Putu Setia | @mpujayaprema
Penjual bubur itu termangu menunggu pelanggan yang tak kunjung datang. Saya salah satu pelanggannya, tapi sudah lebih seminggu tak mampir karena mengikuti imbauan pemerintah untuk diam di rumah.
Dia dari
Pemalang, Jawa Tengah. Jauh amat hanya untuk berjualan bubur ayam di Bali. Anak
remajanya juga berjualan bubur di tempat lain. Tapi sudah tutup karena aturan
di desa itu, semua pasar, warung, toko moderen (maksudnya mini market dan
swalayan) tak boleh buka. Di Bali setiap desa punya aturan sendiri dalam
mengkarantina wilayahnya.
Ada yang
sangat ketat, menutup akses masuk ke desanya. Ada yang longgar dengan membuka
jalan raya tapi orang yang lewat tak boleh singgah di desa itu. Jam buka pasar
dan toko dibatasi, umumnya pukul 10.00 sampai pukul 14.00 siang – alasannya
pada jam-jam itu virus corona mati karena terik matahari. Warga tak dilarang
keluar desa, tapi jika kembali pulang akan dicegah. Namun ada desa yang tak
membatasi apa pun, kecuali jangan bikin keramaian. Penjual bubur itu berdagang
di desa yang masih bebas tersebut.
Dia banyak mengeluh
dan saya mendengarkan sambil menjaga jarak. Niatnya ingin pulang ke Jawa
mumpung masih punya uang. Tapi tak ada angkutan umum. Keluarganya di Pemalang juga
mengabarkan, mereka pasti dipersulit masuk ke desanya. “Kalau keadaan lebih
gawat, bagaimana saya dan keluarga bisa makan? Saya tak terdaftar sebagai
penduduk Bali,” katanya.
Ini
persoalan di seluruh negeri, bukan cuma Bali. Para perantau yang mengadu nasib
di perkotaan menghadapi masalah yang sama. Anjuran kepada perantau di Jakarta
agar jangan mudik nyaris tak dituruti. Jakarta tak lagi sumber duit bagi
kalangan bawah itu. Bagaimana mereka bisa makan? Ada rencana pemerintah memberi
bantuan langsung kepada kelas bawah ini sebesar Rp 250 ribu per keluarga setiap
bulan, padahal untuk bayar kontrakan saja Rp 400 ribu.
Bupati
Tasikmalaya siap membantu keluarga perantau di desa-desa asalkan sang perantau
tidak mudik. Tapi apakah Pemda DKI Jakarta mampu memberi kebutuhan hidup para
perantau?
Pemerintah
pusat dengan gugus tugasnya sudah pasti bekerja keras dalam menghambat
penyebaran Covid-19. Namun tetap saja terkesan lamban dalam memutuskan apa yang
harus dilakukan secara nasional. Para gubernur gagap untuk mencari model
karantina apa yang cocok di wilayahnya karena dihantui pernyataan “wewenang lock
down hanya ada di pusat”. Akhirnya para bupati dan bahkan kepala desa yang
bertindak lebih tegas – dan ini berakibat tidak adanya keseragaman langkah.
Orang Bali, misalnya, banyak yang kecewa kenapa mereka harus dikarantina sementara
ribuan orang tiap hari masih bebas masuk lewat Pelabuhan Gilimanuk.
Baru Selasa
lalu Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 yang membolehkan
kepala daerah untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Tapi
lagi-lagi peraturan pemerintah ini harus menunggu peraturan Menteri Kesehatan
tentang rinciannya. Sementara kebingungan di masyarakat sudah semakin parah.
Jenazah korban Covid-19 yang sudah dikubur dibongkar lagi untuk dipindahkan ke
tempat lain.
Betul sekali komando
penanggulangan wabah Covid-19 harus terpusat di Jakarta. Namun masalah di
daerah berbeda satu dengan lainnya. Penanganan seharusnya menyesuaikan dengan
kondisi daerah masing-masing. Karantina wilayah tak bisa diseragamkan. Apakah PSBB akan membuat gubernur lebih
tanggap menanggulangi wabah corona ini? Semoga itu yang terjadi sehingga ada
kepastian mau dikarantina seperti apa warga desa.
(Koran Tempo 4 April 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar