Putu Setia | @mpujayaprema
Negeri ini sudah biasa kebanjiran. Alam sudah rusak. Setiap
awal tahun, selalu bencana itu muncul. Tahun lalu, tujuh daerah di Nusantara
dilanda banjir besar, di luar Jakarta. Korban pun tidak sedikit. Di Sulawesi
Selatan, misalnya, Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) mencatat 79 orang meninggal, 1 orang hilang, 48 orang luka-luka,
dan 6.757 orang mengungsi akibat banjir, di akhir Januari 2019 itu.
Tapi hanya di Jakarta banjir diributkan
berhari-hari. Barangkali karena Ibu Kota kewalahan menghadapi banjir, sehingga
solusi terbaik yang dipilih Presiden adalah memindahkan ibu kota. Ibu kota yang
baru diharapkan bebas dari banjir. Akan halnya Jakarta itu terserah
gubernurnya.
Di Jakarta berkumpul orang-orang cerdas,
juga orang-orang kaya, yang ikut terkena dampak banjir. Termasuk para politikus,
sehingga urusan banjir tak lagi soal bagaimana mencari solusi agar air tak
menggenangi jalan, masuk ke rumah gedongan, menghanyutkan mobil, dan
seterusnya. Namun, bagaimana air yang menggenang di berbagai tempat itu menjadi
alat untuk menjatuhkan lawan politik. Maka tak mengherankan kita mendengar
saling tuding siapa yang salah dalam urusan banjir di tengah-tengah mayarakat
kecil meminta pertolongan karena masih berada di atas atap.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki
Hadimuljono, misalnya, menyebutkan salah satu penyebab banjir yang melanda DKI
Jakarta karena tidak selesainya normalisasi Kali Ciliwung.
https://youtu.be/u_jwrpThEZI
Menurut Basuki, dari target 33 kilometer yang berhasil dinormalisasi baru 16 kilometer. Ia kecewa dengan kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak kunjung menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Menurut Basuki, dari target 33 kilometer yang berhasil dinormalisasi baru 16 kilometer. Ia kecewa dengan kinerja Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak kunjung menyelesaikan pekerjaan tersebut.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan menyebutkan
normalisasi macet karena pembebasan lahan yang teramat sulit. Kita tahu bahwa di
seluruh Nusantara jika ada pembebasan lahan untuk proyek menjelimetnya setengah
mati. Sembari menunggu pembebasan lahan, Anies memperkenalkan apa yang disebut naturalisasi.
Biarkan pinggir sungai tak dibeton, sehingga air yang melimpah bisa diresap
secara natural.
Lalu Anies pun menyentil, apa pun yang dilakukan di
hilir kalau hulunya tak dibenahi maka banjir terus akan terjadi, karena air
bebas mengalir ke pesisir tanpa ada hambatan. Jakarta adalah kota pesisir.
Artinya dua bendungan yang mau dibangun pemerintah untuk menghadang air dari
hulu harus segera diselesaikan.
Nah, perdebatan cerdas ini dilakukan di tengah-tengah
masyarakat yang menjerit minta dievakuasi dan pengungsi yang membutuhkan
makanan segera.
Polarisasi pun muncul dari banjir. Ada yang mengaitkan
banjir besar di hari pertama tahun berangka istimewa ini sebagai azab. Sebutlah
semacam kutukan. Bagaimana kata azab itu bisa muncul? Maka publik diingatkan
pada pilkada yang menaikkan Anies Baswedan dan menjungkalkan Basuki Tjahaya
Purnama. Ini bisa bercanda, tapi mungkin juga serius.
Bisa jadi pula Tuhan Yang Maha Asyik ingin nenguji
sejauh mana perseteruan antara cebong dan kampret masih ada. Memang terbukti kemudian
ajakan Presiden Jokowi untuk melupakan cebong dan kampret tidak digubris oleh
para pengikutnya. Jokowi dan Prabowo boleh bertemu mesra di Gedung Agung
Yogyakarta pas Jakarta dilanda banjir besar, sementara cebong dan kampret bermunculan
dari air yang menggenang di mana-mana.
Itulah sisi lain dari banjir Jakarta. Kota ini memang
unik dan pantas menjadi daerah khusus. Bagaimana kalau status daerah khusus ini
disamakan dengan daerah istimewa seperti Yogyakarta? Gubernurnya tak usah
dipilih, tapi diangkat dan ditetapkan oleh presiden.
(Koran Tempo 4 Januari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar