Putu Setia | @mpujayaprema
Juventus, klub bola kaya di Italia, mengumumkan salah
satu pemainnya, Daniele Rugani, positif terkena virus corona. Aktor Tom Hanks dan istrinya menyatakan secara
terbuka bahwa mereka positif corona di Australia. Wakil Presiden Iran, Masoumeh
Ebtaker, juga didiagnosis positif
terinfeksi virus corona.
Ini bukan aib. Keterbukaan itu membuat masyarakat
lebih waspada. Penggemar bola, pengagum Hanks, para pejabat di Iran, harus
menjaga jarak dengan mereka yang terinsfeksi.
Di Indonesia semuanya dirahasiakan. Pasien tak boleh
disiarkan namanya, bahkan alamat rumahnya, termasuk di mana dirawat. Konon itu
adalah etika kedokteran. Maka untuk menyebut identitas mereka dibuatlah kode
berdasar nomor urut pasien yang positif corona. Disebut pasien Kasus 1, Kasus 2
dan seterusnya.
Bahwa pasien Kasus 1 dan Kasus 2 diketahui berasal
dari Depok, itu termasuk “kecelakaan komunikasi”. Pemerintah Kota Depok mengumumkannya dengan
niat baik supaya orang waspada ke tempat itu, siapa tahu virus masih
gentayangan di sana. Begitu pula keberadaan di rumah sakit. Pada saat sampai
Kasus 17, RSPI Sulianti Saroso mengumumkan ada 9 pasien positif yang dirawat di
sana. Kemudian RS Persahabatan menyebut ada menampung 2 pasien. Lalu sisanya di
mana? Masyarakat bertanya-tanya.
Ketika pasien sampai hitungan Kasus 29, juru bicara
khusus pemerintah soal virus corona, Achmad Yurianto, mengumumkan pasien Kasus
25 meninggal dunia. Dia warganegara asing asal Inggris. Meninggal di mana?
Tidak disebutkan awalnya. Sampai suatu saat Sekda Pemda Bali Dewa Made Indra selaku Ketua Satuan Tugas
Penanggulangan COVID-19 Provinsi Bali, memberi keterangan pers
bahwa ada WNA asal Inggris berusia 53 tahun meninggal di RSUP Sanglah dalam
status “pengawasan” dari virus corona. Apakah WNA yang meninggal ini sama
dengan pasien Kasus 25? Ternyata itulah yang dimaksud. Sejumlah orang kaget ternyata
ada pasien corona di rumah sakit di Bali. Yang lebih mengagetkan, Pemda Bali
baru tahu kalau WNA yang meninggal itu positif virus corona. Karena itu jenazah
diperlakukan khusus dan langsung dikremasi siang harinya. Ini korban pertama di
Indonesia.
Kerahasiaan menangani pasien corona berakibat serius.
Meski diumumkan kematian perempuan itu karena penyakit lain, namun virus corona
positif di tubuhnya. Lalu kenapa saat masuk ke Bali, sepuluh hari sebelum
kematian, tidak terdeteksi di Bandara Ngurah Rai? Lantas ke mana saja dia
gentayangan sebelum masuk rumah sakit? Pertanyaan besarnya, siapa saja yang
kontak dekat dengan perempuan itu? Dinas Kesehatan Bali berhasil melacak ada 21
orang yang kontak dengan perempuan itu. Mereka sebatas petugas di bandara,
karyawan hotel tempat menginap, perawat di rumah sakit. Mereka kemudian
diisolasi di rumahnya masing-masing. Mungkin masih ada kontak-kontak yang lain,
tetapi bagaimana mencari informasi karena perempuan itu sudah dikremasi? Tak
mungkin pula masyarakat disuruh melapor kalau pernah kontak dengan perempuan
itu. Banyak sekali ada turis cewek yang keluyuran di Bali, bagaimana masyarakat
mengingat satu persatu.
Kita berharap sangat – termasuk lewat doa– virus
corona ini segera berakhir. Yang lebih penting kita memperbaiki cara berkomunikasi.
Kalau etika kedokteran menyebutkan pasien harus dilindungi identitasnya, apa
semua hal harus dirahasiakan? Apakah antar pejabat juga saling merahasiakan? Apa
gubernur tak boleh tahu ada pasien corona positif dirawat di daerahnya? Jika
komunikasi baik, tak selalu keterbukaan membuat orang panik.
(Koran Tempo 14 Maret 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar