Putu
Setia
@mpujayaprema
Impian Sinuhun Toto Santoso
Hadiningrat bersama Fanni Aminadia untuk mendamaikan dunia lewat pendirian
Keraton Agung Sejagat di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, kandas sudah.
Padahal prosesi deklarasi keraton itu perlu persiapan yang butuh waktu dan biaya.
Belum seminggu usia keraton, Raja dan Permaisuri ditangkap polisi.
Masyarakat geger, begitu media
menulis. Tadinya saya terbahak-bahak karena ini lelucon yang bagus. Jujur saya
akui, lelucon ini mampu melupakan kasus penyegelan yang tertunda di kantor PDI
Perjuangan, lupa juga dengan Jiwasraya dan Asabri yang merugikan negara
triliunan rupiah. Kenapa polisi begitu cepat menangkap Raja Toto dan lambat
menemukan Harun Masiku, penyuap Wahyu Setiawan? Polisi pun begitu cepat
menggeledah keraton, pasti tak membutuhkan izin dewan pengawas.
Saya lalu menjadi serius. Bukankah
orang yang mengangkat dirinya sebagai raja dan mengaitkan dengan Kerajaan
Majapahit bukan cuma Toto Santoso? Suatu hari saya ke Museum Majapahit di
Trowulan. Petugas museum membisiki saya, ada Raja Majapahit baru, tak jauh
letaknya. "Itu di seberang danau," kata dia. Karena dekat dengan
museum, saya pun menyambangi "istana" Majapahit Baru ini.
"Istana" itu penuh dengan pernak-pernik yang katanya mirip apa yang ada
pada era Majapahit. Saya bertemu dengan Sang Raja, bersalaman, mengobrol ala
kadarnya, dan mencari beberapa alasan untuk bisa meninggalkan tempat itu.
https://youtu.be/T6knuuOoz4I
https://youtu.be/T6knuuOoz4I
Di Bali juga ada Raja Majapahit
Baru. Ketika dia mengumumkan diri sebagai raja, 31 Desember 2009, usianya
tergolong muda. Sang raja memakai sebutan Abhiseka Raja Majapahit Bali Sri
Wilatikta Tegeh Kori Kresna Kepakisan XIX. Saya tak paham artinya, tapi sejak
awal saya tak ingin berkomentar perihal ini. Sang raja itu adalah Arya
Wedakarna.
Apakah salah jika seseorang
mengangkat dirinya sebagai raja? Apakah salah kerajaan yang pernah ada di
Nusantara mencoba bangkit kembali? Meskipun atas nama melestarikan keratonnya
sebagai pusat budaya? Para "pemilik keraton" sudah lama mempersatukan
dirinya. Ada organisasi bernama Forum Silaturahmi Keraton Nusantara, yang saat
ini diketuai Pangeran Arif Natadiningrat, Sultan Sepuh Cirebon. Setiap tahun
festival budaya keraton diselenggarakan dengan meriah. Lalu ada Yayasan Raja
dan Sultan Nusantara, dengan ketua umumnya Sultan Mahmud Iskandar Badarudin. Yayasan
ini mendirikan Majelis Cendekiawan Keraton Nusantara pada 26 Desember 2017
dengan Ketua Umum Prof Dr M. Asdar. Kegiatannya berupa seminar-seminar yang
berkaitan dengan budaya keraton.
Saya tak ingin mempersoalkan
apakah ini dilakukan untuk membangkitkan feodalisme. Saya hanya ingin
memberikan informasi bahwa mereka, pewaris keraton dan raja atau sultan itu,
punya ahli waris yang bisa fanatik pula. Arya Weda dikecam kalangan
berpendidikan di Bali atau minimal banyak yang cuek seperti saya. Namun gayanya
sebagai raja masa lalu, termasuk membangun Istana Mancawarna tak jauh dari
Istana Presiden Tampaksiring, membuat orang perdesaan senang. Dia terpilih
sebagai anggota Dewan Perwakilan Bali pada pemilu yang lalu dengan suara paling
tinggi.
Kenapa Toto Santoso ditangkap?
Karena dia penipu. Dia menarik iuran dari anggotanya serta memberikan janji
palsu. Omongannya pun bernuansa politis. Adapun keraton yang mau eksis ini
berfokus pada masalah budaya. Mungkin pemerintah perlu melirik mereka,
mengapresiasi pelestarian budaya masa lalu. Jadi, jika ada warga bangsa yang
rindu pada suasana kerajaan dan bosan dengan tingkah pemimpin kekinian, mereka
tidak diambil raja penipu semacam Toto Santoso.
(Koran Tempo 18 Januari 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar