Putu
Setia | @mpujayaprema
Dia
hanya dokter umum. Satu-satunya dokter yang praktek di kampung saya, dusun
kecil di lereng Batukaru, 46 kilometer dari kota kabupaten. Saya mendatangi
prakteknya di sore hari itu dengan sedikit terpaksa.
Pagi
sebelumnya, saya menelepon ke rumah sakit swasta di kota. Dokter langganan saya
adalah spesialis penyakit dalam. Saya pesan nomor antrean. Ketika ditanya saya
sebutkan keluhannya batuk-batuk. “Batuk? Kenapa tidak ke dokter paru-paru?
Kebetulan di sini tak ada poliklinik paru, nanti saya berikan informasi,” kata
petugas pendaftaran pasien. Saya menjawab, sudah sering ke sini dengan keluhan
batuk. “Mohon maaf Bapak, sekarang pasien batuk ada yang menangani khusus.
Kalau Bapak ikut BPJS sebaiknya cari rujukan ke Puskesmas,” kata petugas itu. Saya
paham. Saat ini, orang dengan keluhan batuk dan demam, menjadi pesakitan paling
sial.
Fasilitas
kesehatan (faskes) pertama saya bukan di Puskesmas. Ketika mendaftar BPJS, saya
memilih dokter sebagai faskes pertama karena Puskesmas terdekat 13 kilometer
jauhnya. Maklum Kartu Tanda Penduduk saya di desa, kalau mencari faskes di kota
di mana saya lebih sering tinggal, harus pindah domisili.
Pintu
kamar praktek terbuka. Dokter menyambut dengan senyum di belakang meja prakteknya,
jarak sekitar 2 meter. “Ada keluhan apa?” tanyanya setelah basai-basi sejenak.
“Batuk-batuk, dok.”
Dia
kaget. Lalu menggeser kursinya agak menjauh. “Batuk? Saya sudah memberi tulisan
di ruang tunggu, yang batuk dan demam supaya langsung ke Puskesmas. Supaya
ditangani lebih baik,” katanya.
Dokter
bertanya selama ini apa yang saya lakukan. Saya katakan sudah seminggu lebih diam
di rumah. Tapi anak saya tetap bekerja di hotel. Dia sehat-sehat saja. Apa dia
membawa virus corona ke rumah? Soal batuk, bukan sekali ini. Sudah lama
paru-paru saya bermasalah. Setiap pulang ke kampung, mungkin karena ada
pergantian udara, batuk kambuh. Minum obat langsung reda.
Dokter
memberi saran. “Kita sama-sama waspada. Bapak kan sangat welcome informasi. Minum obat batuk yang biasa digunakan. Semoga
cepat sembuh.
https://youtu.be/peic-5flDTA”
Dokter
itu tak pernah mendekat ke arah saya. Boro-boro memeriksa dada saya. Sebelum
saya pulang dia berkata: “Kalau batuknya tak reda, nanti saya berikan
rekomendasi ke rumah sakit, suruh orang lain mengambil ke sini.”
Dokter
adalah manusia biasa. Punya rasa takut. Namun tanggungjawabnya yang besar
sering mengalahkan rasa takut. Resikonya bisa berakibat fatal. Dokter Hadio Ali
Khazatsin yang masih muda, Bambang Sutrisna yang meninggal mengenaskan, Djoko
Judodjoko, Laurentius Panggabean, Adi Mirsaputra, Ucok Martin Tambunan dan Toni
Daniel Silitonga adalah korban dari memuliakan tanggungjawab profesi. Mereka di
garda depan menyelamatkan pasien copid-19 dengan mempertaruhkan nyawanya.
Penduduk
kota Wuhan, sumber virus corona ini, berbondong-bondong ke jalan, melambaikan
tangan memberi penghormatan ketika para dokter menyelesaikan tugasnya di kota
itu. Apa yang kita lakukan kepada dokter di negeri ini?
Selain
utang rasa tak terhingga, sejawat mereka yang masih berjuang, seharusnya
mendapat perlindungan yang prima. Alat perlindungan diri harus maksimal
diberikan kepada mereka. Juga tes kesehatan untuk dokter dan keluarga mereka
harus menjadi prioritas utama – dibandingkan, misalnya, anggota DPR.
Kalau
dokter sampai ketakutan, dampaknya luar biasa. Semua pasien, termasuk yang tak
ada urusan dengan virus corona, menjadi korban. Rumah sakit sudah membatasi
pasien dan yang dirawat inap tak bisa ditunggui keluarganya. Menyedihkan.
(Koran Tempo Akhir Pekan 28 Maret 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar