Putu Setia | @mpujayaprema
Hari Bhayangkara masih jauh. Tapi menyoroti kerja
polisi tetap menarik. Ada banyak sisi positif, tapi juga banyak sisi negatif.
Barangkali karena banyak yang berharap agar polisi menjadi bhayangkara negara
yang profesional dan disegani.
Sisi humanis polisi sering muncul jika ada bencana. Di
tengah-tengah banjir, misalnya, mereka menyelamatkan para korban tanpa kenal
lelah. Ada polisi yang menggendong ibu hamil tua karena terjebak arus air yang
terus meninggi. Tanpa bermaksud membandingkan dengan personel Tentara Nasional
Indonesia yang juga sangat gesit tatkala ada bencana, polisi memang lebih
terlihat karena keberadaan sehari-harinya di tengah masyarakat.
Namun sisi negatif terus saja menggerogoti polisi ideal.
Harus diakui, polisi yang melakukan pungutan liar di jalanan sudah tak semarak
dahulu, tapi sisi lemah yang disorot belakangan ini adalah polisi tidak mampu
melindungi kaum minoritas dari perlakuan buruk kelompok intoleran dalam soal
keyakinan menjalankan ibadah agama. Polisi tunduk pada kelompok intoleran itu.
Diobrak-abriknya sesajen ritual sedekah laut adalah
contoh bagaimana polisi tak bisa melindungi kelompok minoritas yang ingin
menjaga keluhuran budaya bangsa. Juga pelarangan ritual penganut Hindu yang
terjadi di Kabupaten Bantul, beberapa bulan lalu, dengan alasan ritual
dilangsungkan di sebuah rumah yang bukan tempat ibadah. Polisi cenderung
berpihak ke kelompok intoleran. Padahal setiap rumah, apa pun agama pemilik
rumah itu, pastilah pernah melakukan ritual di rumahnya.
Kasus yang paling anyar adalah dijadikannya Sudarto,
aktifis Pusat Studi Antar-Komunitas Padang, sebagai tersangka dengan tuduhan
melakukan ujaran kebencian dan dijerat dengan UU tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Memang sempat disebutkan bahwa Sudarto ditahan, tapi
dibantah oleh Kabid Humas Polda Sumatera Barat Kombes Pol Stefanus Satake Bayu
Setianto.
Cobalah ditelusuri, apa salah Sudarto? Dia menulis di
Facebook tentang “kesepakatan” adanya larangan perayaan Natal di wilayah
Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Unggahan pada 14 Desember 2019 itu
membuat heboh, hingga Menteri Dalam Negeri pun bersurat ke Provinsi Sumatra
Barat. Karena reaksi yang begitu besar, akhirnya perayaan Natal diperbolehkan.
Sudarto telah berjasa
memperjuangkan hak-hak yang paling hakiki dalam konstitusi kita. Namun, Harry
Permana selaku Ketua Pemuda Jorong Kampung Baru, melaporkan Sudarto pada 29
Desember 2019, dengan tuduhan “ujaran kebencian” mengunggah larangan perayaan
Natal. Di lihat dari urutan waktu, di mana letak “ujaran kebencian” yang
diunggah Sudarto sehingga dia menjadi tersangka?
Begitulah plus minus kinerja polisi yang terang
benderang di masyarakat dalam contoh-contoh yang bisa diperpanjang, baik contoh
yang membuat kita berdecak kagum maupun contoh yang membuat kita geleng-geleng
kepala.
Apakah kita putus harapan untuk melihat polisi yang
ideal di negeri ini? Jangan putus asa. Kita bantu polisi untuk mencapai
cita-cita polisi ideal itu. Contoh kecil adalah langkah Komisi Pemberantasan
Korupsi yang kini dipimpin Komjen Firli Bahuri. Jenderal polisi bintang tiga
ini diragukan langkahnya memimpin KPK, apalagi dengan UU KPK yang sudah
direvisi.
Ternyata
belum sebulan dilantik, KPK sudah menggelar dua operasi tangkap tangan, untuk
Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan komisioner KPU Wahyu Setiawan.
Kalau langkah ini berlanjut bukan saja pelemahan KPK tidak terbukti, tapi
kepercayaan kepada polisi pun bisa membaik. Kita apresiasi polisi berbenah.
(Koran Tempo 11 Januari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar