
Namun Surya Paloh menemukan cara mengusik. Pada
hari yang sama, Surya bertemu dengan Gubernur Jakarta Anies Baswedan. Tiba-tiba
saja publik dikejutkan pujian Surya Paloh untuk Anies Baswedan dengan menyebut
Anies sebagai calon potensial untuk kepemimpinan di masa datang. Surya memenangi
perhatian publik setidaknya membuat diplomasi nasi goreng punya tandingan.
Bagaimana dengan Anies? Sedikit salah tingkah
dengan manuver Surya, sesungguhnya dialah sang pemenang. Hujatan sebagai
gubernur yang hanya pandai menata kata dan bukan menata kota, gubernur yang
didukung kelompok intoleran, kini terbalik. Dia dipuji oleh pimpinan partai
yang pendukungnya adalah penghujat Anies.
Yang kalah adalah rakyat yang tak henti disuguhi
kegaduhan politik. Jarang dalam sejarah republik, memilih presiden seribet ini.
Juga tatkala presiden akan memilih menterinya, hebohnya tak ketulungan, padahal
presiden bisa bekerja senyap karena punya hak prerogatif. Rakyat berharap
pemerintah mengurangi tensi politik, kembali bersama rakyat. Misal, memperbaiki
sistem zonasi penerimaan siswa baru yang amburadul, mengurai ribetnya mengurus
rujukan jika sakit mengandalkan BPJS, memperhatikan ancaman kekeringan yang menyulitkan
air bersih. Ternyata masih disuguhi tontonan para elit berebut kekuasaan. Duh...
(Dari Koran Tempo Akhir Pekan 27 Juli 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar