Putu Setia | @mpujayaprema
Siapakah yang berbohong dalam kasus keberadaan Harun
Masiku, tersangka penyuap komisioner Komisi Pemilihan Umum Wahyu Setiawan?
Politikus PDI Perjuangan ini sempat ke Singapura pada 6 Januari tetapi baliknya
ke Indonesia menjadi “gosip politik” karena ada berbagai kebohongan.
Penyidik KPK berusaha menangkap Harun yang diduga
berada di komplek Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian pada 8 Januari, setelah
sebelumnya menciduk Wahyu Setiawan. Sayangnya penyidik KPK justru “ditangkap”
polisi di sana, sampai-sampai dites urin. Informasi yang diterima KPK bahwa
Harun ada di PTIK, jadi tak jelas. Bisa bohong, bisa juga tidak.
Di mana Harun ngumpet? Pada 13 Januari, Direktorat
Jenderal Imigrasi menginformasikan Harun masih ada di Singapura. Tiga hari
setelah itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mempertegas lagi,
Harun Masiku masih di Singapura.
Tempo memperoleh informasi Harun sudah balik ke
Indonesia pada 7 Januari, disertai video kedatangannya di Bandara Sukarno Hatta.
Artinya, andai saja penyidik KPK leluasa bergerak di PTIK pada malam drama tes
urin itu, cerita bisa beda. Setidaknya ada kejelasan di mana Harun.
Mari lupakan cerita itu. Yang jadi pertanyaan,
kenapa Menkumham Yasonna ngotot menyebutkan Harun masih berada di luar negeri?
Perlu waktu 15 hari untuk mencari dalih bahwa terjadi kesalahan data
keimigrasian di bandara Soekarno Hatta sehingga kepulangan Harun “terlambat
untuk diketahui”. Apakah ini kebohongan juga?
Yasonna sekarang membentuk tim independen untuk
mengusut kenapa kepulangan Harun “delay data” – begitu istilah yang dipakai.
Artinya Yasonna tak mau mengakui telah berbohong, karena apa yang dia sampaikan
berdasarkan info bawahannya. Tapi dia memecat -- belakangan istilahnya menjadi
mutasi-- Dirjen Imigrasi Ronny F. Sompie. Ronny bisa jadi juga dapat info bohong
dari stafnya. Cuma dia tak sempat cuci tangan seperti Yasonna karena
pencopotannya mendadak. Kalau memakai budaya Jepang, Yasonna tentu ikut bunuh
diri, eh, maksudnya, mengundurkan diri.
Kini, pada saat Kementrian Hukum dan HAM (pura-pura)
sibuk mengusut siapa yang berbohong sampai membentuk tim independen, Harun
Masiku bisa lebih tenang dalam persembunyiannya. KPK tak segalak dulu, ketika
mengejar Nazaruddin sampai ke Kolombia dan tertangkap di kota wisata Cartagena.
Polisi pun masih asyik dengan meringkus dan menahan para pembohong yang
mengaku-aku raja. Setelah menahan Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat di Jawa
Tengah, polisi menangkap tiga pentolan Kekaisaran Sunda. Mungkin masih ada
raja-raja palsu yang akan dikejar polisi, meski kebohongan yang dilakukan para
raja itu belum berdampak besar bagi kerugian masyarakat. Ada pun Harun Masiku
jelas tokoh kunci, baik untuk mengungkap kasus suap kepada komisioner KPU mau
pun mengungkap praktek buruk dalam pergantian antar waktu di parlemen.
Menangkap Harun Masiku sepertinya tak sulit-sulit
amat asalkan ada keseriusan polisi mau pun KPK. Juga PDI Perjuangan yang
harusnya ikhlas kadernya ditangkap. Jika polisi yang menangkap itu berdampak
baik bagi kepercayaan masyarakat, yang terlanjur menduga polisi melindungi
Harun karena kasus di PTIK itu. Jika penyidik KPK yang menangkap, itu lebih
bagus lagi untuk membantah KPK sudah loyo. Akan halnya jika PDI Perjuangan
menyerahkan kadernya langsung ke KPK sebagai partai yang taat pada hukum, kesan
yang selama ini ada bahwa PDIP melindungi Harun menjadi batal. Namun, kita memang
sulit berharap, ketika kita masih dipamerkan kebohongan dengan nyata.
(Dari Koran Tempo 1 Februari 2020).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar