Putu Setia |@mpujayaprema
Pemilihan kepala daerah serentak 2020 tinggal menghitung hari. Sabtu ini hari terakhir masa kampanye, hajatan yang tak terasa gaungnya akibat pandemi Covid-19. Kampanye sangat terbatas. Masyarakat tak bergairah. Tak ada pertemuan besar, tak ada pembagian baju kaos.
Rabu nanti hari pencoblosan.
Apakah ada kegairahan mendatangi tempat pemungutan suara? Tentu itu yang
diharapkan para calon gubernur, bupati dan walikota di 270 wilayah yang ikut
hajatan politik ini. Andai kegairahan itu tak ada, jangan pula salahkan rakyat.
Ini bukan soal memilih pemimpin atau tidak. Ini semata-mata urusan menjaga kesehatan,
mengikuti anjuran Presiden Jokowi, “Kesehatan yang utama”. Kita dilarang
berkerumun.
Memang simpang siur sampai
batas mana kumpulan orang di suatu tempat disebut kerumunan. Pernah ada batasan
dari segi jumlah, 25 orang dianggap sudah kerumunan. Kemudian batasan jumlah
orang diperlonggar menjadi ukuran ruang, seperempat dari kapasitas ruangan
sudah maksimum. Lalu batasan dinaikkan menjadi separoh kapasitas ruangan.
Pelonggaran ini bukan karena pandemi menurun, melainkan upaya menggerakkan sektor
ekonomi. Sedangkan jumlah orang yang positif Covid-19 terus bertambah.
https://youtu.be/6OSEs9oCyn0
Tempat pemungutan suara
umumnya tidak besar. Apalagi ruang pencoblosan. Di ruang itu nantinya ada 7
orang petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Lalu ada saksi
dari para calon, sebutlah 2 orang setiap calon. Ada petugas lain yang tak diatur
dalam peraturan Komisi Pemilihan Umum, misalnya, orang yang meladeni petugas,
tenaga bantuan keamanan dan para pemantau – ini kalau situasi normal. Lalu
ditambah para pencoblos yang antre, apakah itu tidak terjadi kerumunan?
Ada aturan ketat 3M, memakai masker,
menjaga jarak, dan mencuci tangan. Menjaga jarak sudah pasti akan dilanggar.
Ada interaksi yang tak memungkinkan jaga jarak. Belum lagi kebiasaan ngerumpi
antarpenduduk yang mau nyoblos. Ini yang mencemaskan, munculnya kluster baru,
kluster pilkada.
Virus corona memang
bandel benar. Delapan bulan lebih corona gentayangan belum juga mau hilang,
malah bertambah bandel. Padahal manusia yang menjadi korbannya, sudah bosan
tinggal di rumah. Orang-orang ingin bebas, perlu bekerja di luar rumah, dan
sekarang harus memilih bupati, walikota dan gubernur. Ternyata kita jadi
bingung, baik para pemegang kebijakan apalagi masyarakat kelas bawah. Kita
maunya virus menurun agar bisa bebas bergerak. Tapi corona tak mau,
virus ini tetap memangsa para dokter dan membuat sejumlah bupati dan gubernur
harus isolasi di rumahnya. Bisa jadi corona marah: “Kalau kamu tetap
berkerumun, aku tak mau pergi…”
Oh, corona. Izinkan
kami berkerumun untuk mencoblos. Ada calon walikota yang tak sabar menduduki
jabatannya. Sebagai gantinya, liburan akhir tahun akan kami perpendek. Dari
rencana 11 hari menjadi 8 hari dengan jeda di tengah-tengahnya. Empat hari
libur Natal dan empat hari libur tahun baru, di tengah-tengahnya masuk kerja 3
hari. Mungkin corona tertawa: “Memang ada pengaruhnya?”
Andai corona bisa
ngomong begitu, ada benarnya juga. Masuk kerja tanggal 28, 29, dan 30 Desember
tak akan mengurangi kerumunan. Yang sudah berencana liburan, tetap akan libur. Yang
bekerja melayani orang libur, karyawan hotel, pedagang dan sejenisnya tetap
akan bekerja. Mereka punya pembenaran, ekonomi harus bergerak di era pandemi.
Jadi, kapan kita berhenti
mendua? Kalau penularan Covid-19 disebabkan oleh kerumunan, kenapa tidak ada
tindakan tegas, cegah kerumunan? Kecuali kita pasrah dan hidup berdampingan
dengan virus ini.
(Koran Tempo 5 Desember 2020)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar